Senin, 30 Maret 2015

Zaman Batu

Zaman Batu

M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 28 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Situbondo-Jakarta berjarak 947,5 kilometer. Di Situbondo, Jawa Timur, Nenek Asyani yang didakwa mencuri dua balok kayu jati seharga Rp 4,3 juta menangis dan ketakutan. Dia merasakan tajamnya pedang hukum. Di Jakarta, banyak pejabat berharta miliaran hidup tenang. Pedang hukum sangat tumpul. Di Jakarta pula, politisi berantem berebut kuasa. Di Amerika Serikat, seorang netizen, Johnny Vegas, menyindir keras, "Saya malu karena para politisi kami telah menjual kami untuk setiap kepentingannya dengan uang." Vegas menohok pernyataan Senator Partai Republik, John McCain, dalam acara Face the Nation di CBS, Minggu (22/2). Karena negaranya dan Eropa tidak mau mempersenjatai Ukraina melawan Rusia, calon Presiden AS 2008 itu bilang, "Saya malu kepada negara saya, saya malu kepada presiden saya, dan saya malu kepada diri sendiri."

Komentar McCain pun dicibir netizen. Sebab, politisi kerap merasa paling benar, suka menuding, tak konsisten, komitmen rendah, kurang jujur. Mereka lebih suka memakai topeng: menghidupkan kepalsuan (artificiality), sebaliknya mematikan kebajikan (virtue). Amerika Serikat memang bukan negeri kita, tetapi watak politisi di mana pun tak jauh berbeda. Gambaran watak politisi mungkin tepat direpresentasikan Kanselir Jerman Konrad HJ Adenauer (1949-1963) yang blak-blakan bilang, "Peduli amat dengan omongan saya yang kemarin-kemarin."

Politisi kita juga sering bertingkah. Senayan, markas politisi kita, tak jua berhenti bergejolak. Soal calon Kapolri saja terus "digoreng". Nama Komisaris Jenderal Badrodin Haiti dikembalikan ke Presiden Joko Widodo. Urusan Kapolri saja membuat kegaduhan luar biasa dalam dua bulan ini sejak kasus Komjen Budi Gunawan. Politisi gagal move on setelah berseteru seru pada Pemilu Presiden 2014. Partai politik, rumah para politisi itu, belum mampu menjadi pilar demokrasi. Parpol justru menjadi biang kekisruhan dan terjadinya sekat-sekat politik.

Partai Golkar yang terkuat selama rezim Orde Baru bahkan tak mampu menyemai demokrasi di internal partai. Bahkan, muncul rencana hak angket di DPR terkait kasus Golkar. PPP juga terbelah. Mereka tak belajar sebagai korban yang dikerdilkan selama bertahun-tahun pada era Orde Baru. Dari arena PAN pasca kongres di Bali, akhir Februari lalu, terdengar sejumlah politisi kubu Hatta Rajasa akan mundur atau terdepak. Politisi ternyata tak mampu menyelesaikan masalah di dalam rumah mereka sendiri. Menyerahkan urusan politik ke mimbar hukum hanyalah memperjelas ketidakmampuan politisi melakoni "seni memengaruhi". Bagaimana mau menyelesaikan persoalan bangsa jika persoalan internal partai saja tidak mampu diatasi?

Di Jakarta, politisi DPRD ramai-ramai mengusung hak angket melawan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait APBD DKI Jakarta 2015. Ahok memotong anggaran Rp 12,1 triliun yang dinilainya siluman. Dia tak ingin APBD menjadi bancakan pihak-pihak tertentu. Terakhir, para relawan Jokowi ditunjuk menjadi komisaris di BUMN-BUMN. Jika kondisi politisi dan parpol kayak begitu, kok, ada wacana mau mendanai parpol Rp 1 triliun. Bisa-bisa orang berbondong-bondong mendirikan parpol yang mungkin segera menjelma menjadi "perusahaan politik". Di banyak negara, parpol memang didanai negara. Namun, mereka benar-benar bekerja untuk rakyat. Membiayai parpol di negeri ini dalam kondisi sekarang, rasanya enggak, deh!

Panggung politik memang selalu tak terduga, penuh ironi, juga anomali. Politisi sulit dipegang karena terlalu licin. Menurut Gerhard Falk, sosiolog dan sejarawan Universitas Buffalo, New York, dalam tradisi kuno, politisi adalah mereka yang bersandar pada satu tangan sambil berbaring di kursi dan makan dengan tangan yang lain. "Politisi bersandar kepada kita yang bekerja untuk hidup, sementara mereka makan, minum, pelesiran, pesta, parade, dan berteriak terus-menerus. Politisi juga mengklaim bahwa mereka 'melayani'. Itu benar. Mereka melayani diri mereka sendiri," tulis Falk.

Menyimak Falk, maka politisi sungguh menyebalkan. Bagaimana menjelaskan ironi hukuman Nenek Asyani yang dituduh mencuri kayu jati seharga Rp 4,3 juta sementara koruptor yang mengeruk uang rakyat miliaran rupiah akan diberi remisi? Bagaimana memahami kepastian hukum ketika dualisme putusan praperadilan antara putusan hakim Sarpin Rizaldi di Jakarta dan hakim Kristanto Sahat di Purwokerto? Bagaimana kita dapat memahami kewibawaan negara terkait hukuman mati terpidana narkoba yang justru dibiarkan terus menjadi komoditas? Bagaimana kita percaya ekonomi aman sementara rupiah terjerembap? Beginilah ironi dan anomali negeri kita.

Jangan-jangan sekarang ini zaman kala bendu, ketika manusia makin memangsa, elite politik makin licik, pejabat makin jahat, sedangkan rakyat makin melarat, dan rasionalitas tiba-tiba terempas. Banyak politisi tak merasa malu untuk korupsi, tidak malu untuk tidak jujur, tidak malu untuk berkhianat. Konsultan politik pendiri First Person Politics, David Rosen (2013), menyatakan, dalam psikologi politik, teridentifikasi enam tipe kepribadian di dunia politik, yaitu narsisis, obsesif kompulsif, machiavellian (tak tahu malu, tak jujur), otoriter, paranoid, dan totaliter.

Kewarasan berpolitik tampaknya semakin menjauh. Baru tersadar sekarang ini kita kembali ke "zaman batu". Di mana-mana, mungkin dari Sabang sampai Merauke, orang berburu batu akik yang juga bernilai ekonomi. Banyak orang, termasuk politisi, sibuk menggosok batu akik dan bisa jadi lupa pada nasib rakyat. Demam batu akik semacam eskapisme dari keruwetan kehidupan nyata. Apakah Presiden juga suka batu akik? Kali ini saya tak berani bertanya langsung kepada Presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar