Selasa, 28 April 2015

Vale

Vale

AS Laksana  ;   Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra
yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia
JAWA POS, 27 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETIAP juara, dalam bidang apa pun, adalah orang-orang yang menyumbangkan kebajikan kepada kita. Mereka membuat kehidupan ini lebih menyenangkan untuk dijalani. Saya mengagumi para maestro karena mereka memberi kegembiraan --juga menginspirasi. Dan salah satu pemberi kegembiraan itu adalah Vale.

Seperti banyak penggemar balapan MotoGP lainnya di muka bumi, saya mengagumi Valentino Rossi. Jika Anda penggemar balapan motor tersebut, Anda akan menyaksikan bahwa ia menjalani urusannya dengan wajah yang tampak selalu gembira. Barangkali itu salah satu kunci keberhasilannya. Saya pernah berkorespondensi melalui email dengan seorang wartawan asing dan kami membicarakan urusan tulis-menulis. Saya menanyakan bagaimana cara mereka selalu bisa menulis berita dengan baik. (Menurut anggapan saya, semua tulisan di media tempat ia bekerja selalu bagus.) Ia menjawab, ’’Kami selalu menulis dengan perasaan gembira.”

Valentino tentu juga sering berada di dalam situasi yang menekan. Ia telah menikmati masa kejayaan di sirkuit MotoGP dan menjadi juara lima musim berturut-turut sejak 2001 hingga 2005. Tahun 2006 ia menjalani musim yang sial dan harus merelakan gelarnya ke tangan pembalap Amerika, Nicky Hayden. Pada musim balap berikutnya, ia menghadapi situasi yang lebih rumit lagi. Casey Stoner muncul dan mampu membalap begitu kencang di atas motor Ducatinya. Pemuda Australia ini, yang mengidolakan Vale pada mulanya dan kemudian menjadi pengecam keras, benar-benar seorang penantang paling menakutkan. Ia memiliki talenta luar biasa yang mampu menandingi Valentino dan membuktikannya dengan merebut gelar juara di tahun 2007.

Stoner betul-betul membuat orang berpikir bahwa Rossi sudah habis. Namun, di tahun berikutnya, seperti seorang mesiah yang bangkit dari kematian, Rossi kembali menjadi juara dunia. Ia memenangi pertarungan sengit melawan Stoner yang saat itu masih merupakan pembalap tercepat. Sampai sesi kesepuluh Rossi memimpin klasemen dengan selisih nilai yang tidak besar, dan ia kemudian berhasil menghancurkan mental Stoner dalam pertarungan sengit di sirkuit Laguna Seca, Amerika, tahun 2008. Di dalam pertarungan ini, Rossi memamerkan manuver-menuver yang membuat Stoner marah. Rossi ahli dalam membuat orang lain uring-uringan.

Orang lain yang tahu cara membuat lawannya marah adalah petinju legendaris Muhammad Ali. ’’Kau membuat lawanmu marah dan kemarahan akan mengubah seorang petinju menjadi petarung jalanan yang kalap dan melupakan teknik bertinjunya,” kata Ali.

Tampaknya itu berlaku juga bagi Stoner. Ia marah dan dalam tujuh sesi terakhir setelah itu, ia hanya mampu menang dua kali dan naik podium tiga kali. Sementara Rossi memenangi lima sesi dan naik podium enam kali. Rossi kembali menjadi juara dunia dan Stoner di tempat kedua dengan selisih poin akhir yang cukup besar.

Tahun berikutnya, 2009, perseteruan seru dihadirkan oleh rekan satu timnya, Jorge Lorenzo. O, tunggu dulu. Rekan satu tim adalah istilah yang tidak tepat. Yang lebih tepat adalah musuh besar di bawah bendera yang sama. Pertarungan seru musim ini terjadi di sirkuit Catalunya, Spanyol, di mana Lorenzo dan Rossi saling menempel sepanjang balapan, dan Lorenzo berada di depan saat balapan tinggal menyisakan tiga tikungan lagi.

Rossi terus berusaha menempel Lorenzo dan, seperti yang lazim dilakukan oleh para pembuat keajaiban, ia berhasil melakukan hal yang nyaris musykil: menyalip Jorge Lorenzo di tikungan terakhir, dalam situasi yang sangat sulit, dengan risiko jatuh.

Dalam film dokumenter Fastest, Vale menjelaskan manuvernya: ’’Kejutan adalah hal yang penting. Karena Jorge juga tak akan menyangka saya melakukan itu.”

Ia menikung dengan kecepatan 180 mil per jam, dalam jarak 35 sentimeter dari Lorenzo, dan ia berhasil. Ia memenangi pertarungan di Catalunya itu. Dan ia berhasil mempertahankan mahkota kejuaraan.

Namun Lorenzo makin kuat di tahun berikutnya. Pembalap Spanyol ini keluar sebagai juara di tahun 2010 dan Yamaha mengumumkan bahwa Lorenzo adalah pembalap masa depan Yamaha. Itu pernyataan yang melukai Valentino. Ia lantas keluar dari Yamaha dan bergabung dengan Ducati dan menjalani dua musim yang sengsara di atas motor Italia itu.

Pada tahun 2013, di usianya yang sudah 34 tahun, Vale kembali ke Yamaha sebagai pembalap tua yang sudah dicoret oleh para wartawan dan pengamat dari daftar kandidat juara. Jeremy Burgess, kepala teknisi yang telah mendampinginya sejak ia menceburkan diri di sirkuit MotoGP, juga memiliki pendapat yang serupa bahwa saat ini nyaris mustahil bagi Rossi untuk kembali menjadi juara. Burgess adalah orang yang memiliki jumlah kemenangan lebih banyak dibandingkan Valentino. Ia telah mendampingi para juara sebelum Rossi membalap.

Marc Marquez, si pendatang baru, tampil memukau di tahun pertamanya di MotoGP dan memenangi kejuaraan sebagai yang termuda sepanjang sejarah. Lorenzo, juara tahun sebelumnya, menempati posisi kedua dengan selisih hanya delapan poin dari Marc. Dani Pedrosa di posisi ketiga. Valentino hanya menempati urutan keempat dan tetap membuat kejutan. Setelah musim balapan 2013 berakhir, ia mengumumkan berpisah dari Jeremy Burgess, orang yang telah mengantarnya menjadi juara dan sudah seperti ayahnya sendiri. Banyak penggemarnya menanggapi keputusan itu dengan kesedihan yang emosional. Namun Rossi sudah mengambil keputusan.

Pada musim balapan tahun 2014 ia menunjuk Silvano Galbusera sebagai kepala teknisi dan mendapatkan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Kita melihat pada setiap sesi, ia tampak gembira --seperti biasa-- dan ikut bergembira setiap kali Marc Marquez meraih kemenangan. Pada satu kesempatan ia tiba-tiba ikut menyusup di tengah-tengah kru Honda yang sedang berfoto bersama Marc merayakan kemenangan.

Kita melihat itu semua sebagai hal yang wajar, sesuatu yang berlangsung alami: sang legenda ikut bergembira karena anak muda yang mengaguminya keluar sebagai pemenang. Tetapi saya agak meyakini bahwa itulah cara Rossi melancarkan perang urat syaraf secara terselubung terhadap Jorge Lorenzo. Ia tahu lawan pertama yang harus disingkirkan adalah Lorenzo, pembalap utama tim Yamaha yang lebih diistimewakan ketimbang dirinya. Dan, bagaimanapun, Lorenzo adalah pembalap tangguh.

Dengan menunjukkan dukungannya terhadap Marc Marquez, ia membuat Lorenzo menjadi satu-satunya ’’musuh bersama”. Di tahun 2014 itu Jorge melakukan banyak kesalahan di separo awal musim balapan. Ia tertinggal jauh dalam pengumpulan nilai, sementara Rossi menunjukkan performa yang jauh meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dan menjadi runner-up di akhir musim. Lorenzo, sang musuh bersama, merosot di urusan keempat.

Dengan kenyataan seperti itu, Yamaha akhirnya mengeluarkan keputusan bahwa kedua pembalap akan diperlakukan sama. Inilah keputusan terpenting dari Yamaha bagi Valentino dan ia mengawali musim kompetisi 2015 dengan menghadirkan kejutan. Sementara Lorenzo selalu gagal menunjukkan performa terbaiknya (sebagian pengamat menganggapnya mulai kehilangan kepercayaan diri) dan Marc Marquez mengalami hari-hari sial, Rossi memenangi dua dari tiga sesi pembuka, dan selalu berada di podium.

’’Jangan pernah mencoret Valentino. Ia selalu menakjubkan,” kata Jeremy McWilliams, seorang bekas pembalap, setelah kemenangan Vale pada seri pembuka di Qatar.

Sampai sesi ketiga minggu lalu di Argentina, Valentino masih memberikan kejutan. Ia memulai start dari posisi kedelapan, sama seperti posisi startnya di Qatar, dan Marc Marquez di posisi pertama dan melaju sangat cepat meninggalkan gerombolan. Lalu Rossi menyalip para pembalap di depannya satu demi satu dan akhirnya memburu Marc yang tampak sangat kecil di depan sana. Ketika balapan tinggal dua putaran lagi, sang pemburu berhasil mendekati mangsa dan menyalipnya di sebuah tikungan. Lalu terjadi salip-menyalip dan dua kali mereka saling bersentuhan sampai akhirnya Marc Marquez terjatuh dan gagal finish karena roda depan motornya bentrok dengan roda belakang motor Valentino saat keluar dari tikungan.

Itu perang urat syarat berikutnya yang dilancarkan oleh Valentino, pembalap tertua di lintasan MotoGP hari ini, dan sekarang lawannya adalah Marquez, pembalap termuda dan sang juara bertahan yang sekaligus pemujanya. Di masa lalu Valentino telah melakukannya terhadap Max Biaggi, Sete Gibernau, Casey Stoner, dan Lorenzo. Kini, di saat Lorenzo terseok-seok menghadapi masalah dengan dirinya sendiri, satu-satunya lawan terberat adalah Marc Marquez. Karena itu Rossi memberinya kejutan di Argentina, dengan sebuah manuver keluar dari tikungan yang tidak pernah disangka-sangka oleh Marc Marquez.

’’Wkwkwkwkwk.... modal sradak-sruduk pengen menang? Lo kira preman yg bikin pembalap lain ketakutan dan mundur meski lebih kenceng? Dasar Markceleng. Nyungsep dah lo.”

Saya membaca komentar itu di bawah berita tentang jatuhnya Marc Marquez. Itu tipikal pembaca Indonesia yang suka memaki-maki dan sungguh memalukan jika kita bandingkan dengan komentar-komentar dari pembaca berbahasa Inggris, misalnya. Tampaknya pembaca kita memang suka memaki dan tidak menyadari bahwa yang mereka caki maki adalah para juara.

Atau, jika tidak memaki, mereka suka memberikan nasihat. Misalnya seperti ini, ’’Belajar sabar ya, Marq. Dan jangan memaksakan.. Belajar.. Juga yang penting finish.. Jangan sampai dnf..” Dnf adalah istilah di ajang balap motor untuk pembalap yang gagal menyelesaikan balapan..

Tapi kegemaran memaki atau menasihai itu adalah masalah mereka sendiri, bukan masalah para pembalap. Para pembalap MotoGP sudah memberikan hal terbaik yang mereka miliki. Dan musim balapan tahun ini betul-betul menakjubkan.

Valentino bangkit lagi untuk kali kedua. ’’Kebangkitan yang kedua, sesuatu yang bahkan Yesus pun tidak melakukannya,” kelakar Mat Oxley, kolumnis dan bekas pembalap, di kolomnya setelah kemenangan Valentino di Argentina.

Saya senang sekali dengan MotoGP musim ini. Valentino memberi kegembiraan pada saat kita, di negeri sendiri, sulit menemukan apa yang bisa membikin kita gembira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar