Jumat, 24 April 2015

Bung Karno, KAA, dan Pariwisata

Bung Karno, KAA, dan Pariwisata

Sapta Nirwandar  ;   Praktisi dan Pemerhati Pariwisata
KORAN SINDO, 23 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Afrika dan Peringatan KAA 1955 diselenggarakan di Jakarta dan Bandung pada 19-24 April2015. KAA 2015 ini dihadiri 92 negara dan berbagai utusan perwakilan internasional dan ribuan wartawan dalam dan luar negeri.

KTT Asia-Afrika 1955 diprakarsai Indonesia yang dikomandoi oleh Presiden Soekarno dan dihadiri 29 negara tidak hanya menghasilkan asas yang sangat terkenal Dasasila Bandung, tetapi juga secara nyata KTT Asia-Afrika telah mendorong semangat dan keberhasilan negara Asia-Afrika lepas dari cengkeraman penjajahan.

Hasilnya lebih dari 70 negara menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat pasca-KAA 1955. Tidaklah berlebihan bila mengaitkan ini dengan petikan pidato Bung Karno yang sangat terkenal: ”Let a new Asia and New African Be Born”. Setelah 60 tahun KAA 1955 berlangsung, kini Asia-Afrika telah dihuni oleh lebih dari 120 negara, berpenduduk 5,5 miliar (75% dari penduduk dunia) dengan GDP lebih dari Rp27 triliun (66% GDP dunia).

Lalu isu apa yang masih relevan di bahas dalam KAA pada 2015 ini? Tentu sederetan agenda telah dipersiapkan, persoalan ekonomi tentu tetap menjadi isu hangat terutama persoalan kemiskinan, pendidikan, kesehatan masih yang dihadapi negara- negara Asia-Afrika. Permasalahan konflik dan radikalisme di negara Asia-Afrika yang mengganggu keamanan dan pembangunan.

Pariwisata ”Gaya Bung Karno”

Kita sudah sangat maklum bila agenda utama KAA 2015 berkisar topik hot seputar apa yang ditulis di atas. Apakah pariwisata juga menjadi agenda dalam pembahasan new KAA strategic partnership? Mestinya sektor ini masuk dalam pembahasan kerja sama ekonomi. Namun, secara nyata dalam perspektif pariwisata KAA 1955 maupun KAA 2015 adalah tergolong dalam kegiatan meeting, incentive, conference, and exhibition (MICE), yang sangat strategis bagi dunia pariwisata.

Biasanya peserta konferensi akan sekaligus berwisata, pendapatan dari MICE yang umumnya tiga kali lipat dibandingkan pendapatan dari wisman biasa (leisure). Kalau kita hitung secara kasar, peserta yang hadir di KAA 2015 ini akan diikuti 92 negara. Bila setiap negara hadir rata-rata 20 peserta ditambah dengan pengusaha yang direncanakan akan hadir dalam ”Asia Afrika Business Summit” dan para media yang meliput diperkirakan 1300 wartawan, diperkirakan peserta secara keseluruhan berjumlah lebih dari 4500 peserta.

Bisa kita perkirakan dan hitung berapa pendapatan yang bisa kita peroleh? Tentu ini bukan tujuan utama penyelenggaraan KAA, namun dampak ekonomi dari kegiatannya sangat nyata. Belum lagi ”news valued” nilai berita dari KAA untuk promosi Indonesia baik budaya maupun pariwisata dengan pemberitaannya. Dari sisi lain KAA telah menjadi ”branding” Indonesia.

”Countries and sectors within countries (like large companies), they can be branded”. (Paul K, Oxford,2011) Peranan Indonesia di KAA 1955 tidak saja penting peningkatan kesadaran bangsa Asia-Afrika untuk melawan kolonialisme, tetapi juga menjadikan Indonesia dikenal oleh bangsabangsa di dunia (brand image). Brand image itu sebuah reputasi.

Sejak sukses KAA 1955 Indonesia sudah mempunyai global brand yang positif, semestinya akan mempermudah untuk kerja sama (konektivitas) dari segi ekonomi, politik, dan pariwisata kita. Karena begitu dikenalnya Bung Karno, sering kita dengar hingga kini, Indonesia adalah Soekarno.

Untuk mengenang Bung Karno, negara-negara Afrika Utara seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair mengabadikan dengan memberi nama Jalan Asia-Afrika, Masjid Soekarno, dan bahkan kalau tidak salah di Aljazair Museum Nasionalnya memajang foto Bung Karno untuk mengenang jasanya di KAA 1955. Lebih dari itu, Bung Karno dalam upaya melakukan upaya-upaya diplomasi, setiap berkunjung di negara Asia-Afrika dan Eropa selalu memberikan suvenir sebagai tanda persahabatan.

Waktu Bung Karno berkunjung ke Mesir menghadiahkan bibit buah mangga yang hingga kini dikenal dengan Mangga Soekarno-Indonesia. Di Asia yang penulis ketahui Bung Karno pernah memberikan hadiah bunga anggrek kepada Presiden Kim Il-sung yang terpelihara hingga sekarang dan diberi nama Kimilsungia dan sangat terpopuler di Korea Utara.

Sekitar 1961, Bung Karno berkunjung ke Moscow, dalam masa kunjungannya itu Bung Karno meminta kepada Presiden Uni Soviet Kruschev untuk berziarah ke makam Imam Bukhari, ahli hadis yang sangat terkenal bagi umat muslim, di Samarkand. Pada waktu itu, kalau bukan Bung Karno, mustahil permintaan itu dapat dipenuhi.

Pemerintah Uni Soviet melarang segala bentuk kegiatan yang terkait dengan agama. Kini makam Imam Bukhari telah menjadi sebuah museum megah terkenal di Uzbekistan dan dikunjungi ratusan ribu peziarah. Tentu masih banyak lagi yang dilakukan Bung Karno dalam melakukan politik bebas aktif dan menjaga persahabatan di dunia. Dalam perspektif pariwisata tentulah Bung Karno telah mempromosikan Indonesia di mata dunia.

Prospek ke Depan

Dewasa ini negara-negara Afrika sudah lebih dari 100 negara, di antara negaranegara itu sudah banyak yang dikategorikan berpendapatan menengah (middle class income) seperti Afrika Selatan, Nigeria, Tunisia, dan Maroko sehingga mempunyai potensi untuk menggalang kerja sama dalam bidang ekonomi dan perdagangan.

Begitu juga secara politik dukungan negaranegara Afrika sangat penting dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia di dunia internasional. Indonesia sebagai negara pencetus KAA harus mengapitalisasi secara optimal baik kerja sama ekonomi maupun perdagangan dengan negara-negara Afrika.

Perdagangan Indonesia dengan negara-negara Afrika relatif masih kecil dibandingkan dengan RRC yang sudah sekitar USD200 miliar. Demikian juga di sektor pariwisata jumlah kunjungan dari masyarakat Afrika masih relatif kecil (kurang dari 100 ribu kunjungan), bahkan belum ada penerbangan yang langsung ke negara-negara Afrika dari Indonesia maupun dari negara Afrika ke Indonesia.

Karena itu, sudah saatnya dengan usia KAA yang ke 60 ini harus diperluas kerja sama di bidang politik, ekonomi, dan isu penting lain. Namun, aspek yang penting dan bisa menjadi strategic entry point adalah people to people contact melalui pengembangan kerja sama pariwisata. Bagaimana dengan Bandung?

Sudah selayaknya Bandung sebagai Capital City of KAA menjadi pusat perdagangan kebudayaan sejarah dan persahabatan negara-negara Asia- Afrika. Kita bisa membayangkan 10 tahun mendatang Bandung akan mempunyai integrated convention centre modern yang dapat menampung lebih dari 4000 orang peserta dengan berbagai aktivitas.

Didukung oleh sarana, prasarana jalan, hotel, restoran pusat informasi, dan yang sangat penting tentunya airport yang benar-benar bertaraf internasional sehingga dapat menampung pesawat berbadan lebar mendarat dan parkir di Bandung, penyelenggaraan KAA mendatang relatif mudah karena akan berpusat di Bandung sebagaimana awalnya dan Bandung akan menjadi brand -nya KAA.

Dengan demikian, aktivitas pariwisata khususnya MICE yang mempunyai dampak berganda dan tinggi akan semakin maju dan terus berkembang. Semoga. Dirgahayu KAA yang ke-60. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar