Selasa, 31 Maret 2015

Darurat Korupsi, Koruptor Diberi Remisi

Darurat Korupsi, Koruptor Diberi Remisi

Yenti Garnasih  ;  Doktor Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pertama di Indonesia, dosen di Fakultas Hukum Universitas Trisakti
DETIKNEWS, 26 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Remisi pada dasarnya memang hak setiap narapidana tanpa kecuali. Tapi juga perlu dipahami bahwa hak tersebut tidak serta-merta bisa didapatkan. Ada sederet persyaratan yang harus dipenuhi, seperti berkelakuan baik dan yang bersangkutan menyesali perbuatannya.

Di Indonesia dikenal berbagai macam remisi yang bisa diberikan kepada setiap narapidana, yaitu remisi umum (setiap Hari Kemerdekaan), remisi khusus (hari raya keagamaan yang dianutnya), dan remisi tambahan (memiliki prestasi atau jasa). Dengan banyaknya jenis remisi ini, seorang narapidana bisa hanya akan menjalani masa pemidanaan sekitar setengah dari vonis hakim.

Pemberian remisi kepada narapidana korupsi, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999, pada 2010 tercatat 341 orang mendapatkan remisi kemerdekaan dan pada 2011 sebanyak 600 orang. Jumlahnya 15 hari hingga 4 bulan.

Dari fakta inilah antara lain terbit perubahan kedua atas PP Nomor 32/1999 menjadi PP Nomor 99/2012. Peraturan pemerintah ini antara lain mensyaratkan si narapidana bersedia menjadi justice collaborator yang harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum. Atau telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Pemberian remisi kepada narapidana yang memenuhi syarat tentu sangat bergantung pada penilaian petugas lembaga pemasyarakatan. Artinya, pengawasan terhadap obyektivitas petugas lapas juga harus jadi evaluasi. Tanpa bermaksud menuduh, pernah terjadi adanya sel mewah, telepon seluler yang masuk lapas, izin berobat keluar dari lapas, dan lain-lain.

Dari fakta-fakta tersebut, tidak mengherankan kalau menuai kontra dari sebagian besar masyarakat. Apalagi, bersamaan dengan wacana ini, muncul fakta beberapa pelaku pencurian yang jauh lebih ringan malah diperlakukan dengan sangat keras, seperti perkara Nenek Asyani. Pada hakikatnya, korupsi juga pencurian, sama dengan kasus nenek tersebut, tapi ternyata hal ini tidak menjadikan pemikiran untuk pemberian keringanan.

Kalau wacana revisi peraturan pemerintah seperti dilontarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly beberapa waktu lalu untuk tujuan tidak diskriminatif (karena semua narapidana berhak mendapat remisi) dan kemudian alasan itu diperkuat dengan tujuan bahwa pemidanaan menjadi hanya pembinaan, apakah tepat? Bila memang hanya untuk tujuan pembinaan, akan berakibat semakin merajalelanya korupsi di Indonesia karena betapa enaknya hanya dimasukkan lapas dan dibina.

Pemidanaan, yang juga merampas hak kemerdekaan, seharusnya dilakukan untuk mencapai tujuan maksimal dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi. Artinya, jangan sia-siakan upaya negara yang telah 'dengan terpaksa' merampas hak manusia tersebut tapi ternyata tidak menjerakan sebagai tujuan yang sangat penting selain pembinaan.

Bagaimanapun, dengan adanya perubahan dari sistem penjara ke sistem lembaga pemasyarakatan, bukan berarti tujuan penjeraan tidak ada sama sekali, meskipun benar bahwa pembalasan yang menjadikan ciri sistem pemenjaraan tidak ada hasilnya. Tapi, kalau hanya pembinaan, justru akan menjadi pemanjaan terhadap pelaku. Hal ini bisa mengabaikan fungsi perlindungan terhadap korban perbuatan korupsi, yaitu masyarakat yang dirugikan. Karena ulah koruptor, mereka jadi miskin, mereka bodoh karena tidak ada fasilitas pendidikan, muncul persaingan usaha tidak sehat, demokrasi tercederai, dan pembangunan di segala bidang akan gagal.

Sebagai penutup, untuk memberikan sumbang pemikiran atas wacana revisi peraturan pemerintah tentang pemberian remisi kepada koruptor, perlu dipikirkan bahwa bagi Indonesia, yang saat ini angka korupsinya sangat tinggi, penghapusan hak remisi bukan hal yang salah, karena tergantung kebutuhan negara tersebut. Yang penting, semangatnya untuk apa? Apakah mengakui adanya kedaruratan dan kemudian harus meniadakan atau sebaliknya justru melonggarkan.

Permasalahan yang juga penting adalah sarana hukumnya harus tepat untuk memperkuat pemberian remisi tersebut. Tujuan pemidanaan, meskipun sudah pada era pemasyarakatan, bukan berarti hanya pembinaan (reformation), tapi masih ada kombinasi lain yang harus jadi muatan, yaitu rasa keterasingan (restrain) dan penjeraan (deterrence), baik untuk membuat kapok maupun mencegah orang lain melakukan korupsi.

Dalam sistem pemasyarakatan, hanya tujuan pembalasan/penderitaan fisik (retribution) yang hilang, tapi penjeraan (penestapaan perasaan) tetap harus ada. Bila tidak, tentu tidak menjerakan, karena hanya pindah tempat dan tidak boleh keluar serta mendapat pembinaan. Tentu ini tidak sebanding dengan perbuatannya, meski tidak bermaksud pada tujuan pembalasan yang telah ditinggalkan sejak akhir abad ke-19.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar