Kamis, 30 April 2015

Prostitusi Online dan Upaya Penanganannya

Prostitusi Online dan Upaya Penanganannya

Bagong Suyanto  ;  Dosen FISIP Unair, pada 2013–2014 melakukan penelitian dari Dikti tentang pengangguran terdidik di Jawa Timur
JAWA POS, 29 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di tengah upaya berbagai daerah untuk menutup lokalisasi dan memberantas prostitusi, belakangan ini justru terungkap makin maraknya praktik prostitusi terselubung yang makin canggih. Meski praktik prostitusi di lokalisasi telah berkurang drastis, di masyarakat justru muncul prostitusi dalam berbagai bentuk, termasuk prostitusi online yang melibatkan perempuan di bawah umur, model, dan bahkan artis (Jawa Pos, 28 April 2015).

Berbeda dengan prostitusi di lokalisasi yang secara terang-terangan menawarkan jasa layanan seksual, setelah penutupan lokalisasi, praktik prostitusi umumnya dilakukan secara terselubung. Perempuan dan anak perempuan ditawarkan melalui media sosial dalam kelompok yang relatif tertutup. Perkembangan teknologi informasi yang makin canggih, bagi para germo dan mucikari, justru menjadi ladang baru untuk menjajakan para pekerja seksual secara lebih eksklusif.

Pelacuran secara umum merupakan praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur utama dalam praktik pelacuran, menurut Truong (1992), adalah: pembayaran, promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional.

Secara sederhana, prostitusi adalah perilaku atau tindakan yang mengaitkan kegiatan seksual dengan uang. Prostitusi merupakan pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan, banyak menyerap tenaga kerja, melibatkan perempuan, dan berbayaran tinggi.

Bahkan, di kalangan perempuan pekerja seks komersial (PSK) di jalanan sekali pun, bayaran mereka relatif lebih tinggi daripada pekerjaan lain yang berkeahlian di wilayah yang sama. Para perempuan yang bekerja di bisnis prostitusi online biasanya memperoleh penghasilan yang jauh lebih tinggi.

Di kalangan pelaku di industri seks komersial, memang banyak jalan yang bisa dipilih untuk tetap mengembangkan bisnis yang secara ekonomi sangat menguntungkan tersebut. Noeleen Heyzer (1986) membedakan, setidaknya ada tiga macam tipe pelacur menurut hubungannya dengan pengelola bisnis pelacuran. Pertama, pelacur yang bekerja sendiri tanpa calo atau majikan. Mereka sering beroperasi di pinggir jalan atau masuk satu bar ke bar yang lain.

Kedua, pelacur yang memiliki calo atau beberapa calo yang saling terkait secara hierarkis. Biasanya, si pelacur hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan kliennya. Ketiga, pelacur yang berada di bawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan. Contohnya, panti pijat, lokalisasi, dan hotel-hotel. Pelacur yang bekerja di bawah koordinasi mafia atau sindikat tersebut biasanya akan selalu bisa menemukan celah di tengah kekakuan hukum untuk tetap melangsungkan bisnis mereka. Terlebih, tampaknya, germo memiliki kemampuan untuk memanfaatkan teknologi informasi dan relasi yang sudah terpintal lama.

Perempuan yang terlibat dalam prostitusi bisa dalam bentuk pelacur jalanan, pelacur di rumah bordil, bar atau klub malam, atau gadis panggilan. Pelacur yang termasuk kelas tinggi memiliki penampilan yang lebih baik, lebih muda, dan lebih sehat menghasilkan tarif yang lebih tinggi pada setiap pelanggannya. Perempuan yang terjerumus dalam bisnis prostitusi umumnya terjebak antara perbudakan ekonomi dan emosi serta bekerja di bawah kondisi yang sama dengan seorang budak. Tetapi, karena keuntungan dan penghasilan yang ditawarkan bisnis seksual itu sangat menguntungkan, bisa dipahami jika praktik pelacuran seolah tidak pernah bisa diberantas hingga tuntas.

Pelacur biasanya bisa memperoleh penghasilan tertinggi ketika mereka masih muda dan sedang populer. Seorang perempuan muda yang menjadi primadona biasanya menjadi anak kesayangan mucikari karena mampu menarik pelanggan yang lebih banyak. Menurut studi Buruh Internasional sebagaimana dikutip Lena Edlund dan Evelyn Korn (2002), di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand, perempuan yang bekerja di sektor prostitusi diperkirakan 0,25–1,5 persen dari keseluruhan populasi perempuan di berbagai negara tersebut dan menyumbang 2–14 persen dari pendapatan negara atau gross domestic product.

Dalam hasil studi, Lena Edlund dan Evelyn Korn (2002) mengidentifikasi beberapa faktor yang memengaruhi keterlibatan perempuan dalam sektor prostitusi. Pertama, jumlah perempuan dan rasio perempuan dibandingkan laki-laki. Dengan makin banyaknya jumlah laki-laki daripada perempuan, makin besar peluang pelacur perempuan untuk memperoleh penghasilan yang tinggi.

Kedua, kemiskinan. Dalam struktur pasar kerja di mana hanya sedikit peluang bagi perempuan untuk bisa memperoleh pekerjaan yang layak, hal itu akan menjadi alasan penting kenapa perempuan terpaksa memilih bekerja di sektor prostitusi. Ketiga, reputasi dan stigma yang mesti ditanggung perempuan yang bekerja sebagai pelacur. Berbeda dengan istri yang disimpan dan diperlakukan dengan sopan, pelacur memiliki nilai lebih karena bersedia menawarkan jasa layanan seksual yang beraneka-ragam gaya –yang mungkin memalukan bagi perempuan yang berstatus istri.

Keempat, adanya paksaan yang membuat perempuan masuk ke dalam bisnis prostitusi. Ada ikatan utang kepada mucikari atau calo atau faktor yang membuat perempuan terpaksa terlibat dan bertahan bekerja sebagai pelacur hingga utang mereka lunas. Kelima, perceraian dan kehilangan keperawanan, meski tidak selalu terjadi, sering menjadi faktor yang mendorong perempuan masuk ke dalam bisnis prostitusi.

Dari hasil kajian penulis (2012), perempuan dan anak-anak perempuan yang masuk dalam bisnis industri seksual komersial biasanya dipaksa oleh gabungan berbagai faktor dan kondisi lingkungan: tekanan kemiskinan, kekecewaan karena love affair yang gagal, kurangnya kesempatan kerja di pasar kerja, bias nilai patriarki, tawaran gaya hidup hedonistis, dan kondisi psikologis yang rentan terhadap penipuan, pemaksaan, serta tekanan-tekanan sosial lainnya.

Itu berarti menangani persoalan pelacuran semata dari pendekatan hukum atau pendekatan moral niscaya sama sekali tidak akan pernah memadai. Munculnya fenomena prostitusi online bukan sekadar imbas penutupan lokalisasi dan bukan sekadar mengejar penghasilan yang lebih besar. Lebih dari itu, masalah tersebut adalah fenomena sosial yang berkaitan dengan persoalan ekonomi-politik, kultural, gaya hidup, dan sebagainya. Ibarat mengurai benang ruwet, dalam upaya penanganan praktik pelacuran, banyak tali-temali persoalan yang mesti diurai satu per satu secara sabar dan empatif.

Sepanjang upaya penanganan pelacuran belum ditempatkan dalam konteks pemberdayaan dan perlindungan kaum perempuan dari pengaruh ideologi patriarki dan tekanan struktural kemiskinan, sepanjang itu pula praktik pelacuran akan tetap muncul dalam berbagai bentuk, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar