Rabu, 25 Maret 2015

Lee Kuan Yew : The Philosopher King

Lee Kuan Yew : The Philosopher King

Dino Patti Djalal  ;  Mantan Jubir Presiden SBY (2004–2010);
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI)
JAWA POS, 24 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

DULU, sewaktu kuliah, saya belajar teori politik Plato bahwa pemimpin yang paling ideal adalah yang berkualitas ”the philosopher king”: yang punya kekuasaan selayaknya seorang raja, namun serbatahu dan bijak seperti seorang filsuf. Tipe itu jarang sekali ada. Banyak orang yang berkuasa tapi tidak bijak dan banyak orang yang bijaksana tapi tidak punya kuasa. Lee Kuan Yew adalah salah seorang philosopher king di Asia yang paling menonjol di abad ke-20. 

Ketika Singapura mendadak menjadi negara merdeka pada 1965 karena ”diceraikan” Federasi Malaysia, Lee Kuan Yew mewarisi kondisi yang sangat memprihatinkan. Singapura tidak punya sumber alam, tidak punya modal, minim jati diri, dan digerogoti komunisme.  Banyak yang meramal bahwa eksperimen kebangsaan di Singapura akan kandas.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dengan kepemimpinan yang luar biasa, Lee dan rekan-rekan politiknya dalam People’s Action Party mengalahkan komunisme. Dan mengubah Singapura hanya dalam dua–tiga dekade menjadi negara maju, dengan nasionalisme yang kukuh. Singapura menjadi negara yang paling gesit beradaptasi dengan globalisasi: sebagai hub transportasi, kemudian hub perdagangan, hub manufaktur, hub finansial, dan dewasa ini sebagai hub inovasi. Prestasi terbesar LKY (Lee Kuan Yew), menurut saya, adalah membangun suatu negara di mana hukum benar-benar menjadi panglima dan membentuk suatu pemerintahan yang termasuk paling bersih di dunia.

Sebagai pemimpin, kekuatan LKY yang paling ampuh adalah intelektualitasnya. Pengetahuannya tidak ada batasnya. Analisisnya selalu tajam, begitu pula naluri politiknya. Dia tidak pernah defensif, tidak pernah kehilangan jawaban, dan jago berdebat mengenai isu apa pun. Karena itulah, para pemimpin dunia –mulai presiden Amerika Serikat, presiden Tiongkok, termasuk SBY sendiri dulu– gemar mencari LKY untuk menambah wawasan dan mendengar analisis beliau.

Dari jajaran pemimpin Asia yang penuh gejolak (termasuk Orde Baru di Indonesia), Lee termasuk unik karena melengserkan diri di puncak kekuasaan. Dan dia tidak memberikan takhta kepada putranya. Dia digantikan Goh Chok Tong sebagai perdana menteri dan beberapa tahun kemudian barulah putranya (Lee Hsien Loong) menggantikan Goh. LKY, pendeknya, menangani suksesi kepemimpinan Singapura dengan bijak.

Dalam perjalanan karir saya sebagai diplomat, saya tiga kali bertemu Lee secara fokus. Pertemuan pertama dilakukan bersama sejumlah tokoh muda di sebuah hotel di Jakarta. Ada 15 orang yang hadir dan LKY secara sistematis menjawab dengan apik setiap pertanyaan para peserta yang berasal dari berbagai kalangan. Saya yakin kami semua waktu itu berpikir, ”Bapak satu ini ilmunya gak ada habis-habisnya.”

Pertemuan kedua lebih impresif. Masih sebagai juru bicara kepresidenan, saya bersama sejumlah tokoh muda menemui LKY di kantor perdana menteri Singapura. Setelah pertemuan berakhir, seorang staf membisikkan ke telinga saya, ”Pak Dino, Anda jangan pulang dulu. Lee Kuan Yew ingin bertemu Anda empat mata.” Saya kemudian digiring sendirian ke lantai atas, tempat LKY sudah menunggu saya di meja kerjanya.

Selama satu jam, dalam suasana hening malam dan tanpa pencatat, LKY menguras otak saya mengenai politik luar negeri Presiden SBY dan mengenai dinamika elite serta intrik politik di Jakarta. Pertanyaan beliau bertubi-tubi dan setiap jawaban saya ditimpali dengan observasi tambahan dari beliau sendiri. Saya mengamati bahwa LKY sebenarnya tahu secara detail rimba politik Indonesia. Namun, beliau selalu haus informasi baru –khususnya insights– yang bisa menajamkan analisisnya. Yang kemudian saya ketahui, LKY tidak pernah menolak bertemu siapa pun dan dari mana pun (bahkan pejabat yang bukan senior) asal beliau dapat ”sesuatu” yang baru. Tidak banyak pemimpin yang melakukan metode seperti itu.

Pertemuan ketiga terjadi pada 29 Agustus tahun lalu, ketika saya diundang untuk memberi pidato di Pyramid Club sehubungan dengan Hari Kemerdekaan Singapura. Pyramid Club adalah kumpulan elite politik dan ekonomi Singapura. Dalam acara yang sangat tertutup tersebut, tidak boleh ada media dan saya dilarang membawa kamera (keesokan harinya sama sekali tidak ada berita mengenai acara tersebut).

Malam itu hadir PM Lee Hsien Loong dan sejumlah anggota kabinet. Namun, yang paling berarti bagi saya adalah kehadiran LKY di tengah berita mengenai kondisi kesehatannya.  Jujurnya, saya sempat agak kikuk berbicara di depan LKY yang selama ini saya kagumi. Namun, rasa grogi itu segera hilang ketika saya melihat beliau tertawa mendengar beberapa joke saya yang menggoda beliau.

Ketika pidato saya berakhir, saya sempat mengantar LKY ke mobil dan beliau menyapa saya dengan senyuman, mungkin karena susah berbicara. Saya teringat beliau berjalan tertatih-tatih, namun tetap penuh semangat hidup. Saya tidak akan pernah melupakan tatapan mata lembut beliau malam itu. Saya sudah berfirasat mungkin itu terakhir kalinya saya melihat figur LKY. Ada perasaan lirih di hati saya. Karena saya tahu bahwa LKY adalah anak zaman yang tidak akan tergantikan oleh siapa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar