Sabtu, 28 Februari 2015

Sudahlah, Bung!

Sudahlah, Bung!

M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 28 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Beri aku hakim, jaksa, polisi, dan pengacara yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun, aku bisa mewujudkan keadilan.  (BM Taverne, 1874-1944)

“Justice maybe blind, but it can see in the dark.” Sepenggal kalimat itu selalu diucapkan hakim Nicholas Marshall, sedetik sebelum terdakwa yang dibebaskannya ngeloyor dari ruang sidang. Ternyata, sistem legal di ruang sidang tak mudah menjerat penjahat. Hakim Marshall pun ”lari” dari sistem legal. Siang hari, mantan polisi dan jaksa itu mengenakan toga, berdandan klimis, berkacamata, dan memegang palu di ruang sidang. Namun, di malam gelap, ia mengurai rambut gondrongnya, mengendarai moge di jalanan, dan memburu korban-korbannya. Hakim Marshall memilih jadi pengadil gelap: mengeksekusi terdakwa yang siang hari dibebaskannya.

Tiba-tiba saja teringat hakim Marshall, tokoh utama serial Dark Justice pada awal 1990-an. Cara hakim Marshall ”mengadili” seakan menjadi pelampiasan instan bagi mereka yang melihat hukum tak berdaya menghadapi kelicikan penjahat. Bukan saja mengutak-atik aturan, melainkan juga main uang atau jaringan invisible hand. Bahkan, hukum bisa berakrobat di ruang sidang, seperti terjadi di negeri ini. Putusan mutakhir yang tak hanya kontroversial, tetapi juga berdampak hukum luar biasa adalah putusan praperadilan kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG).

Hakim tunggal Sarpin Rizaldi mengabulkan gugatan Komjen BG. Maka, penetapan tersangka BG oleh KPK dianggap tidak sah. Menurut hakim, BG kala itu (Kabiro Pembinaan Karier Deputi SDM Polri 2003-2006) bukan aparat penegak hukum dan bukan penyelenggara negara. Namun, mari kita baca konstitusi UUD 1945 Pasal 30 Ayat (4) bahwa: ”Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Rasanya pasal itu sudah jelas, tak perlu lagi tafsir.

Belum lagi perdebatan soal kewenangan praperadilan. Wewenang praperadilan, seperti tertulis pada Pasal 77 KUHAP, menyangkut (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Penetapan tersangka tidak masuk lingkup praperadilan. Hakim memang independen, tidak bisa diintervensi. Tetapi, itu harus dibaca bahwa hakim benar-benar punya integritas, moralitas, dan sifat adil yang terinternalisasi dalam dirinya. Ingat ucapan BM Taverne (1874-1944), ahli hukum asal Belanda: ”Beri aku hakim, jaksa, polisi, dan pengacara yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun, aku bisa mewujudkan keadilan (geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitie en goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken).

Nyatanya, banyak hakim di Indonesia bukanlah ”wakil Tuhan”. Tidak sedikit hakim terjerat korupsi. Sepanjang 2014, ada 117 hakim mendapat sanksi disiplin dari Mahkamah Agung, meningkat dari 2013 yang 102 hakim. Jadi, jangan membayangkan ada hakim sekaliber Bao Zheng (999-1062)—pernah difilmkan (Judge Bao)—di era Dinasti Song yang jujur, adil, dan pembenci korupsi. Jauh sekali dengan hakim Syuraih yang berani tidak memenangkan Khalifah Umar bin Khatthab (memerintah 634-644) dan Khalifah Ali bin Abi Thalib (memerintah 655-660) ketika dua khalifah itu tak punya bukti kuat.

Kini, koruptor terbahak-bahak setelah KPK dikeroyok. Dua unsur pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dinonaktifkan. Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain juga terancam oleh polisi. Tak bisa dibantah lagi KPK sudah diamputasi. Memang, KPK di era Samad dkk ini gebrakannya luar biasa. Semua pejabat di institusi apa pun diburu. DPR dihajar habis-habisan. Polri diobok-obok. Menteri-menteri di kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadikan tersangka. Jadi, siapa yang tidak marah kepada KPK? Jika Presiden Jokowi marah karena merasa ”dipotong” KPK dalam pencalonan Komjen BG, tetapi jangan sampai Presiden terbuai irama tetabuhan para koruptor. Terlebih lagi Sarpin effect mendorong tersangka korupsi ramai-ramai mengajukan praperadilan. Kita tunggu saja langkah MA dan KY untuk menjernihkan hukum.

Dan, pelemahan KPK itu ”lagu lama”. Kalau bukan pelemahan, mengapa sampai 21 penyidik KPK terancam dijadikan tersangka kepemilikan senjata ilegal. Mengapa kasus Novel Baswedan—polisi yang ada di KPK—diungkit lagi? Kalau ngotot, lalu bagaimana ihwal selanjutnya kasus rekening gendut? Masak ”cicak” dikejar-kejar, ”buaya” dibiarkan. Ah, sudahlah, Bung, hentikan saja cara-cara seperti itu! Saatnya membangun situasi yang kondusif.

Maka, Presiden Jokowi tak boleh lengah, apalagi terbuai irama koruptor. Tak perlu ragu bertindak cepat dan tepat. Kalau soal tekanan, namanya juga presiden. Ribuan tahun silam, Konfusius (551-479 SM) bilang: ”Perjalanan panjang ribuan mil akan ditentukan oleh langkah pertama”. Melangkah di siang hari terkadang mendung karena hukum kerap abu-abu di tengah kegaduhan politik. Jangan sampai di malam gelap, kita melihat hakim Marshall menunggang moge memburu pejabat, politisi, polisi, hakim, atau penegak hukum lain yang busuk-busuk....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar