Kamis, 26 Februari 2015

Upaya Pencegahan Darurat Narkoba Indonesia

Upaya Pencegahan Darurat Narkoba Indonesia

Fathurrohman  ;  Analis Kejahatan Narkotika
MEDIA INDONESIA, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DALAM kurun waktu kurang dari dua bulan, Badan Narkotika Nasional (BNN) kembali melakukan pengungkapan kasus besar. Saat masyarakat Indonesia masih merasakan kehangatan datangnya 2015, BNN melakukan penangkapan terhadap 9 tersangka, 4 WNI dan 5 WNA. Barang bukti diperoleh dengan jumlah fantastis 862 kg di Jakarta Barat. Raihan tersebut ialah yang terbanyak dalam proses penyelidikan di Indonesia. Sebelumnya, BNN mengamankan sejumlah tersangka dengan barang bukti ganja asal Aceh sebanyak 8,8 ton di Pekanbaru tujuan Jakarta. Di November 2014, BNN juga berhasil mengamankan sabu dengan jumlah besar, yaitu 151,5 kg di Jakarta Barat, dengan jumlah tersangka 3 WNA.

Dalam dua bulan, jumlah sabu dari dua TKP tersebut ialah 1.013,5 kg. Kalau pengguna sabu per gramnya untuk 4 orang, 1.013.500 gram dapat digunakan untuk 4.054.000 orang. Jika pengguna aktif menggunakan sabu dalam satu bulan sebanyak 4 kali sebanyak 1 gram, dalam satu tahun pengguna tersebut menggunakan 91 gram. Artinya, sabu 1,013 ton yang dapat disita BNN akan habis dalam satu tahun jika digunakan 11.130 pengguna aktif.

Pasar di Indonesia

Tingginya jumlah konsumen dan disparitas harga yang tinggi tinggi menjadi rangsangan besar bagi para pebisnis narkoba untuk memasarkan produk haram tersebut di Indonesia. Harga pasar sabu di Indonesia lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan harga di Malaysia dan Tiongkok. Narkoba menjadi ancaman serius karena Indonesia memenuhi syarat keseriusan tersebut.

Berdasarkan penelitian BNN dan Puslitkes UI 2014, angka prevalensi penyalah guna narkoba di Indonesia 4 juta orang dengan rincian 1,6 juta ialah mereka yang mencoba-coba, kemudian 1,4 juta pemakai teratur, dan 943 ialah pecandu. Selain itu, penelitian tersebut mendapatkan temuan bahwa pengguna narkoba diidentifi kasi sebanyak 20% tidak bekerja, 25% ialah pelajar dan mahasiswa, dan 56% orang yang sudah bekerja (karyawan, pegawai pemerintah, dan wiraswasta). Kemudian, yang menjadi persoalan besar ialah temuan 12.044 orang per tahun meninggal atau 33 orang per hari meregang nyawa yang diakibatkan narkoba.

Fakta lainnya dan ini menjadi persoalan besar tersendiri dari hasil penelitian BNN-Puslitkes UI 2014 ialah 75% peredaran narkoba dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan (LP). Narapidana yang di penjara, berada dalam pengawasan petugas selama 24 jam, lalu menjadi pengendali utama atas peredaran narkoba sebanyak 75% ialah sesuatu yang sangat memprihatinkan.

Perhatian utama tentu ditunjukkan kepada jajaran Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum dan HAM yang menjadi penanggung jawab atas pengelolaan LP di Indonesia. Diperlukan petugas berintegritas, bermoral, berkomitmen, dan sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya sebagai penanggung jawab LP. Secara revolusioner, Kemenkum dan HAM harus concern terhadap persoalan ini. Jika upaya yang dilakukan hanya pada tataran normatif, prosedural, reguler, dan pelaksana tugasnya ialah jajaran Ditjen Pas seperti saat ini, LP akan menjadi persembunyian istimewa bagi para bandar dan menjadi university of crime bagi penghuni pemula LP. Terdapat kesepakatan nilai bahwa pemain narkoba mempunyai prestise yang berbeda dengan berdasarkan LP yang dihuninya. LP Cipinang dan Nusakambangan ialah pemain narkoba ‘kelas teratas’.

Masuknya narkoba sejumlah 151,5 kg dengan cara diselundupkan melalui ‘kargo legal’ pada November 2014 mencerminkan adanya persoalan besar dalam proses importasi di Indonesia. Paket 151,5 kg diselundupkan ke dalam manisan yang dikirim dari Tiongkok menuju Port Klang, Malaysia, lalu diteruskan ke Indonesia melalui Pelabuhan Dumai. Dari Dumai paket dikirim ke Jakarta via jalur darat. Artinya, sabu sebanyak 151,5 kg ternyata tidak terdeteksi baik secara teknologi intelijen atau pun human intelijen yang dimiliki petugas. Petugas Bea dan Cukai dalam hal ini ‘kecolongan’ dengan importasi sabu dalam manisan tersebut.

Masuknya sabu ke Indonesia sebanyak 862 kg dengan cara transaksi `terbuka' di laut Jakarta menunjukkan kedaulatan wilayah teritorium Indonesia sedang dalam persoalan serius. Indonesia seolah menjadi kawasan terbuka dalam upaya penyelundupan narkoba.Kondisi geografis laut kita yang terbuka menjadi masalah besar dalam upaya penyelundupan barang laknat ini.

Seperti yang dilansir Chinadaily.com.cn (4/12/2014), bahwa pengungkapan sabu sebanyak 151,5 kg ialah hasil kerja sama antara Kepolisian Tiongkok dengan BNN. Begitu pun dalam upaya pengungkapan sabu sebanyak 862 kg ialah hasil kerja sama BNN dengan China NNCC dan Narcotics Bureau of Hong Kong Police. Kerja sama tersebut menjadi poin positif dalam upaya pemberantasan yang dilakukan BNN mengingat Tiongkok menjadi salah satu sumber narkoba di Indonesia.

Dalam hal kerja sama dengan negara luar, pemerintah melalui BNN harus melakukan upaya serius untuk melakukan kerja sama dengan Malaysia karena lalu lintas penyelundupan narkoba dari negeri jiran ini tergolong besar. Beberapa kali pengungkapan penyelundupan sabu yang dapat diungkap berasal dari Malaysia, baik ke wilayah Sumatra Utara dan Aceh melalui Selat Malaka, di Sebatik-Nunukan dari Tawau Malaysia, ataupun melalui jalur darat di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.

Upaya pencegahan

Dalam konteks pemberantasan narkotika, akhir-akhir ini BNN telah menunjukkan keberhasilannya. Sebagai organisasi baru dengan kewenangan penyidikan BNN hanya ada di tingkat pusat dan provinsi, BNN telah cukup sukses memutus jaringan narkotika. Berbeda dengan Polri yang mempunyai unit narkotika (narkoba) secara lengkap dari level pusat (Mabes Polri) hingga level polsek (kecamatan).

Sebagai focal point persoalan narkotika di Indonesia, BNN mempunyai peran strategis persoalan narkotika dari hulu hingga hilir. Sebagaimana amanat UU, BNN juga bertanggung jawab dalam upaya pencegahan. Harga narkoba di Indonesia yang tinggi dan permintaan pasar yang masih besar, banyak menunjukkan upaya pemberantasan telah cukup berhasil dan namun upaya pencegahan belum berhasil.Jika harga tinggi dan dibarengi dengan permintaan pasar yang sedikit, hal tersebut menunjukkan upaya pencegahan cukup berhasil.

Upaya pencegahan harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah, segmented, dan berdasarkan persoalan-persoalan khusus karena tiap daerah mempunyai persoalan narkoba yang berbeda (local minded). Misalnya upaya pencegahan di daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia di sepanjang perbatasan darat Kalimantan maka model pencegahan menjadi berbeda dengan persoalan narkoba di Jakarta.

Upaya pencegahan menjadi berbeda dan bergantung objek pencegahan tersebut. Situasi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, lokasi, atau kelompok komunitas harus dilihat sehingga program tepat sasaran.Indikator keberhasilan program pencegahan juga harus dilakukan agar program menjadi lebih terukur dan tepat sasaran. Institusi pendidikan seperti sekolah, perguruan tinggi, atau pondok pesantren bukan hanya harus bebas narkoba, melainkan juga menjadi partner aktif dalam upaya mencegah kejahatan luar biasa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar