Rabu, 25 Februari 2015

UMKM dan Perekonomian Nasional

UMKM dan Perekonomian Nasional

Jahja Setiaatmadja  ;  Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA)
KORAN SINDO, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, diketahui definisi usaha skala mikro, kecil, dan menengah maksimal memiliki kekayaan Rp10 miliar dengan hasil penjualan Rp50 miliar.

Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, UMKM di Indonesia jumlahnya lebih dari 90% total pengusaha. Kendati secara persentase jumlah UMKM di Indonesia besar, jika dilihat dari peredaran uangnya relatif tidak besar. Tidak heran kalau persaingan bank dalam memperebutkan ”kue” di sektor ini sudah cukup ketat.

Perkembangan usaha sektor UMKM cenderung berkaitan dengan pasang-surut ekonomi nasional. Jika kondisi ekonomi sedang booming, perkembangan UMKM juga seperti itu. Begitu pula sebaliknya. Berdasarkan pengamatan saya, saat ini ada dua bentuk UMKM. Pertama, UMKM dalam bentuk stand alone. Kedua, UMKM yang memiliki linkage dengan korporasi.

Kedua bentuk UMKM itu memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pada bentuk pertama, pelaku usaha bergerak sendiri sesuai dengan pengalaman, passion, dan keinginan berdasarkan peluang tanpa memiliki kaitan dengan korporasi. Kelebihannya, pelaku usaha bisa berusaha dengan bebas. Hanya, UMKM bentuk ini cenderung rawan konflik internal.

Banyak terjadi kegagalan bisnis bermula dari masalah keluarga, seperti perbedaan kepentingan, di samping memang karena adanya kegagalan dari bisnis itu sendiri. Adapun UMKM bentuk linkage biasanya memiliki keterkaitan dengan korporasi, seperti sebagai agen, subagen, retailer, dan sebagainya. Jika dilihat dari historis, UMKM yang linkage cenderung lebih mapan dan mempunyai kepastian.

Ini karena bila bisnis sedang sulit ada kecenderungan ditolong oleh korporasi. Biasanya langkah tersebut dilakukan korporasi untuk menjamin keberlangsungan usaha di masa mendatang. Tapi sayangnya, kedua jenis UMKM itu terkadang tidak bisa diukur kinerjanya. Artinya belum ada jaminan dalam beberapa tahun ke depan perusahaannya tetap eksis.

Padahal, hal itu menjadi salah satu keharusan bagi UMKM agar mendapatkan pinjaman dari perbankan. Sebagian besar perbankan memberikan kredit dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan. Perkembangan UMKM tidak bisa jika hanya dilakukan sendiri. UMKM jangan hanya dilihat dari sudut pandang UMKM-nya. UMKM itu merupakan kepanjangan tangan induknya. Harus ada induknya, yakni korporasi yang berfungsi sebagai manufaktur.

Nah, intinya itu. Harus ada investor-investor yang mulai masuk ke dunia bisnis menciptakan suatu produksi tertentu. Apakah itu kebutuhan sehari-hari, makanan, hiburan, atau jasa. Lalu, dikembangkan oleh UMKM. Perkembangan UMKM dan daya beli itu seperti ayam dan telur.

UMKM tidak akan berkembang cepat jika daya beli tidak ada. Itulah sebabnya, peran pemerintah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang bisa menciptakan daya beli, sangat dibutuhkan. Kalau daya beli tidak ada, siapa yang mau membeli barang atau jasa UMKM?

Situasi dan kondisi itu biasanya terjadi di suatu daerah terpencil yang income masyarakatnya relatif kecil. Masyarakat cenderung kesulitan memulai suatu usaha karena usaha yang akan dijalankan tidak memiliki pasar yang jelas. Pertanyaannya, bagaimana memiliki pasar kalau income masyarakatnya tidak besar?

Masuknya investor di suatu daerah, baik itu membangun pabrik maupun membuka perkebunan, akan menciptakan lapangan pekerjaan sehingga masyarakat memiliki kesempatan untuk menaikkan pendapatannya. Ujung-ujungnya, spending money yang diciptakan bisa menciptakan demand.

Istilahnya, kalau ada permintaan harus ada supply . UMKM-lah yang akan menjalankan fungsi supply tersebut. Jadi tidak bisa tibatiba ada UMKM yang berkembang hanya dengan memberikan modal. Kalau dikasih modal terus tidak ada yang membeli bagaimana? Kemudian apa yang mau dijual? Itulah sebabnya harus dimulai dengan menciptakan pendapatan masyarakat.

Di daerah yang sudah matang seperti DKI Jakarta, mungkin pelaku usaha tidak lagi memikirkan permintaan karena demand- nya sudah ada. Tinggal bagaimana menciptakan pengusaha-pengusaha atau enterpreneur-enterpreneur baru dan tangguh. Di DKI Jakarta perlu menciptakan pengusaha atau entrepreneur yang tangguh karena di Jakarta sudah banyak terdapat sentra usaha.

Jika menciptakan pengusaha baru, ibarat anak kecil melawan raksasa. Misalnya di Tanah Abang. Di sana pedagang-pedagangnya sudah hebat. Kalau pedagang masuk ke Tanah Abang sebagai pendatang baru, mungkin akan cukup kesulitan untuk dapat bersaing dengan pedagang yang sudah ada.

Menciptakan wirausaha baru di Jakarta tidak semudah teori. Perlu pendalaman. Misalkan bagaimana menarik pelanggan, menciptakan produk yang lebih menarik dan sebagainya. Itu kan tidak mudah, sehingga yang berperan bukan hanya memiliki modal, lalu usaha jalan.

Sewaktu saya menjadi pembicara di Munas Hipmi di Bandung, beberapa waktu lalu, saya sampaikan bahwa menjadi pelaku usaha bukanlah impian utama pelajar ketika kelak dewasa. Sebagian besar pelajar di Indonesia berharap kelak ketika dewasa menjadi guru, PNS, pegawai swasta ataupun anggota TNI dan Polri.

Sebagian dari mereka mengubah haluan menjadi wirausaha karena tidak diterima setelah melamar kerja di mana-mana. Bukan karena kebanggaan menjadi wirausaha. Mungkin perlu dipikirkan untuk mulai meningkatkan peran sektor pendidikan demi mengubah mindset generasi muda terhadap wirausaha. Menjadi pelaku wirausaha jauh membanggakan daripada bekerja dengan orang dan tentunya memiliki prospek luar biasa jika ditekuni dengan baik.

Jika itu bisa dilakukan, pastilah akan semakin banyak penduduk Indonesia yang menjadi wirausaha dan memiliki UMKM. Hal itu bisa membawa perekonomian Indonesia jauh lebih baik daripada saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar