Senin, 30 Maret 2015

Darkness, My Old Friend

Darkness, My Old Friend

AS Laksana  ;  Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional di Indonesia
JAWA POS, 29 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

KAMI pernah menjadi teman sekelas selama enam tahun di sekolah dasar. Setelah itu, saya dan dia tidak pernah lagi satu sekolah. Kami baru bertemu lagi secara tidak sengaja menjelang lulus SMA. Juga, pada saat itu kami tahu bahwa salah satu lagu kesukaan kami ternyata sama, The Sound of Silence Paul Simon dan Art Garfunkel.

”Hello darkness, my old friend, I’ve come to talk with you again....”

Itu larik pembuka yang terasa sangat mengesankan bagi saya saat mendengarnya kali pertama, bertahun-tahun lalu, dan sampai sekarang saya tetap menyukainya. Kalimat itu terasa seperti selalu mengikuti saya ke mana pun dan ia akan muncul begitu saja di dalam benak jika saya mulai merasa kelelahan oleh situasi yang terlalu riuh. Ia seperti alarm pengingat yang memberi tahu bahwa sudah saatnya saya menyapa sahabat lama, yakni kegelapan, dan bercakap-cakap dengannya.

Adakalanya saya membenci diri saya sendiri karena sering tidak mampu mengendalikan diri dari ingar-bingar yang menggoda dan gagal menyingkir dari keriuhan. Saya membiarkan diri menjadi bagian dari kebisingan dan ikut memperbising keadaan.

Anda tahu, dunia yang bising selalu melelahkan dan menguras tenaga. Kita harus berteriak kuat-kuat agar orang mendengar suara kita. Kita harus melakukan hal-hal yang bombastis agar orang memberikan perhatian kepada kita. Tetapi, ketika semua orang ingin didengar, ketika setiap suara mencoba menyerbu benak kita, dan ketika orang hanya mengembangkan kecakapan bicara, siapa lalu yang sudi mendengar?

Saya selalu khawatir pada keriuhan, pada situasi di mana setiap orang ingin didengar. Saya tidak menyukai situasi seperti itu. Saya selalu menaruh curiga bahwa ketika orang-orang sibuk bicara dan merindukan pendengar, maka inilah masa kejayaan para penjilat.

Hanya penjilat, Anda tahu, yang memiliki kesanggupan mendengar dan merespons pembicaraan orang dengan cara yang selalu menampakkan gairah serta mampu menyenangkan orang-orang yang suka bicara. Dia sanggup tertawa terbahak-bahak meskipun tidak ada pembicaraan yang lucu. Dia sanggup memuji pemikiran-pemikiran yang dangkal seolah-olah itu adalah pemikiran besar. Dia dengan ringan hati akan menyanjung karya yang biasa-biasa saja, seolah-olah itu mahakarya dan belum ada satu orang pun di dunia ini yang telah melahirkan karya sebagus itu.

”Kelihatannya kau sedang marah,” kata kawan saya.

”Sedang khawatir,” kata saya.

Kami bertemu lagi pekan lalu. Dia mendapatkan nomor telepon saya dari seorang teman lama. Kami sangat dekat bertahun-tahun lalu di sekolah dasar. Dan saya senang bertemu dengannya sekali lagi. Kepadanya, saya menyampaikan apa yang membuat saya khawatir. Saya mengatakan bahwa kita memasuki kehidupan yang hiruk pikuk dan orang-orang tampak sibuk, tetapi nyaris tidak ada karya yang menarik untuk dibicarakan. Kita tidak mendapatkan sesuatu yang bisa membuat kita sejenak berhenti dan mengambil jeda dari situasi yang rutin. Pikiran kita penuh oleh apa saja sehingga kita tidak punya waktu untuk diri sendiri. Kita tidak punya waktu untuk merancang kehidupan kita sendiri. Kita memikirkan dan mengomentari apa saja yang tidak menjadi urusan kita. Sebab, kita ingin suara kita didengar. Kita berlarian di jalanan, tetapi tanpa kegembiraan kanak-kanak yang berlarian di bawah hujan.

Kita begitu sibuk dan menggunakan nyaris seluruh waktu kita untuk mengerjakan apa saja, kecuali merumuskan tujuan kita sendiri. Sementara orang-orang besar selalu merancang kehidupan yang mereka inginkan untuk mereka, kehidupan terbaik yang bisa mereka wujudkan.

Saya terus mengomel. Kawan saya lebih banyak diam mendengarkan omelan saya.

”Sekarang kau fasih bicara,” katanya. ”Dulu kau pendiam. Itu berarti kau harus mulai berhati-hati.”

Astaga! Dia benar. Sejak kami bertemu, saya lebih banyak bicara dan dia lebih banyak diam mendengarkan.

Saya ingin bercakap-cakap dengannya hingga dini hari, tetapi dia tidak bisa.

”Acaraku besok dibuka pagi-pagi,” katanya. ”Setelah itu, malamnya langsung ke bandara, balik ke Semarang. Jadi, aku pamitan sekalian.”

Dia mengatakan, sebelum kami berpisah, tampaknya saya perlu masuk gua. ”Jika kau merasa risau pada keriuhan, kau perlu masuk ke dalam gua. Kau masih ingat lagu The Sound of Silence?

Dua hari kemudian saya menemukan e-mail darinya. Saya kutip utuh tulisannya sebagai berikut.

”Bung, ada saran dari seorang kenalan baru yang kujumpai di acara kemarin. Kupikir sarannya patut dipertimbangkan jika kau berminat membahagiakan dirimu sendiri. Dia bilang, bukan rezeki berlimpah yang mendatangkan kebahagiaan, melainkan kebahagiaanlah yang mendatangkan rezeki.”

”Waktu dia menyampaikan kepadaku soal itu, aku mengangguk-angguk saja. Kupikir dia hanya sedang menyampaikan sesuatu yang dia yakini atau mungkin kalimat yang baru dia dapatkan dari seorang motivator. Tetapi, aku mendengarkannya saja, toh tidak sedang mengajak berdebat tentang apa pun. Kemudian, kami bercakap-cakap dan aku tahu bahwa dia rupa-rupanya sedang melakukan percobaan dengan buku harian. Dia bilang, sudah beberapa minggu dirinya mengakrabkan diri dengan buku hariannya itu. Dia mengisi buku itu setiap hari dari Senin hingga Jumat. Hari Sabtu dan Minggu, dia libur mencatat.

”Setiap hari dia mencatat satu halaman saja. Hari Senin, dia menyampaikan dalam catatannya itu rasa terima kasih atas tiga hal baik dalam hidup. Hari Selasa, dia mencatat satu pengalaman dari masa lalu yang sangat menyenangkan. Hari Rabu, dia menuliskan masa depan atau hal terbaik yang bisa dia bayangkan tentang dirinya. Hari Kamis, dia mengingat dan mendeskripsikan seseorang yang dianggapnya penting dalam kehidupannya. Hari Jumat, dia mengingat-ingat pengalamannya selama satu minggu dan memilih mencatat tiga hal baik yang dialaminya.

”Dia mendorong aku untuk melakukannya juga. ’Cobalah lakukan,’ katanya. ’Paling banter lima menit setiap hari dan itu cara yang amat mudah untuk membahagiakan diri sendiri.’”

”Aku ingin mencoba menulis catatan harian seperti yang dilakukan kenalanku itu. Kupikir kau bisa melakukannya juga jika merasa itu hal yang bermanfaat buatmu. Kita mempunyai waktu 24 jam dalam satu hari dan menyisihkan lima menit setiap hari untuk mencatat hal-hal baik yang kita alami kurasa tidak akan membuatmu bangkrut sebagai manusia. Salam.”

Saya membalas e-mail-nya dengan ucapan terima kasih dan menyepakati sarannya sebelum kami berpisah, bahwa mungkin saya memang perlu masuk gua, menyapa kegelapan si kawan lama. ”Terima kasih juga sudah mengingatkan bahwa malam itu saya terlalu banyak bicara,” tulis saya. ”Kita sama tahu bahwa karya-karya yang baik selalu lahir dari keheningan, dari pikiran yang mampu melepaskan diri dari hiruk pikuk dan mau menyediakan waktu untuk mengakrabi kesunyian.” Saya selalu ingat bagian pembuka lagu itu, ”Hello darkness, my old friend...” dan sampai sekarang tetap mengingatnya. Kita mungkin memang membutuhkan kegelapan, kita perlu memasuki situasi gelap untuk menemukan cahaya terang. Orang-orang zaman dulu masuk ke dalam gua, ke dalam situasi gelap, untuk menemukan cahaya. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar