Selasa, 31 Maret 2015

Paspor Hitam DPR, Risiko Hitam RI

Paspor Hitam DPR, Risiko Hitam RI

Eddi Santosa  ;  Koresponden Detikcom di Belanda
DETIKNEWS, 26 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Rencana Setya Novanto agar semua anggota DPR RI mendapat paspor diplomatik seharusnya dicegah oleh anggota DPR RI sendiri, terutama mereka yang muda-muda. Bakal jadi aib bagi Indonesia.

Argumentasi seperti disampaikan Tantowi Yahya bahwa DPR RI memiliki fungsi sebagai agen diplomasi, selain fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, dengan mengacu pada UU No 17 tahun 2014 tentang MD3 juga tidak benar sama sekali.

UU itu, tepatnya Pasal 69 hanya menegaskan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, di mana ketiga fungsi tersebut juga untuk mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri. Pasal itu tidak menyebutkan bahwa DPR RI adalah agen diplomasi. Kewenangan dan fungsi DPR RI dengan jelas dibatasi oleh Konstitusi (UUD) 1945 Pasal 20. Jika pemahaman Tantowi Yahya ini tidak ada yang mengoreksi, maka rusaklah praktik Trias Politika dan bisa semakin kacau negara ini.

Paspor diplomatik atau disebut juga paspor hitam diterbitkan untuk personel misi diplomatik di luar negeri, di mana mereka mendapat hak kekebalan diplomatik sebagaimana diatur dalam Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 (biasa disebut ringkas: Konvensi Wina). Masyarakat dengan mudah dapat mengakses UUD MD3 dan Konvensi Wina melalui Google untuk ikut menguji bobot rencana orang-orang DPR itu.

Tidak seperti bayangan sebagian orang DPR RI itu, paspor diplomatik yang diterbitkan suatu negara tidak serta merta memberi pemegangnya hak kekebalan diplomatik. Hal ini ditetapkan dalam putusan Law Lords oleh House of Lords setelah penangkapan Augusto Pinochet. Tanpa akreditasi negara yang dikunjungi, paspor diplomatik terbitan RI yang dipegang anggota DPR RI tidak akan bernilai apa-apa.

Dalam praktiknya, sebagaimana di Belanda, hak kekebalan diplomatik juga diklasifikasikan menjadi hak kekebalan diplomatik absolut, yang hanya diberikan kepada kategori berkode AD yakni ambassador (Dubes), staf diplomat, dan anggota keluarga mereka. Di luar lapis pertama ini, hanya mereka yang termasuk kategori berkode BD, yakni staf teknis dan administrasi beserta keluarga mereka. Selain kategori AD dan BD, seseorang tidak mendapat kekebalan diplomatik absolut, meskipun dia memegang paspor diplomatik.

Demikian sensitifnya paspor diplomatik dan dampak yang bisa ditimbulkannya, sehingga pemerintah Belanda hanya menerbitkan paspor diplomatik bagi diplomatnya dan mereka yang resmi mengemban tugas mewakili negaranya sebagai anggota delegasi. Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri dan para Dubes Belanda yang telah tidak aktif lagi menjalankan jabatannya itu atau telah pensiun, tidak mendapat paspor diplomatik atau tidak diperpanjang masa berlakunya. Mereka kalau bepergian menggunakan paspor biasa (Jubir Kemlu Annelou van Egmond, Trouw, 15/9/2009).

Meskipun demikian, di Belanda pernah terjadi insiden paspor diplomatik yang menimbulkan guncangan politik domestik dan hubungannya dengan negara-negara sahabatnya. Gara-garanya Gretta Duisenberg, istri presiden aktif European Central Bank, melakukan kunjungan ke wilayah Palestina dengan paspor diplomatik. Seorang Gretta, sudah terbiasa dengan kehidupan papan atas dan protokoler, tapi bisa berbuat blunder seperti itu. Apalagi, mohon maaf, anggota DPR RI yang sebagian besar masyarakat sudah tahu seperti apa.

Mengacu pada Konvensi Wina, negara-negara sebagaimana Belanda dimungkinkan menerbitkan paspor diplomatik kepada perdana menteri, pejabat tinggi, anggota komisi terkait di parlemen yang menjadi anggota delegasi misi diplomatik di luar negeri dan ini sifatnya tidak permanen. Apakah praktik seperti ini tidak pernah ada di Indonesia, sehingga DPR RI menuntut seluruh anggota DPR RI diberi paspor hitam?

Pada akhirnya, anggota DPR RI perlu fokus pada paragraf keempat Mukadimah Konvensi Wina, "Realizing that the purpose of such privileges and immunities is not to benefit individuals but to ensure the efficient performance of the functions of diplomatic missions as representing States (Menyadari bahwa tujuan hak istimewa dan kekebalan seperti itu tidak untuk kepentingan individu melainkan untuk menjamin kinerja efisien fungsi misi diplomatik sebagai perwakilan negara),"  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar