Selasa, 21 April 2015

Relevansi Konferensi Asia Afrika

Relevansi Konferensi Asia Afrika

Makmur Keliat  ;  Pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional,
FISIP, Universitas Indonesia
KOMPAS, 20 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mengapa merayakan Konferensi Asia Afrika? Apakah signifikansi  KAA enam dasawarsa lalu itu terhadap kerja sama antarnegara berkembang yang dikenal dengan istilah Kerja Sama Selatan-Selatan?

Tantangan-tantangan apakah yang dihadapi untuk meningkatkan KSS itu? Bagaimana mengatasinya?

Identitas diplomasi Indonesia

Tentu saja terdapat sejumlah alasan untuk menyatakan mengapa KAA selalu penting  dan relevan. Bagi Indonesia, misalnya, KAA adalah bagian dari identitas diplomasi dan politik luar negerinya. Mustahil untuk membayangkan adanya keberanian dari arsitek utama diplomasi Indonesia untuk mengingkari identitas yang telah diletakkan pada awalnya oleh Soekarno itu.

Diselenggarakan sekitar satu dasawarsa setelah Indonesia merdeka, KAA akan selalu melekat sebagai bagian dari untaian narasi politik luar negeri Indonesia sepanjang negeri ini hadir sebagai entitas negara-bangsa. Terlebih lagi Dasasila Bandung yang dihasilkan dari KAA 1955 memuat sejumlah prinsip normatif yang hingga kini masih tetap mengemuka di  tataran internasional.

Sebagai contoh, jauh sebelum isu HAM muncul pada era gelombang demokrasi politik 1990-an, penghormatan terhadap hak-hak fundamental manusia ternyata telah tercantum sebagai prinsip pertama dalam Dasasila Bandung tersebut.

Gaung dari sejumlah prinsip lainnya dari Dasasila itu  juga hingga kini tetap terasa,  seperti  penghormatan terhadap piagam PBB, keutuhan wilayah, kesetaraan ras dan bangsa,  penghindaran penggunaan kekuatan bersenjata dalam penyelesaian sengketa, prinsip tidak ikut campur tangan dalam masalah dalam negeri, dan pemajuan kerja sama  internasional.

Atas dasar sejumlah prinsip normatif ini pula, KAA telah memberikan inspirasi politik yang sangat kuat  untuk mendorong pembentukan berbagai kerja sama lainnya di antara negara berkembang, seperti  Gerakan Non-Blok awal 1960-an, forum K-77, dan juga KSS yang muncul pada 1980-an.

Dengan perspektif normatif dan historis seperti ini, penguatan KSS sebagai tema peringatan KAA kali ini adalah sesuatu yang dapat dipahami. Tema ini setidaknya menyampaikan dua pesan penting berikut. Pesan pertama, KSS adalah ekspresi simbolik bahwa dekolonisasi legal-formal melalui pernyataan kemerdekaan tidaklah cukup. Fakta menunjukkan, dekolonisasi puluhan tahun lalu tidak serta- merta mengakhiri kemiskinan dan ketimpangan.

Bagian terbesar dari penduduk dunia yang hidup dengan pendapatan/ pengeluaran di bawah 1 dollar AS per hari sesungguhnya tetap berada di negara berkembang.  Ditinjau dari perspektif ini, KSS adalah bagian dari jalan panjang yang harus ditempuh negara berkembang untuk mewujudkan dekolonisasi legal-formal menjadi dekoloniasi de facto itu. Intinya "Selatan" harus bekerja sama dan saling membantu untuk mewujudkannya.

Dalam memberikan program bantuan,  KSS memiliki dua karakter yang sangat khas.  Bantuan itu pertama-tama tidak digerakkan oleh pasokan (supply driven) seperti umumnya terjadi dalam pola tradisional negara maju ke negara berkembang, tetapi berdasarkan kebutuhan dari negara penerima dan karena itu dapat disesuaikan menurut kondisi negara penerima. Ini berarti pemetik manfaat terbesar haruslah negara penerima bantuan.

Dalam pola tradisional sebaliknya yang terjadi. Bagian terbesar dari bantuan itu mengalir kembali ke donor melalui mekanisme bantuan yang mengikat (tied aid).

Karakter kedua adalah semangat untuk memolakan kerja sama bantuan  dalam posisi sederajat (equal footing). Ini berarti pemberi bantuan sekali waktu dapat menjadi penerima bantuan. Hal ini dimungkinkan karena basis kerja sama didasarkan pada pemikiran bahwa tiap negara berkembang memiliki "keunggulan" dalam bidang-bidang tertentu ketika menangani masalah-masalah pembangunan.

Pesan kedua, gagasan peningkatan KSS menyimbolkan adanya keyakinan tentang terjadinya pergeseran peta geopolitik dan geo-ekonomi dunia. Bipolar telah berakhir. Dunia kini tengah bergerak ke multipolar. Karena itu potensi sumber pendanaan untuk KSS tidak hanya tersedia di negara maju. Tiongkok, misalnya, telah muncul sebagai kekuatan baru (the rising power) bersama dengan negara berkembang lainnya.

Patut dicatat bahwa menurut laporan PBB, setengah dari produk domestik bruto (PDB) dunia pada 2012 dihasilkan oleh negara berkembang. Porsi ini diperkirakan akan meningkat hingga sekitar 60 persen pada akhir dasawarsa ini. Disebutkan pula bahwa nilai total KSS pada 2011 mencapai kisaran angka antara 16,1 miliar dollar AS dan 19 miliar dollar AS. Aliran penanaman modal langsung (PMA) atau foreign direct investment (FDI) ke negara berkembang pada 2013 diperkirakan mencapai angka sekitar 42 persen dari keseluruhan total FDI dunia.

Keyakinan terhadap adanya pergeseran peta geo-ekonomi dan geopolitik  ini pula yang telah mendorong beberapa negara maju, Jepang misalnya, untuk ikut terlibat aktif dalam pemberian bantuan untuk meningkatkan KSS. Melalui mekanisme triangular relationship, kini dimungkinkan bagi negara maju untuk ikut berpartisipasi dalam program bantuan KSS dengan syarat pelibatannya dilakukan melalui negara berkembang.

Pengalaman yang sama, needs driven, dan dapat disesuaikan menurut kebutuhan  telah pula memunculkan dukungan komunitas internasional yang cukup luas terhadap program bantuan melalui KSS. Patut dicatat, telah terdapat desakan melalui mekanisme Majelis Umum PBB untuk mencantumkan KSS sebagai bagian integral dari agenda pembangunan setelah 2015.

Sejumlah tantangan

 Di luar dua pesan penting ini, KSS juga dihadapkan pada sejumlah tantangan.  Pada tataran internasional dan regional, tantangan utamanya terkait dengan tidak terdapatnya organisasi tunggal yang secara spesifik dibentuk khusus untuk menangani KSS. Di tingkat internasional organisasi PBB, misalnya, kita hanya menemukannya sebagai bagian dari unit kecil di UNDP yang dikenal dengan nama UNOSSC.

Di tingkat regional, perhatian organisasi regional terhadap KSS juga sangat minimal karena fokusnya adalah pada gagasan perdagangan bebas dan bukan pada pemberian bantuan.

Tidak adanya organisasi spesifik untuk penguatan KSS ini, pada gilirannya telah menciptakan kesukaran untuk mendapatkan data deskriptif yang baik  tentang potensi keunggulan negara-negara berkembang ketika menangani masalah-masalah pembangunan. Kesukaran lainnya adalah tidak terdapatnya agenda dan komitmen yang kuat untuk memobilisasi sumber- sumber pendanaan.

Walau  tampak semakin penting, KSS hingga kini tidak memiliki patokan seberapa besar sebenarnya target nilai pemberian bantuan yang mau dicapai. Sebagai bahan perbandingan, barangkali menarik untuk mencermati agenda bantuan pembangunan resmi (ODA) negara maju ke negara berkembang.

Walau tidak terealisasi sepenuhnya, Komisi Pearson pada awal 1960-an, misalnya, telah merekomendasikan  target 0,7  PDB dari setiap negara maju perlu dialokasikan sebagai bagian dari bantuan pembangunan resmi. Komitmen seperti ini, sejauh yang diketahui, belum pernah muncul sebagai agenda resmi untuk memperkuat KSS.          

Tantangan lainnya berada pada tingkat nasional. Tidak semua negara berkembang memiliki lembaga khusus yang menangani KSS. Dalam kasus Indonesia, misalnya, tanggung jawab untuk KSS setidaknya berada di bawah tiga instansi, yaitu Kementerian Luar Negeri, Sekretariat Negara, dan Bappenas. Pola  tanggung jawab yang tersebar dengan otoritas majemuk seperti ini tentu saja menciptakan beberapa kesulitan.

Kesulitan pertama,  mengidentifikasikan data dan informasi tentang seberapa banyak sebenarnya program KSS yang telah dilakukan oleh Indonesia, baik dari segi program maupun jumlahnya. Kesulitan kedua, model koordinasi yang dilakukan akan menciptakan kesulitan yang lebih besar untuk melakukan evaluasi terhadap hasil (outcome) dari program bantuan yang diberikan melalui KSS itu.

Atas dasar pertimbangan ini, barangkali gagasan tentang one single gate policy untuk semua program KSS ini perlu untuk segera diwujudkan di Indonesia. Intinya adalah keseriusan untuk memajukan KSS haruslah diiringi dengan keseriusan untuk penataan kelembagaan  baik pada tataran nasional, regional, dan internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar