Kamis, 30 April 2015

Parpol Bersengketa dan Kepesertaan di Pilkada

Parpol Bersengketa dan Kepesertaan di Pilkada

Toto Sugiarto  ;  Ketua Departemen Riset dan Konsulting PARA Syndicate
KOMPAS, 30 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam rangkaian pembahasan Peraturan Komisi Pemilihan Umum terkait pemilihan serentak gubernur, bupati, dan wali kota, Komisi II DPR, 24 April 2015, membuat sejumlah rekomendasi. Salah satu di antaranya, jika dituruti, akan membuat KPU dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah melenceng dari rel yang semestinya.

Salah satu rekomendasi yang dapat menjadi pemicu masalah tersebut menyebutkan bahwa jika belum ada putusan hukum tetap, putusan terakhir pengadilan sebelum masa pendaftaran calon menjadi pedoman KPU dalam menentukan siapa yang berhak mengusung calon.

Bias kepentingan KMP

Terkait rekomendasi tersebut, setiap kubu di partai politik yang sedang bersengketa, yaitu Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memiliki penyikapan yang berbeda. Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie setuju terhadap rekomendasi ini: bahwa KPU harus berpegang pada putusan hukum tetap, dan jika belum ada putusan hukum tetap, berpegang pada putusan terakhir. Sementara Partai Golkar kubu Agung Laksono berpandangan bahwa surat keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) sebagai alat legalitas ada di kubu mereka.

Di PPP, kubu Djan Faridz memiliki sikap bahwa rekomendasi DPR merupakan jalan tengah terbaik, yaitu putusan dengan kekuatan hukum tetap atau putusan terakhir. Sementara PPP kubu Romahurmuziy bersikap bahwa KPU seharusnya hanya berpegang kepada putusan hukum tetap.

Rekomendasi DPR tersebut penuh aroma perseteruan politik sempit. Isi rekomendasi terlihat menguntungkan salah satu kelompok, yakni Koalisi Merah Putih (KMP). DPR terlihat tidak mengedepankan kepentingan republik.

Dugaan kepentingan KMP ini terlihat dari selarasnya rekomendasi yang dihasilkan dengan dukungan "kubu KMP" di Partai Golkar dan PPP, yaitu kepengurusan Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie dan PPP kubu Djan Faridz. Keduanya mendukung penuh rekomendasi DPR. Kedua kubu ini pun mayoritas di parlemen dibanding seterunya.

Dengan kata lain, rekomendasi DPR agar KPU mengikuti putusan terakhir jika sampai tahap pendaftaran calon belum ada putusan hukum tetap, tampak bias kepentingan kubu KMP. Hal ini tak mengherankan karena kekuatan dominan di DPR adalah pendukung KMP, baik dilihat dari sisi fraksi Partai Golkar dan PPP ataupun dari sisi komposisi keseluruhan anggota DPR.

Mesti mampu bersikap

Sebagai institusi penyelenggara pemilu yang mandiri, KPU hendaknya mampu mengambil sikap sendiri. KPU juga tidak perlu menjadi mediator konflik. Dalam kondisi yang terjepit dua kepentingan politik yang berlawanan, penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), jangan terbawa irama pertikaian. Penyelenggara pemilihan harus memiliki "orkestra" sendiri.

Jika mengikuti rekomendasi yang membahayakan di atas, yaitu apabila belum ada putusan hukum tetap KPU berpegang pada putusan hukum terakhir, selain akan melanggar undang-undang juga bisa menjadi masalah di kemudian hari. Jika putusan yang berkekuatan hukum tetap nantinya berbeda daripada putusan terakhir sekarang ini, maka akan menjadi sengketa dengan lokus kesalahan ada di KPU.

Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan ini KPU harus mengedepankan upaya menjunjung supremasi hukum. Karena itu, KPU-yang akan memutuskan paling lambat 30 April 2015 ini-sebaiknya berpegang pada UU dan menjalankan perintah UU yang ada. Jika pengesahan Menkumham sedang dalam proses hukum, hendaknya KPU berpegang kepada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan kepengurusan parpol tersebut telah disahkan Menkumham. Dengan demikian, selain tidak melanggar hukum, KPU juga tidak akan terseret ke dalam konflik internal parpol.

Idealnya, pengadilan mempercepat proses hukum untuk menyelesaikan sengketa kepengurusan ganda Partai Golkar dan PPP tersebut. Dengan demikian, pada tahap pencalonan sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Kemungkinan ideal lain, partai bersengketa menyelesaikan sengketa di internalnya masing-masing.

Masalahnya, tidak ada jaminan bahwa permasalahan ini bisa selesai sebelum tahap pendaftaran calon. Jika sampai masa pendaftaran calon belum ada putusan hukum tetap atau belum ada penyelesaian lain, sebaiknya parpol bersengketa tidak diikutsertakan dalam pilkada pada Desember 2015.

Lentera penerang jalan

Sikap rigid KPU seperti ini diperlukan agar penyelenggara tidak terjebak ke dalam konflik politik dan penyelenggaraan pilkada pada kondisi derail, tergelincir keluar dari rel. Sementara bagi calon yang sedianya akan menggunakan parpol yang tidak bisa ikut dalam pilkada, masih terbuka kesempatan melalui jalur perseorangan.

Bagaimana dengan sikap Bawaslu? Badan ini seolah tidak terkait langsung dengan permasalahan PKPU, tetapi hendaknya Bawaslu tidak hanya diam dalam persoalan ini. Jika terjadi sengketa di kemudian hari akibat KPU salah mengambil sikap, Bawaslu juga yang akan sibuk.

Dengan demikian, sebagai bagian dari penyelenggara pemilu yang memiliki otoritas penyelesai sengketa pemilu, Bawaslu memiliki kepentingan langsung. Karena itu, Bawaslu harus mengingatkan KPU untuk memutuskan jalan terbaik, yaitu jalan yang tidak berpotensi memunculkan masalah dan tidak membuat pilkada tergelincir dalam kondisi keluar dari relnya.

Di tengah kondisi ketegangan politik yang diwarnai partai bersengketa, KPU dan Bawaslu perlu teguh pada kemandiriannya. Kedua penyelenggara pemilu ini harus mampu menjadi lentera penerang jalan agar proses politik republik tidak tergelincir dari rel yang semestinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar