Rabu, 29 April 2015

(Krisis) Negarawan dan (Film) Guru Bangsa

(Krisis) Negarawan dan (Film) Guru Bangsa

Muhammad Rifai Darus  ;  Ketua Umum DPP KNPI 2015-2018
KORAN SINDO, 28 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Satu dekade lebih pertumbuhan politisi di Indonesia semakin pesat. Liberalisasi politik membuka peluang bagi siapa pun menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Sejalan dengan itu agak sulit ditemui sosok negarawan yang mampu melampaui kepentingan politik pribadinya. Di tengah kegaduhan politik, kehadiran film Guru Bangsa serasa menguatkan rindu hadirnya negarawan. Ketua Tim 9—tim bentukan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk memberi rekomendasi terkait konflik KPK-Polri–– Buya Syafii Maarif sempat mengatakan, ”Kita ini ‘booming politisi’ , tapi negarawan sedikit.

Mosok KPK dan polisi tarung jadi pertunjukkan orang pinggiran, saling membumihanguskan yang terjadi. Keadaan ini melelahkan.” Buya berharap Jokowi dapat menjadi seorang negarawan dalam memutuskan sengkarut hukum yang mendera petinggi KPK-Polri.

Dari beragam literatur, istilah negarawan umumnya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang atas dedikasi, pengorbanan, pikiran, dan tenaganya berdampak positif terhadap keberlangsungan negara dan atau dunia, kemakmuran, serta perdamaian.

Tak peduli karya, kerja, dan jasanya dikenang, dicatat dalam sejarah. Misi dan kerja seorang negarawan menembus risiko politik-keamanan pribadi untuk menjaga (memperjuangkan) kesinambungan, keberimbangan, keberagaman dalam spektrum kedaulatan, kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan bersama.

Kualifikasinya berjalan jauh meninggalkan deskripsi kepemimpinan, sedangkan visinya seperti berlari melintasi generasi yang tumbuh bersamanya. Kekhasan seorang negarawan memiliki kerelaan melepas berbagai atribut politik, sosial, budaya, dan mampu menempatkan tujuan (substansial) perjuangan sekaligus konstruksi yang fundamental.

Negarawan memang tidak muncul dadakan melalui proses yang instan. Ia ditempa dengan beragam corak persoalan hingga membentuk moral, watak, perilaku, serta kesadaran mengambil tindakan dari serangkaian permenungan tentang apa, mengapa, dan siapa yang harus diperjuangkan.

Erosi Kepemimpinan Politik

Partai dan elite politik merupakan penerima berkah reformasi sekaligus pangkal masalah yang membuat publik antipati. Kegagalan partai politik menghadirkan perubahan di tengah ekspektasi publik begitu besar tidak hanya memantik apatisme, lebih jauh lagi sinisme politik (Diamond & Gunther, 2000).

Pasca-Pilpres 2014, fragmentasi kepentingan politik terbelah menjadi dua kutub yaitu Koalisi Merah Putih (KMP yang meneguhkan diri sebagai oposan atau mitra kritis pemerintah dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sayangnya, dua kubu juga terbelit prahara internal yang berdampak pada soliditas koalisi, kinerja parlemen dus akselerasi kebijakan duet Jokowi-Jusuf Kalla.

 Semisal, konflik dualisme kepemimpinan di internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar. Sementara kubu KIH belum menemukan format ideal guna merealisasikan visi-misi program pembangunan duet Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Sekadar catatan, visi Jokowi-JK pada Pilpres 2014 adalah ”Mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong” (KPU, 2014).

Walau paparannya dinilai agak lengkap, bangunan koalisi partai pendukung Jokowi- JK sepertinya belum berjalan seirama menerjemahkan visi besar tersebut. Dari berbagai keputusan/kebijakan yang diproduksi kabinet kerja tidak hampa dari protes sosial. Celakanya, polarisasi dua kutub ini sepi dari visi kebangsaan, kenegaraan, dan kerakyatan.

Nuansa kepentingan segelintir elite dan partai lebih dominan mengisi ruang publik. Konflik politik-hukum pimpinan Polri dan KPK, penguasaan paksa ruang Fraksi Golkar DPR RI oleh kubu Golkar Agung Laksono adalah contoh kasus yang berdampak pada turbulensi politik dengan turunan persoalan begitu kompleks.

Publik berharap, baik KIH maupun KMP menjadi medan pertempuran gagasan, ruang mengartikulasikan mandat rakyat, sekaligus media menyiapkan regenerasi kepemimpinan politik yang punya nalar negarawan. Tidak sekadar kumpulan politisi yang bisa bersatu atau dipisahkan oleh dan hanya untuk kepentingan pragmatis.

(Film) Guru Bangsa

Di tengah kejenuhan publik mengamati panggung politik, kehadiran film berjudul Guru Bangsa seperti oase di tengah gurun. Film dengan genre historical-biopic itu menempatkan Raden Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto sebagai sentrum dan seorang bangsawan yang rela mengubur status sosial untuk merasakan dan memperjuangkan derita kaum jelata dari perbudakan kolonial.

Sineas-budayawan Garin Nugroho berhasil menarik perhatian publik kala musim dahaga sosok negarawan nyaris punah dari perbincangan. Feodalisme dan kolonialisme jadi latar apik yang disuguhkan Garin dalam film tersebut. Bila ingin merasakan faedah seorang priyayi, Tjokroaminoto akan mengikuti rekam ayahnya, RM Tjokro Amiseno, sebagai Wedana Kleco dan kakeknya, RM Adipati Tjokronegoro, yang pernah menjabat bupati Ponorogo.

Kesadaran kelas Tjokroaminoto tumbuh bersamaan dengan masa transisi kebijakan Hindia Belanda dari tanam paksa ke politik etis pada abad 18-19. Kelas menengah berikut priyayi dan warga jelata begitu senjang dan timpang. Sisi lain, koalisi Hindia Belanda dan sebagian kaum priyayi justru menguatkan praktik hegemoni. Keresahan batin berkecamuk dalam diri Tjokro saat hadir di berbagai ruang kehidupan rakyat kecil.

Sekitar 1907, Tjokro memutuskan ”hijrah”dan keluar dari zona nyaman menjadi pegawai administratif Bumiputera di Ngawi. Bersama istrinya, Suharsikin, Tjokro pergi ke Surabaya dan membangun indekosdi Jalan Peneleh Gang 7 No 29-31 yang kelak menjadi pondok gagasan sejumlah tokoh bangsa sekaligus embrio pergerakan nasional.

Di tempat itulah, Soekarno, Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka, Musso, hingga Kartosoewirjo acap berdiskusi dengan Tjokro perihal masa depan Indonesia dan model perjuangan merebut kedaulatan. Walau berbeda pandangan di antara putra didik indekosnya itu, Tjokro menekankan perjuangan daulat politik, berdikari di kebudayaan, kesetaraan akses pendidikan maupun ekonomi ditempuh dengan cara yang humanis.

Ikhtiar politik Tjokro membuahkan hasil ketika bergabung dengan Sarikat Dagang Islam (SDI) atas undangan pendirinya, H Samanhudi, sebelum akhirnya menjadi Sarikat Islam (SI). Awalnya, perjuangan SDI terkonsentrasi di sektor perniagaan. Tjokro mengubah orientasi SDI sekaligus memperluas resonansi organisasi.

Profesor John Ingleson mencatat, eksistensi SI diakui sebagai organisasi politik modern satu-satunya pada masa itu (Abdul Azis, 1985). Lebih jauh dari sekadar penambahan jumlah anggota, SI pada masa Tjokro dianggap sebagai kanal yang mampu mengobarkan semangat antipenindasan.

Pada 1920 Tjokro dijebloskan ke penjara selama tujuh bulan dengan tudingan menyiapkan pemberontakan. Lepas dari jeruji besi, Tjokro menolak tawaran (kooperatif) Hindia Belanda di kursi Volksraad (Dewan Rakyat). Sikap tegas seorang Guru Bangsa menolak imingiming penguasa sepertinya masih sukar ditemui saat ini.

Kualifikasi Tjokro melampaui tulisan maupun orasi politiknya yang mewakili perasaan, pikiran, dan kehendak rakyat. Retoriknya sejalan dengan pengorbanan, sikap, perilaku, dantindakannya.

Mari belajar bersama menggali helai sejarah agar teladan Tjokro dan tokoh pendiri bangsa tetap selaras dengan tujuan asali kemerdekaan yang telah disarikan melalui Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar