Selasa, 21 April 2015

Apakah Penulis Kita Kalah Bermutu?

Apakah Penulis Kita Kalah Bermutu?

AS Laksana  ;  Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra
yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia
JAWA POS, 20 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BEBERAPA pembaca menanyakan perihal Shakespeare setelah tulisan saya yang terakhir menyebut-nyebut pujangga Inggris itu. Salah satu terasa seperti menggugat, perlukah kita mempelajari pujangga dari negara lain dan kenapa kita tidak mempelajari pujangga kita sendiri. ”Apakah Anda menganggap penulis asing jauh lebih baik dibandingkan penulis kita sendiri?” tanya dia.

Saya menjawab cukup panjang, tetapi intinya seperti ini. ”Ya, apa boleh buat. Tidak semua penulis asing lebih bagus. Tetapi, sejumlah nama besar yang kita kenal, baik para pemenang Nobel Sastra maupun nama-nama lain yang tidak memenangi Nobel Sastra, jelas lebih bagus ketimbang para penulis yang kita miliki.”

Membandingkan mutu karya para penulis tentu saja tidak sama dengan membandingkan kekuatan para petinju di ring adu jotos. Berbeda juga dengan membandingkan mana yang lebih enak, tempe atau hamburger. Ketika menyebut-nyebut Shakespeare dalam tulisan yang lalu, saya hanya ingin menyampaikan bahwa kita sesungguhnya belajar dari siapa saja, dari penulis mana saja, agar kita memiliki seluruh kecakapan yang kita perlukan untuk menyampaikan masalah-masalah kita sendiri.

Pujangga Inggris itu cakap dalam mengolah emosi-emosi manusia. Dia juga mampu mengangkat dialog antarmanusia ke level yang lebih tinggi, seperti pertemuan antar pemikiran, ketimbang obrolan pergunjingan sehari-hari. Dialog dalam karya sastra, Anda tahu, bukanlah tiruan belaka dari percakapan sehari-hari. Jika Anda menganggap dialog yang baik adalah yang seperti kenyataan, silakan Anda merekam obrolan sehari-hari tetangga Anda dan ubahlah rekaman itu dalam bentuk tertulis, apa adanya, dan Anda akan mendapati bentuk percakapan yang membosankan untuk dibaca.

Satu orang menganggap saya terlalu mengagungkan karya penulis asing dan memandang rendah karya penulis kita sendiri. Saya tidak ingin membantah hal itu. Bagi saya, karya sastra tidak mengenal batas-batas geografi. Sebagai pembaca, urusan saya adalah memilih buku-buku bacaan yang bagus. Saya akan lebih memilih buku karya penulis dari Somalia atau Timbuktu, misalnya, jika ia memang bagus dan ada terjemahannya dalam bahasa yang bisa saya cerna ketimbang membaca karya tetangga sendiri, anak bangsa dari Desa Tambaklorok, yang sama sekali tidak bagus.

Karena itu, saya akan sangat senang jika di toko-toko buku tersedia karya para penulis bagus, dari mana pun asalnya, dan dalam terjemahan yang baik mutunya. Buku-buku terjemahan yang baik mutunya akan membuat kita lebih mudah mengakses karya-karya dari mana saja. Sebab, Anda tahu, jauh lebih banyak di antara kita yang tidak bisa membaca buku-buku berbahasa asing. Mereka berhak juga mendapatkan bacaan-bacaan yang bagus agar tidak kalah terlalu jauh jika dibandingkan dengan orang-orang yang mampu membaca buku-buku berbahasa asing.

Namun, masih ada masalah lain seandainya buku-buku bagus itu ada di rak toko buku. Kebanyakan dari kita tidak suka membaca dan saya tidak yakin sistem pendidikan kita akan bisa mengajarkan kesastraan secara lebih baik. Sekolah kita bahkan gagal melahirkan siswa-siswa yang gemar membaca buku. Itu masalah serius pendidikan kita. Dengan sistem pendidikan yang tidak mampu melahirkan orang-orang yang gemar membaca, perkembangan ilmu pengetahuan akan tersendat-sendat. Bagaimanapun, para pemikir menyampaikan pengetahuan mereka melalui buku-buku yang mereka tulis dan kita menyerap pengetahuan dari mereka melalui tindakan membaca. Rata-rata dari kita tidak cakap dalam dua hal itu: menulis dan membaca.

Dalam sistem pendidikan yang mengajarkan kecakapan berbahasa secara bagus, para siswa mungkin sudah diperkenalkan dengan nama-nama besar sejak kanak-kanak. Karya-karya Shakespeare, Cervantes, dan berbagai karya klasik sudah diperkenalkan kepada siswa-siswa SD melalui saduran untuk pembaca pemula. Beberapa dari kita baru akan mengenal nama-nama itu bertahun-tahun nanti atas upaya sendiri karena merasa harus belajar dari berbagai sumber. Dan itu berarti kita sudah kalah start bertahun-tahun jika dibandingkan dengan mereka.

Bila dibandingkan dengan anak-anak di sana, kemampuan berbahasa kita lebih rendah dan itu tampaknya tidak dianggap sebagai hal yang merisaukan. Padahal, transfer pengetahuan akan berlangsung beres ketika orang memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Pemikiran disampaikan melalui bahasa dan sebaliknya, dengan kemampuan berbahasa yang baik, orang akan mampu mencerna pemikiran.

Secara tidak langsung, dengan mempertahankan sistem pendidikan yang seperti sekarang, sekolah kita hanya mampu melahirkan orang-orang yang senang menonton televisi, senang bergunjing, atau menyukai dunia yang ingar-bingar. Tetangga atau teman kita mengajak bergunjing, menyampaikan prasangkanya tentang orang lain dan kita sepakat dengan apa-apa yang dia katakan, serta kita mengisi pikiran dengan sosok orang yang kita benci menurut gambaran yang disampaikan oleh orang lain. Televisi menawarkan kepada kita acara-acara yang membuat kita terharu oleh hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan sehari-hari kita. Emosi kita diaduk-aduk oleh acara pemilihan idola cilik. Kita menghabiskan waktu di depan televisi untuk menyaksikan berita-berita kejahatan di sekitar kita. Ia memberi tahu kita satu hal: Dunia ini tidak aman.

Padahal, dunia ini baik-baik saja dan kehidupan berjalan baik-baik saja. Orang-orang jahat ada di setiap masa. Orang-orang baik juga ada di setiap masa. Yang Anda anggap sebagai kenyataan sesungguhnya adalah proyeksi dari pandangan dunia Anda. Jika Anda menganggap diri Anda adalah orang yang sial, begitulah Anda. Jika Anda menganggap diri Anda orang yang beruntung, begitu pulalah Anda. Itu yang disampaikan Emile Coue, pelopor teknik sugesti diri, yang menyampaikan kepada kita bahwa masalah terbesar kita adalah pemikiran kita tentang diri sendiri.

Kesukaan terhadap keriuhan, Anda tahu, lazim terjadi pada orang-orang yang tidak gemar membaca dan menulis. Membaca dan menulis adalah tindakan asketis yang memerlukan kesediaan orang untuk memasuki dunia yang hening dan sunyi serta menjauhi dunia yang riuh.

Kalau itu semua telanjur, dan memang susah sekali mendorong orang yang tidak suka membaca menjadi suka membaca –sebetulnya sangat susah mengubah kebiasaan, apa pun jenisnya–, yang masih bisa kita syukuri adalah kita memiliki pikiran. Salah satu topik yang saya sukai adalah keajaiban pikiran.

Di India, ada orang sakti yang tidak makan dan minum selama dua belas tahun. Dia makan dan minum hanya dengan bermeditasi, memfokuskan pikiran di bawah cahaya matahari pagi serta menjadikan sinar matahari yang diserap dari keningnya untuk memenuhi kebutuhan makan dan minumnya. Saya bayangkan jika ingin makan rendang, dia hanya perlu berjemur sebentar di bawah matahari. Demikian pula jika dia perlu makan lontong opor atau makan semur jengkol.

Dia bukan tukang sulap dan tidak mencari uang dengan atraksi-atraksi. Dia seorang pertapa, yang menjalani hidup dengan menenteramkan pikiran dan mencoba menjalani cara hidup yang muskil.

India adalah salah satu pusat keajaiban. Di Sungai Gangga, ada ritual yang melibatkan dua belas juta lelaki telanjang. Mereka melumuri sekujur tubuh, entah dengan serbuk kapur entah dengan tepung, dan menceburkan diri ke sungai. Orang-orang suci dari kalangan mereka memperagakan gerakan-gerakan ajaib. Salah satunya adalah membungkukkan badan, mengarahkan mulut ke telapak kaki, kemudian mengisap jempol kaki sendiri.

Itu hanya salah satu cara menghibur diri sendiri –melalui situs YouTube. Beruntung bahwa sekarang kita bisa mengembara ke mana saja dengan hanya duduk di depan komputer. Hiburan lain yang masih saya lakukan hingga sekarang adalah membaca cerita anak-anak. Saya masih senang membaca lagi Pippi si Kaus Kaki Panjang, misalnya, membaca karya H.C. Andersen, membaca dongeng-dongeng dari berbagai negara. Saya masih senang membaca dongeng-dongeng yang dikarang Enid Blyton, pengarang Lima Sekawan yang sangat populer ketika saya remaja. Lalu, saya tahu bahwa Toni Morrison, pemenang Nobel Sastra, rupanya juga menulis beberapa cerita anak-anak. Antonio Skarmeta, penulis bagus dari Cile, juga menulis cerita anak-anak.

Saya membayangkan betapa beruntung anak-anak di negara-negara lain yang perbukuannya maju serta tradisi membaca dan menulisnya jauh lebih baik daripada kita. Sejak kecil, mereka dikenalkan dengan nama-nama besar di dunia sastra. Jika dibandingkan dengan anak-anak di sana, kita sangat terlambat dalam mengenal sastra dan kita kalah dalam urusan membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar