Selasa, 28 April 2015

Antara Soekarno, Mandela, Jokowi, dan Nahrawi

Antara Soekarno, Mandela, Jokowi, dan Nahrawi

Dinarsa Kurniawan  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 27 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERAYAAN 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) sudah berlalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mungkin sudah bisa bernapas lega setelah serangkaian seremoni yang dihadirinya berjalan lancar. Salah satu seremoni yang dia lalui adalah historical walk untuk mengenang digelarnya konferensi tersebut 60 tahun lalu di Kota Kembang. Dalam acara Jumat lalu (24/4) itu, orang nomor satu di Indonesia tersebut berjalan dengan diapit Perdana Menteri Malaysia Datuk Najib Tun Razak dan Presiden Tiongkok Xi Jinping.

Senyum tak henti mengembang di wajah para pemimpin tersebut. Lambaian tangan juga mengiringi langkah mereka ketika berjalan menyusuri Jalan Asia Afrika, Bandung. Sesekali di antara mereka berbincang. Entah apa yang diperbincangkan. Mungkin pembicaraan serius yang menyangkut hubungan diplomatik antarnegara atau malah hal-hal yang remeh-temeh. Misalnya, ”Ayo, habis ini kita belanja bareng di FO (factory outlet).”

Tapi, bagaimana jika yang dibicarakan adalah sepak bola? Jika itu yang menjadi bahan obrolan sepanjang perjalanan, pasti terasa menyiksa bagi presiden ketujuh RI itu. Jika dibandingkan dengan Tiongkok dan Malaysia, prestasi sepak bola Indonesia paling medioker, kalau tidak mau dibilang papan bawah. Untung, Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak tidak ikut dalam rombongan terdepan. Kalau Taur Matan Ruak ikut nimbrung soal urusan bola, bisa jadi Jokowi tiba-tiba mundur ke barisan di belakangnya karena malu.

Ya, Indonesia sekarang bukan lagi negara superior untuk urusan sepak bola bila dibandingkan dengan Timor Leste. Faktanya, ranking FIFA terbaru Timor Leste yang notabene negeri kemarin sore itu sudah meng-overlap Indonesia. Kita berada di peringkat ke-159, sedangkan negara yang dulu provinsi ke-27 Indonesia itu menempati urutan ke-152.

Karena itulah, KAA seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai media konsolidasi dan kerja sama antara negeri-negeri Asia dan Afrika. Tapi, semangat perubahan yang dibawanya juga memberikan inspirasi bagi Jokowi untuk memperbaiki negara yang dipimpinnya ini. Termasuk memperbaiki prestasi sepak bolanya yang tak kunjung siuman dari koma.

Dari negeri macan Asia yang disegani di era KAA dulu, kini Indonesia menjelma sebagai anak kucing persia nan lucu. Berkaca pada apa yang dilakukan Soekarno dulu untuk olahraga, yang benar-benar mampu membanggakan rakyatnya, seharusnya Jokowi juga memberikan perhatian serupa terhadap olahraga seperti sang patron.

Kebetulan, saat ini yang perlu mendapatkan curahan perhatian adalah sepak bola. Ingatlah, ketika Indonesia masih sangat muda, kita pernah menahan imbang Uni Soviet pada Olimpiade Melbourne 1954 di babak perempat final. Padahal, ketika itu negeri komunis tersebut diperkuat Lev Yashin, salah seorang penjaga gawang terbaik sepanjang masa.

Deretan prestasi membanggakan juga terukir pada era itu. Antara lain, merebut medali perunggu pada Asian Games 1958 serta medali perak Asian Games 1966. Sekarang... Boro-boro deh. Lawan Filipina saja babak belur. Pada pertemuan terakhir dengan negara yang dulu selalu menjadi bulan-bulanan itu, kita malah kalah 0-4. Itu terjadi pada pertandingan grup A Piala AFF 2014. Prestasi terakhir yang pernah kita raih adalah emas sepak bola pada SEA Games 1991. Lama sekali, 24 tahun silam. Kalau pada SEA Games tahun ini di Singapura timnas kita gagal juga dapat emas, tahun depan kita bakal bikin ulang tahun perak peringatan emas SEA Games terakhir dari cabor sepak bola.

Karena itulah, langkah Menpora Imam Nahrawi membekukan PSSI pada 18 April lalu sudah seharusnya mendapatkan dukungan dari Jokowi. Sebab, pembekuan itu adalah langkah awal untuk menyelamatkan sepak bola Indonesia. Sang presiden harus memastikan bahwa Menpora, yang merupakan pembantunya di bidang keolahragaan, tak sendiri berjuang memperbaiki sepak bola nasional. Sekarang sudah waktunya Jokowi turun gunung dan menyampaikan sikap terkait sepak bola Indonesia.

Jika nanti FIFA geram dan memberikan sanksi kepada Indonesia karena presiden ikut turun tangan, saat itulah justru peran presiden bakal lebih besar untuk ikut men-drive sepak bola kita menuju arah yang lebih baik. Kemenpora serta seluruh rakyat tentu bakal lebih bersemangat karena sang panutan turut berjalan di barisan terdepan untuk menggelorakan perbaikan sepak bola nasional.

Selain itu, para pemain yang selama ini khawatir mau dibawa ke mana nasibnya jika PSSI dibekukan bakal lebih tenang. Nah, dengan ikut andil memperbaiki kondisi sepak bola Indonesia, sejatinya Jokowi juga melaksanakan Nawacita yang konsisten didengungkan ketika berkampanye pada pilpres tahun lalu. Sebab, bagi rakyat Indonesia, sepak bola bukan sekadar permainan mencari keringat. Lebih dari itu, sepak bola adalah identitas sekaligus kebanggaan bangsa.

Seperti juga makna olahraga rugbi bagi masyarakat Afrika Selatan. Permainan full body contact asal Inggris itu punya banyak penggemar di Afrika Selatan. Karena itulah, tidak heran ketika kali pertama terpilih sebagai presiden pada 1994, Nelson Mandela tidak hanya memberikan perhatian untuk kesejahteraan rakyatnya, tapi juga mengulurkan perhatian untuk The Springboks (nama timnas rugbi Afrika Selatan).

Akhirnya, tim yang saat itu dikapteni Francois Pienaar tersebut sukses menjuarai Piala Dunia Rugbi 1995, di mana Afrika Selatan menjadi tuan rumah. Namun, jalan yang harus dilalui Mandela begitu berliku. Kala itu kondisi rugbi di Afrika Selatan sangatlah kompleks. Pria yang biasa disapa Madiba itu harus mendamaikan dendam rasial yang sudah mengakar berpuluh tahun. Meredam kemarahan masa lalu dalam individu-individu terbaik itu serta menyatukan mereka dalam tim yang beranggota pemain berkulit hitam dan putih. Membangun tim Springboks terbaik tanpa memedulikan warna kulit.

Sebagai catatan, sebelum era Mandela, timnas rugbi hanya beranggota pemain berkulit putih. Karena itu, meski sudah dibebaskan dari hantu apartheid, pemain kulit hitam tetap didiskriminasi ketika turut membela panji negaranya. Kisah menyentuh tersebut terangkum dalam film bertitel Invictus (2009) yang memasang Morgan Freeman sebagai Mandela dan Matt Damon sebagai Pienaar.

Pertanyaannya sekarang, akankah Jokowi mengambil langkah seperti yang sudah dilakukan Soekarno dan Mandela? Sebenarnya saya sendiri sebagai die-hard fan sepak bola Indonesia menginginkan presiden mengambil sikap secepatnya. Kalau bisa sebelum menikahkan putra sulungnya, Gibran. Ya Pak, ya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar