Senin, 30 Maret 2015

Harga Beras yang Wajar

Harga Beras yang Wajar

Adhi S Lukman  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Indonesia;
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia
KOMPAS, 28 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Gonjang-ganjing lonjakan harga beras jadi salah satu topik hangat di awal 2015.
Berbagai analisis dilakukan untuk mencari penyebabnya. Di antaranya disebutkan karena keterlambatan panen, pemerintah bertekad menghentikan impor beras dan bahkan ada analisis karena permainan ”mafia” hingga dikaitkan dengan adanya kompleksitas permafiaan dengan komoditas lain, seperti gula, sehingga mendistorsi pasar.

Apakah demikian? Apakah kenaikan tersebut wajar atau memang benar-benar spektakuler? Di Kompas edisi 5 Maret 2015 dilaporkan dengan judul ”Harga Beras Menjadi Pelajaran”. Dari laporan itu diperoleh informasi, kenaikan selama 2015 sekitar 11,5 persen dibandingkan 2014. Kiranya pemerintah perlu punya tolok ukur kenaikan harga yang wajar agar tidak selalu terjadi kepanikan.

Memang, beras menjadi salah satu bahan pokok yang berkontribusi besar terhadap inflasi. Pada 2014, inflasi ditutup pada angka 8,36 persen, di mana 2,06 persen dikontribusi oleh bahan pangan segar (Badan Pusat Statistik, 2015).

Kenaikan harga beras menahan laju deflasi di Februari 2015. Pemerintah ingin mengendalikan inflasi untuk kepentingan masyarakat luas dan sebaliknya juga tentu ingin melindungi petani dengan memberikan kewajaran nilai tukar seperti yang diamanatkan dalam UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (PPP). Mari kita lihat harga beras dibandingkan dengan beberapa faktor lain untuk menentukan kewajarannya.

Bisa jadi kenaikan harga karena penurunan area tanam padi serta produksinya, sementara permintaan naik karena penambahan jumlah penduduk. Melihat laporan BPS, terjadi penurunan area tanam padi dari 13,25 juta hektar pada 2010 menjadi 12,67 juta hektar pada 2013. Terlihat adanya penurunan luas lahan berkelanjutan meskipun produksi berfluktuasi berkisar 65,6 juta-67,3juta ton pada 2010-2013.

Berdasarkan survei BPS, kenaikan harga gabah kering giling (GKG) tidak selalu beriringan dengan kenaikan harga beras. Berdasarkan data survei, harga rata- rata beras selalu naik dari tahun 2010 sampai 2013 sebagai berikut Rp 6.772, Rp 7.245, Rp 8.738, danRp 8.823. Sementara GKG berturut-turut adalah Rp 3.598, 4.102, 4.536, dan 4.674.Ada periode tertentu kenaikan harga beras jauh di atas kenaikan GKG, yaitutahun 2012, kenaikan harga beras 20,60 persen, sementara GKG hanya 10,58 persen. Hal ini menunjukkan petani tidak selalu menikmati kenaikan harga beras yang tinggi.

Apabila dibandingkan dengan inflasi, pada 2013 dan 2014 kenaikan harga beras sebenarnya masih jauh di bawah inflasi, meskipun sudah di atas harga yang dijamin pemerintah melalui inpres.Dalam kondisi demikian tentunya petani merasakan nilai tukarnya semakin rendah dan tergerus oleh inflasi.

Namun, ada periode tertentu kenaikan harga beras jauh di atas inflasi, seperti terjadi pada 2012, lonjakan harga beras hampir lima kali inflasi. Inflasi sejak tahun 2010 sampai 2014 adalah 6,96 persen, 3,79 persen, 4,30 persen, 8,38 persen, dan 8,36 persen. Sementara persentase kenaikan harga beras dari tahun 2011 sampai 2014 adalah 6,98 persen, 20,60 persen, 0,98 persen, dan 2,27 persen (diolah dari data BPS dan Badan Ketahanan Pangan).

Menentukan batas wajar

Apabila dibandingkan dengan harga internasional (perbandingan dengan harga beras Thailand karena Thailand merupakan salah satu pemasok beras terbesar di dunia), ada disparitas perubahan harga beras. Harga beras Indonesia selalu di atas harga internasional. Perubahan harga beras Thai White 100% B second grade berturut-turut 9,07 persen, 4,07 persen, dan (-)9,18 persen pada 2011-2013. Sementara kenaikan harga beras di Indonesia hampir selalu jauh di atas harga internasional pada periode sama seperti terlihat pada data di atas. Ini mengindikasikan ada yang perlu dibenahi dalam komponen produksi beras Indonesia untuk meningkatkan daya saingnya

Seperti diamanatkan dalam UU PPP, tentunya pemerintah perlu memberikan perlindungan kepada petani seperti dilakukan di banyak negara. Faktor inflasi harus menjadi pedoman utama dalam menentukan kewajaran harga beras agar minimal nilai tukar petani tidak semakin tergerus. Namun, kenaikan yang jauh di atas inflasi, apalagi dibandingkan dengan harga internasional, akan menjadi bumerang bagi pemerintah dalam upaya merealisasikan ketahanan pangan.

Jika dilihat dari analisis di atas, kenaikan harga beras fluktuatif dan kadang jauh di bawah inflasi, tetapi lebih sering di atas harga internasional. Karena itu, pemerintah perlu menentukan patokan kenaikan (di samping jaminan harga dasar yang sudah dilakukan) dengan merumuskan, misalnya ”kenaikan wajar maksimum = (inflasi + X)”, di mana X merupakan nilai kesepakatan yang ditentukan agar nilai tukar petani meningkat secara bertahap dan bisa meningkatkan kesejahteraan petani serta bisa menjadi daya tarik bagi generasi muda untuk terjun menjadi petani.

Nilai X dievaluasi secara periodik dengan berbagai faktor konsideran. Misalnya, inflasi tahun lalu 8,36 persen, dan disepakati nilai X = 1, maka kenaikan wajar adalah maksimum 9.36 persen. Minimal pemerintah mempunyai patokan terukur (batas atas dan bawah) dan sepanjang kenaikan tidak melebihi nilai tersebut, tak perlu terjadi kepanikan dan perdebatan tentang kewajarannya.

Namun, perlu menjadi catatan bagi pemerintah mengingat harga beras di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan internasional, perlu dilakukan upaya peningkatan produktivitas dengan konservasi lahan yang jelas, ekstensifikasi dan intensifikasi melalui teknologi, dan input produksi, seperti benih, pupuk serta good agriculture practices (GAP). Diharapkan harga beras akan lebih rendah, yang berkontribusi pada penurunan inflasi, akan tetapi marjin petani meningkat.

Ujungnya, petani senang, masyarakat senang, serta ekonomi sehat dan pemerintah kuat. Semoga pemerintah bisa menambahkan harga patokan wajar (HPW) di samping penentuan harga pokok produksi (HPP) gabah/beras yang sedang dalam proses pembahasan, tentu denganmempertimbangkan semua faktor di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar