Kamis, 26 Maret 2015

Deradikalisasi dan Islamic State

Deradikalisasi dan Islamic State

Sumiati Anastasia  ;  Lulusan University of Birmingham, untuk Relasi Islam-Kristen
KORAN TEMPO, 25 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Puluhan warga negara Indonesia sudah berada di Suriah dan Irak untuk bergabung dengan  Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS). Hal ini terkuak setelah sekitar 16 WNI asal Surabaya memisahkan diri dari rombongan wisata mereka ke Turki dan bermaksud menyeberang ke Suriah untuk bergabung dengan  ISIS. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah menyebutkan, sekitar 500 WNI telah bergabung dengan ISIS sejak 2014, baik di Irak maupun Suriah. BNPT juga mengingatkan, masih akan ada WNI lainnya yang hendak bergabung dengan ISIS. Apalagi, program perekrutan para jihadis baru terus dilakukan karena ISIS punya suplai dana melimpah.

BNPT memandang ISIS hanya kulit. Sebab, sejak dulu, radikalisme selalu bisa membungkus dirinya lewat oraganisasi apa pun, entah Jamaah Islamiyah atau Al-Qaidah.

Menurut pengamat terorisme, Nasir Abas, salah satu faktor bergabungnya WNI dengan organisasi radikal seperti ISIS adalah adanya kebencian terhadap pemerintah, yang dianggap tidak menjalankan syariat Islam serta banyak berbuat dosa, misalnya korupsi.

Pada masa lalu, pemikiran kaum radikal itu telah termanifestasi dalam berbagai aksi teror di negeri kita. Tokoh kelompok radikal, seperti Imam Samudra (mendiang), punya konsep cosmic war, yakni peperangan antara yang baik dan yang jahat (Mark Juergensmeyer, Teror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, University of California Press, 2000).

Entah kini sudah berapa ratus jiwa melayang, dibunuh, dan dipenggal oleh ISIS. Kekejian seperti itu, menurut ISIS, sah dilakukan karena adanya konsep cosmic war.

Karena itu, mereka yang menjadi bagian dari kelompok radikal, seperti ISIS, cenderung menutup diri dan anti-arus utama. Mereka tak menaruh respek pada ormas Islam yang besar, seperti Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah. Bahkan, orang muslim lainnya pun mereka nilai sesat.

Konyolnya, sebagian kalangan muda, bahkan termasuk  mahasiswa, kian terpesona oleh ISIS. Akal sehat mereka sudah berhasil "dicuci" oleh para guru agama yang menanamkan kebencian. Mereka tidak bisa lagi memahami bahwa membunuh, apalagi memenggal serta mengumbar brutalitas, merupakan bentuk kebiadaban.

Padahal, dalam perspektif peradaban, agama merupakan bagian tak terpisahkan dari peradaban, yang membuat manusia tidak jatuh dalam kebiadaban.  Apa yang dilakukan kaum radikal yang doyan mengumbar kekerasan atau kebiadaban merupakan penyimpangan keagamaan dan menjadi tragedi memilukan dalam sejarah peradaban umat manusia.

WNI yang hendak bergabung menjadi warga negara ISIS tak jadi soal. Hal itu menjadi masalah jika mereka kembali dan mencoba memasarkan ideologi kekerasan di negeri yang majemuk. Salah satu langkah strategis yang harus diambil dalam situasi demikian adalah melakukan deradikalisasi. Hanya dengan deradikalisasi diri kita bisa menyelamatkan Indonesia dari ancaman radikalisme.

Ketua rukun warga dan rukun tetangga serta warga perlu dilibatkan. Jika ada keluarga yang tertutup dan terkesan antisosial, mungkin perlu didekati. Para guru agama yang mencuci otak orang muda atau menyebarkan kebencian, termasuk lewat mata pelajaran di sekolah, jelas harus diberi sanksi atau hukuman tegas. Sebab, menurut BNPT, para guru penyebar radikalisme di Indonesia tidak tersentuh tangan hukum. Jadi, jika peraturan akan dibuat, para guru penyebar kebencian itu juga perlu dihukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar