Jumat, 29 Mei 2015

BBM dan Visi Pemerintah

BBM dan Visi Pemerintah

Arifin SJ  ;  Managing Director Centrum Advisory Group
REPUBLIKA, 19 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Peluncuran produk baru Pertamina, BBM Pertalite, akhirnya ditunda. Padahal, sebelumnya produk itu direncanakan mulai beredar Mei ini. Penundaan ini disebabkan belum keluarnya izin dari pemerintah dan DPR.

Setidaknya, ada dua kekhawatiran yang dimunculkan terkait keberadaan Pertalite. Pertama dan utama, Pertalite dicurigai akan menggantikan Premium. Kedua, belum siapnya infrastruktur untuk penerapan produk baru ini.

Masalah yang lebih utama adalah persoalan harga Pertalite yang dipatok Rp 8.000 - Rp 8.300 per liter. Harga ini lebih mahal Rp 900 dibandingkan harga Premium. Bahkan, harganya cenderung mendekati Pertamax, Rp 8.600 per liter. Sejumlah pihak khawatir—lebih tepatnya mencurigai—bahwa Pertalite hanya akal-akalan Pertamina untuk menghilangkan Premium dari pasaran.

Meskipun sebenarnya, Pertamina dan pemerintah sudah berkali-kali menjamin Premium tetap akan ada di pasaran dan Pertalite bukanlah pengganti Premium, melainkan diversifikasi produk yang memberikan lebih banyak tawaran kepada konsumen.

Harga BBM adalah persoalan yang sensitif karena memiliki multiplier effect yang langsung dapat memengaruhi daya beli masyarakat. Kenaikan BBM selalu menjadi isu tidak populer yang memojokkan pemerintah. Apalagi setelah pencabutan subsidi Premium Januari lalu, pemerintah tidak dapat lagi mengandalkan alibi penghematan devisa untuk setiap isu kenaikan harga bensin.

Pertalite yang beberapa minggu ini menjadi kontroversi adalah bensin dengan RON (kadar oktan) 90. Jenis ini merupakan pencampuran antara nafta yang memiliki RON 70 dengan High Octane Mogas Component (HOMC) yang memiliki RON 92 plus zat aditif EcoSAVE. Sederhananya, Pertalite adalah blending nafta dan Pertamax. Dilihat dari kualitas, Pertalite adalah produk yang berada di antara Premium dan Pertamax. Sementara, Premium hanya memiliki RON 88, pengaruh Pertalite tentu lebih baik terhadap kinerja mesin di mana pembakaran dapat terjadi lebih sempurna sehingga mengurangi gas buangan yang mencemari udara.

Premium sesungguhnya nyaris tidak lagi beredar di negara manapun karena dianggap produk yang kotor. Mobil-mobil keluaran baru menghendaki bensin dengan RON lebih tinggi. Apalagi, Indonesia sendiri sejak 2007 telah menerapkan standar Euro 2 yang menghendaki bensin lebih bersih. Satu-satunya alasan Premium tetap menjadi andalan di Indonesia karena harganya yang murah.

Secara objektif, Indonesia tidak mungkin dapat bertahan lebih lama menggunakan Premium. Hal ini jelas akan bertentangan dengan perkembangan teknologi kendaraan bermotor. Selain itu, semakin kencangnya isu lingkungan menyebabkan dunia mencari alternatif bahan bakar selain Premium. Oleh karena itu, jika masalah harga yang dipersoalkan, terlebih dulu harus ditilik masalah ekonomi yang lebih mendasar, apakah produksi BBM kita selama ini telah efisien? Faktanya, BBM murah ini ternyata tidak seluruhnya diproduksi sendiri oleh Indonesia.

Sosialisasi Pertalite oleh Pertamina memberi isyarat bahwa jenis BBM ini akan diproduksi di Indonesia dengan memanfaatkan stok nafta yang berlimpah dan praktis tidak memiliki harga. Namun, pertanyaan mendasarnya, jika diproduksi sendiri dengan memanfaatkan nafta yang murah, mengapa harga Pertalite bisa lebih mahal dari Premium yang harus diimpor? Pertamina wajib menjelaskan hal ini secara transparan. Jika harga Pertalite sama atau sedikit di atas harga Premium, semua kontroversi ini dipastikan segera akan lenyap ditelan udara.

Sejatinya, persoalan harga Premium, Pertalite, maupun Pertamax tidak akan menjadi masalah jika Indonesia memiliki kilang minyak yang cukup. Pemerintah sendiri agaknya semakin menyadari pentingnya pembangunan kilang baru di dalam negeri. Terbukti pada 18 April 2015 lalu, salah satu butir kesepakatan Oil and Gas Leaders Meeting adalah pemerintah bersepakat untuk menugaskan Pertamina dalam rencana pembangunan empat kilang minyak di masa depan. Sayangnya, hingga kini payung hukum untuk penugasan tersebut belum kunjung terealisasi.

Dengan jumlah kilang yang memadai, seluruh produksi BBM dapat dilakukan di dalam negeri. Melalui pengawasan dan efisiensi yang tinggi, seluruh persoalan harga akan menemukan solusinya sendiri. Pemerintah wajib memperhatikan persoalan ini mengingat BBM merupakan isu yang sangat sensitif dan kebijakan ketahanan energi akan tetap menjadi hal yang strategis sampai kapan pun. Pemerintah, dalam konteks ini, tidak boleh sekadar melempar tanggung jawab yang menyusahkan Pertamina.

Saat ini, kebutuhan BBM nasional mencapai 1,5 juta-1,6 juta barel per hari, sementara kilang kita hanya sanggup memproduksi paling besar 1,2 juta barel per hari. Sisanya, 300 ribu-400 ribu barel minyak per hari masih harus diimpor. Terdapat kebutuhan nyata untuk menambah jumlah kilang. Namun sayangnya, sejak 1995 pemerintah tidak pernah lagi membangun kilang baru (setelah Balongan).

Terdapat banyak keluhan bahwa investasi kilang kurang menarik karena marginnya kecil. Namun, dengan mempertimbangkan strategisnya persoalan ini, pemerintah seharusnya melihat masalah ini dalam kerangka dan benefit jangka panjang. Bukan hanya konteks untung-rugi jangka pendek.

Pada 2009, pemerintah telah melansir kebijakan untuk membangun kilang di Banten dan Tuban, Jawa Timur. Hingga saat ini, praktis tidak ada kemajuan berarti. Rata-rata masalahnya karena pemerintah tidak dapat mengakomodasi keinginan investor yang menghendaki tax holiday lebih dari 15 tahun. Sementara, PP No 62 Tahun 2008 menggariskan insentif fiskal tidak boleh lebih dari 10 tahun.

Terhadap persoalan ini, pemerintah seharusnya berani mengambil risiko dengan mempertimbangkan kepentingan nasional yang sifatnya jangka panjang. Mungkin saja sebuah kebijakan dinilai tidak populer dalam waktu 5-10 tahun ke depan, tapi justru akan dipuji sebagai hal yang sangat positif 20 tahun mendatang. Kebijakan visioner pemerintah dalam kerangka ketahanan energi nasional lebih dibutuhkan dibandingkan sekadar kontroversi Pertalite.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar