Kamis, 30 April 2015

Buruh dan Korporasi Global

Buruh dan Korporasi Global

Rekson Silaban  ;  Direktur Indonesia Labor Institute
KOMPAS, 30 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Memperingati Hari Buruh Dunia 1 Mei, wadah konfederasi serikat buruh dunia (ITUC) menyampaikan pesan end greedy corporate, mengakhiri keserakahan korporasi. Pesan ini dipilih sebagai respons ITUC atas memburuknya perilaku bisnis korporasi multinasional (KM) di seluruh dunia. Jajak pendapat yang disiarkan ITUC menghadirkan fakta tentang keserakahan KM yang hanya fokus pada profit, tanpa mengindahkan hak pekerja dan lingkungan. Saat ini 60 persen produk global diproduksi perusahaan rantai pemasok global KM. Mereka memilih menggunakan subkontraktor dengan pekerja kontrak untuk terus mereduksi biaya upah dan biaya produksi. Taktik ini dilakukan untuk meminimalkan berbagai hambatan hukum dengan mengalihkannya menjadi tanggung jawab perusahaan lain. Kekuatan KM terus membesar.

Dari hasil jajak pendapat itu juga ditemukan fakta tentang menurunnya kedaulatan negara akibat tekanan KM. Banyak pemerintah lebih mendengar lobi KM ketimbang partai politik atau suara rakyat. Fakta tentang terus membesarnya kekuatan finansial KM berbanding terbalik dengan situasi ketenagakerjaan dengan pertumbuhan eskalasi pekerja kontrak, tingginya penganggur kaum muda, dan meluasnya pekerja informal. Itulah bukti yang tidak bisa dibantah sistem ekonomi global saat ini berlangsung dengan tidak adil. Sudah saatnya itu harus diakhiri.

Kelemahan utama sistem ekonomi saat ini adalah terciptanya sistem persaingan yang membuat negara-negara saling berlomba mendapatkan investasi KM dengan menawarkan syarat minimal dan syarat kerja fleksibel. Akibatnya, abad ke-21 ini terancam berjalan dengan perlombaan ke arah dehumanisasi. Padahal, Deklarasi Philadelphia saat pendirian ILO pada 1919 secara tegas menyatakan bahwa buruh bukan barang komoditas. Buruh seharusnya subyek, bukan obyek, bisnis. Perdagangan buruh ke negara lain seharusnya dihentikan. Buruh bebas bekerja di luar negeri. Namun, biarlah karena keinginannya sendiri, bukan karena keterpaksaan akibat kemiskinan dan kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja.

Komitmen Presiden Joko Widodo menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) secara bertahap layak didukung. Menyambut 70 tahun usia kemerdekaan Indonesia bisa dijadikan momentum menjadikan Indonesia negeri yang lebih beradab. Sebab, apabila dilihat fakta, hanya negara-negara miskin yang mau memperdagangkan rakyatnya. Tiongkok dan India yang memiliki penduduk besar tidak memiliki program perdagangan migran ke luar negeri dan Indonesia bukanlah negara miskin. Rakyat Indonesia miskin karena pengelolaan yang buruk.

Komitmen Philadelphia di atas memudar sejalan dengan tingginya tensi kompetisi ekonomi dan tiadanya kerangka kerja ekonomi global mencegah kecenderungan negatif tersebut terus berlangsung. Bank Dunia sendiri ikut mendorong agar negara-negara terus memperbaiki regulasi pasar kerja dengan terus melakukan efisiensi biaya-biaya buruh. Ini akan membuat pemerintah terus mengadopsi sistem pengupahan biaya rendah karena dalam laporan tahunannya, yang dikenal dengan Doing Business Report, selalu disajikan peringkat negara dengan indikator kesulitan dan kemudahan berbisnis.

Indikator yang kontroversial

Dengan kata lain, pemerintah dibagi dalam dua kategori: berkebijaksanaan yang bersahabat dengan buruh versus berkebijaksanaan yang bersahabat dengan bisnis. Peringkat itulah yang selalu menjadi rujukan pebisnis di seluruh dunia apabila ingin memulai investasi di sebuah negara.

Indikator regulasi pasar kerja yang dibuat sebenarnya kontroversian karena membuat penilaian atas dasar kemudahan melakukan bisnis, termasuk kemudahan melakukan rekrutmen dan PHK. Semakin mudah biaya merekrut dan PHK, maka semakin baiklah peringkat negara tersebut. Itulah sebabnya Indonesia dikategorikan dalam peringkat proburuh karena dianggap banyak memberikan perlindungan hukum kepada buruh, khususnya besaran pesangon dan lamanya proses PHK. Padahal, analisis itu hanya didasarkan pada apa yang tertulis di undang-undang, bukan berdasarkan realitas. Sebab, dalam kenyataannya, buruh Indonesia sangat mudah di-PHK, bahkan dengan sewenang-menang, mayoritas tidak mendapat pesangon sesuai dengan UU. Namun, realitas ini tidak jadi bagian analisis laporan Bank Dunia.

Sementara itu, serikat buruh juga mengalami penurunan pengaruh karena berhadapan dengan berbagai kontradiksi eksternal di atas. Secara tradisional, lawan buruh adalah kapitalis serakah, tetapi saat ini wajah kapitalis berwujud dalam berbagai bentuk. Kadang-kadang dalam UU prokapitalis hasil pesanan mereka bersembunyi dalam kebijakan pemerintahan liberalis, berlindung pada partai politik, bersekongkol dengan perusahaan lokal, dan sebagainya sehingga serikat buruh tidak berhadapan dengan satu entitas, tetapi dengan lawan yang beragam, samar, dan target yang selalu bergerak (relokasi usaha, pengalihan kapital).

Peta pertarungan juga bergeser dari lokal ke global. Serikat buruh diharuskan melakukan kerja sama global untuk mengimbangi pengaruh KM. Beberapa inisiatif global sudah berjalan, seperti kesepakatan kerangka kerja internasional (IFA) antara serikat buruh internasional dan perusahaan KM; kesepakatan antara pembuat sepatu sport internasional dengan serikat buruh garmen dan tekstil; panduan berbisnis untuk KM yang disepakati di ILO; standar operasi bisnis IFC (anak perusahaan Bank Dunia) untuk lingkungan dan sosial.

Aksi internasional

Beberapa upaya internasional sudah dilakukan untuk mengontrol pengaruh KM, mulai dari yang bersifat kode etik sampai dengan yang bersifat mengikat. Namun, itu dirasakan belum mangkus karena mekanismenya yang rumit dan tidak pasti. Yang sudah lama ada adalah panduan operasi KM yang dibuat kelompok kerja sama negara-negara industri maju (OECD). Panduan ini memiliki mekanisme komplain ke negara asal KM, tetapi dengan syarat negara di mana KM beroperasi harus mendirikan wadah kontak nasional. Badan inilah yang bertugas mengajukan gugatan apabila ada KM yang merugikan hak buruh dan lingkungan.

Untuk bisa berjalan, badan ini harus didirikan pemerintah dengan melibatkan unsur tripartit. Untuk Indonesia, badan ini sangat perlu karena bisa dimanfaatkan untuk mengejar pengusaha asing yang banyak kabur meninggalkan kewajibannya. Kasus kaburnya pengusaha sudah banyak terjadi tanpa upaya internasional. Buruh biasanya mengadu ke Disnaker atau DPRD, tetapi tidak ada hasil. Kasus terbaru adalah kaburnya perusahaan T Yee Wo dari Batam pada Januari 2015 dengan meninggalkan utang kepada 308 buruh. Tahun lalu pengusaha PT Mutiara Mitra Busana Apparelindo di Jakarta Utara kabur meninggalkan 458 buruh. Padahal, perusahaan ini memproduksi merek pakaian dari KM terkenal (Tommy Hilfiger, S Oliver, Polo Ralph Lauren). Sejauh ini Indonesia belum melakukan tindakan apa pun terhadap pengusaha yang lari meninggalkan kewajibannya terhadap buruh. Padahal, dengan kerja sama internasional, pelaku pasti bisa digugat karena data tentang keberadaan mereka ada di pemerintah. Jika tindakan tidak dilakukan, modus operandi ini akan terus berlangsung.

Gagasan internasional besar yang saat ini sedang dirancang adalah panduan operasi KM yang dirurumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Guiding Principles on Business and Human Rights). Gagasan ini diperkenalkan pada 2011 oleh John Ruggie sebagai representasi khusus PBB untuk urusan bisnis dan hak asasi manusia. Tujuannya agar ada mekanisme hukum yang bersifat mengikat untuk mengadili KM yang melanggar hak asasi manusia. Gagasan itu awalnya dianggap kontroversial karena sudah pernah dicoba, tetapi tidak mendapat dukungan. Dalam mekanisme di WTO pernah dicoba mengaitkan antara perdagangan dan hak buruh, tetapi upaya ini gagal dengan alasan bahwa sudah ada badan ILO yang mengurusi soal ketenagakerjaan.

Kali ini gagasan dibawa ke badan PBB, proses akhirnya akan diputuskan pada Juni 2015. Yang cukup menarik, Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung adanya mekanisme ini. Tanggung jawab sosial perusahaan (TSP) yang selama ini dijadikan sebagai cara menunjukkan komitmen sosial perusahaan dinilai kurang berhasil mengingat motif TSP utamanya ditujukan untuk menaikkan citra positif korporasi ketimbang membantu kebutuhan rakyat.

Tanpa mengabaikan beberapa aksi TSP yang bermanfaat, alokasi dana TSP perusahaan umumnya selalu ditujukan untuk memperkuat posisi perusahaan, bukan untuk memperkuat masyarakat. Apalagi, kegiatan TSP hanya bersifat sukarela, tidak bisa diharapkan untuk bertanggung jawab dalam kerangka: perlindungan, penghormatan, pemulihan, seperti gagasan yang dimajukan John Ruggie. Apabila mekanisme ini diterima, akan diperoleh beberapa manfaat: perusahaan akan menjadi hati-hati menjaga perilaku berbisnis, menurunkan konflik sosial dan konflik dengan buruh, mencegah eksploitasi lingkungan, serta berkontribusi mendorong pembangunan yang berkelanjutan.

Komitmen politik Presiden Jokowi menciptakan bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian harus diterjemahkan dalam aksi nyata dalam berbagai bidang. Dalam bidang ketenagakerjaan, misalnya, menjadikan Indonesia sebagai negara yang dihormati, bukan surga buat pelaku bisnis serakah. Seperti pendirian Brasil di bawah Presiden Lula, "Jangan kita akhiri abad ini seperti cara kita melakoni abad ke-20 dengan mengeksploitasi negara lain."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar