Sabtu, 28 Februari 2015

Risiko Pengelolaan Dana Desa

Risiko Pengelolaan Dana Desa

Sumaryoto Padmodiningrat ;  Mantan Anggota DPR,
Ketua Dewan Pembina Persatuan Perangkat Desa Republik Indonesia (PPD RI)
SUARA MERDEKA, 23 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Seyogyanya pemerintah melakukan pendampingan terhadap para kades dalam mengelola dana desa”

IBARAT buah simalakama. Begitulah dana desa yang dikucurkan ke tiap desa pada April 2015. APBNP 2015 menganggarkan dana desa Rp 20 triliun atau meningkat dari APBN 2015 sebesar Rp 9,1 triliun. Tiap desa rata-rata mendapat Rp 750 juta. Anggaran ini berasal dari pemerintah pusat (APBN) yang disalurkan melalui dana desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) rutin dari APBD provinsi dan kabupaten/kota.

Pembagian dana desa juga tidak dipukul rata mengingat mendasarkan empat kriteria, yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, tingkat kemiskinan, dan letak geografis yang terpencil atau tidak. Mengapa bak buah simalakama? Pasalnya di satu sisi bisa menjadi berkah bila pengelolaannya benar dan bisa dipertanggungjawabkan, namun di sisi lain bisa menjadi musibah andai diselewengkan.

Data di Kejati Jateng menyebutkan, sepanjang 2014 sedikitnya 30 kades di Jateng tersangkut korupsi. Sebagian sudah diputus perkaranya, dan beberapa lainnya masih dalam persidangan. Di provinsi lain juga demikian. Di Kabupaten Malang Jatim misalnya, puluhan kades diduga menyalahgunakan dana desa. Tahun 2014 ada 75 atau 20% dari 378 kades diperiksa inspektorat kabupaten.

Dengan alokasi dana desa yang lebih besar, dikhawatirkan jumlah kades yang menyelewengkan dana desa lebih besar pula. Bukan hanya karena ada niat dan kesempatan untuk korupsi, kesalahan administrasi saja bisa menyeret mereka ke meja hijau.

Apalagi hingga kini pembagian tugas dan wewenang pengelolaan dana desa belum jelas, antara Kemendagri dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Meski dalam perubahan nomenklatur telah diputuskan bahwa Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang sebelumnya di bawah Kemendagri, dipindahkan ke Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, faktanya hingga kini belum terealisasi.

Kepala desa menjadi kuasa pengguna anggaran langsung atas dana ini sehingga bila ada penyelewengan, merekalah yang bertanggung jawab. Mereka juga akan diaudit langsung oleh BPK. Penyaluran dana desa juga dikhawatirkan salah sasaran karena tak semua desa memiliki kreativitas dan inovasi yang baik demi dapat mengelola anggaran tersebut.

Saat berkampanye, Jokowi mengusung 9 program prioritas yang dirumuskan dalam Nawa Cita, dan Poin ke-3 menyatakan, ’’Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan’’. Lebih khusus lagi Poin ke-3 Angka (4) yang menyatakan implementasi UU Desa. Jokowi juga berkomitmen meningkatkan kesejahteraan perangkat desa, dan tidak tertutup kemungkinan mengangkat mereka menjadi PNS.

Melarang Pemekaran

Akankah semua itu terwujud? Hingga lebih dari setahun UU Desa disahkan pada 18 Desember 2013, yang meletakkan dasar-dasar perubahan bagi terwujudnya desa mandiri, sejahtera, dan demokratis, serta lebih dari 100 hari Jokowi memerintah dengan Nawa Cita, yang mengkhawatirkan justru bakal bertambah banyaknya kades yang masuk penjara. Hal itu terkait dana desa yang akan naik secara gradual, yakni Rp 44 triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6 triliun (2018), dan Rp 103,7 triliun (2019).

Apalagi road map, regulasi turunan, instrumentasi kebijakan, dan persiapan operasional atas semua aturan yang sudah disebutkan itu belum sepenuhnya siap memulai fase pelaksanaan optimal.

Di sisi lain, ada kekhawatiran kemerebakan konflik horizontal setelah pencabutan  moratorium atau penundaan pemekaran desa/kecamatan. Begitu ada kabar desa bakal mendapat dana besar dari APBN, dan menjelang Pemilu 2014, banyak desa/kecamatan ingin memekarkan diri, dengan motif untuk mendapatkan dana tersebut serta demi kepentingan konstituen para politikus.

Mendagri kemudian mengeluarkan surat Nomor 138/1056/SJ yang melarang pemekaran desa/kecamatan. Moratorium dimaksudkan untuk memudahkan menyusun daftar lokasi TPS dan mengetahui kebutuhan petugas pengawas tingkat kecamatan dan desa. Setelah pemilu, daerah meminta moratorium itu dicabut, dan setelah dicabut, permintaan pemekaran itu membeludak.

Permendagri Nomor 39 Tahun 2015 tentang Jumlah Desa mencatat, jumlah desa pada awal 2013 hanya 72.944, namun melonjak drastis tahun 2015 hingga menjadi 74.093. Adapun jumlah kelurahan pada 2013 hanya 8.309 dan pada 2015 naik jadi 8.412.

Seyogyanya pemerintah melakukan pendampingan bagi para kepala desa dalam mengelola dana desa, dan tenaga pendamping itu bisa diambil dari BPK, BPKP, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), perguruan tinggi, atau organisasi kemasyarakatan yang memiliki kompetensi di bidangnya, semisal Persatuan Perangkat Desa Republik Indonesia  (PPD RI).

Sekali lagi, dana desa itu bisa menjadi buah simalakama. Menjadi berkah bila dikelola dengan benar dan akuntabel sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Tapi menjadi musibah bila diselewengkan sehingga pelakunya bisa diseret ke pengadilan. Bila musibah yang terjadi maka Nawa Cita pun berubah menjadi dukacita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar