Selasa, 26 Mei 2015

Di Balik Rendahnya Pertumbuhan Ekonomi

Di Balik Rendahnya Pertumbuhan Ekonomi

Sunarsip  ;  Komisaris Bank BRI Syariah; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
REPUBLIKA, 11 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Pertumbuhan ekonomi triwulan I 2015 tercatat 4,71 per sen (year on year/yoy), menurun dibandingkan triwulan sebelumnya, 5,02 persen (yoy). Pelemahan ini sejalan dengan berbagai indikator yang memang melemah dalam beberapa bulan terakhir.

Pelemahan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 terutama didorong melemahnya kinerja konsumsi pemerintah dan investasi.

Pelemahan pada konsumsi pemerintah terjadi akibat belum optimalnya penyerapan belanja. Pada investasi, pelemahan diakibatkan masih adanya sikap wait and see sektor swasta dan belum berjalannya proyek-proyek pemerintah. Anggaran belanja infrastruktur pada 2015 sebesar Rp 290 triliun baru dibelanjakan hanya sekitar Rp 7 triliun.

Di sisi eksternal, kinerja ekspor juga menurun sejalan dengan lemahnya permintaan dan turunnya harga komoditas dunia. Sementara itu, pertumbuhan impor mengalami penurunan cukup dalam sejalan dengan melemahnya perkembangan permintaan domestik.

Sejumlah pejabat resmi (pemerintah dan otoritas moneter) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan mulai meningkat pada triwulan II 2015. Penyebabnya, pengeluaran pemerintah, terutama belanja modal pemerintah pada proyek-proyek infrastruktur, diperkirakan meningkat mulai triwulan II 2015 dan seterusnya. Namun, saya melihat bahwa risiko tidak tercapainya pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen masih sangat besar. Mengapa? Analisis berikut akan menjelaskannya.

Pada 15 April lalu, IMF kembali merilis proyeksi ekonomi dunia. Dalam outlook- nya, IMF memproyeksikan ekonomi dunia 2015 akan tumbuh 3,5 persen, tidak berubah dibanding proyeksi yang dibuat pada Januari 2015. Namun, IMF melakukan revisi terhadap outlook beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS), kawasan Eropa, Jepang, dan India.

Berdasarkan outlook IMF, pada 2015 ini, AS diperkirakan tumbuh 3,1 persen terkoreksi -0,5 persen dibanding outlook IMF pada Januari lalu yang diproyeksikan tumbuh 3,6 persen. Kawasan Eropa diperkirakan tumbuh 1,5 persen pada 2015, lebih tinggi 0,3 persen dibanding proyeksi Januari lalu sebesar 1,2 persen. Sementara, Jepang diperkirakan tumbuh 1,0 persen pada 2015 lebih baik dibanding proyeksi Januari sebesar 0,6 persen. Sedangkan India, kini menjadi bintangnya Asia karena pada 2015 ini diperkirakan tumbuh 7,5 persen atau lebih tinggi 1,2 persen dibanding proyeksi Januari lalu sebesar 6,3 persen.

Perubahan outlook kini, termasuk faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, tentunya akan memiliki dampak bagi Indonesia. Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS, misalnya, perlu dicermati karena ini akan berimplikasi pada rencana bank sentral AS (the Fed) yang akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya. Padahal, kita ketahui bahwa ketidakpastian terkait rencana kebijakan the Fed ini telah berimplikasi cukup dalam terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah.

Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS antara lain dipengaruhi oleh apresiasi mata uangnya (USD) yang dalam enam bulan terakhir ini yang menguat hingga 10 persen. Penguatan USD ini memperlambat laju ekspor AS sehingga berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi AS. Selain itu, laju pertumbuhan investasi di AS juga mengalami penurunan. Penguatan USD telah menjadi faktor yang tidak menguntungkan bagi kegiatan investasi sektor manufaktur berbasis ekspor. Sedangkan, jatuhnya harga minyak telah menyebabkan turunnya investasi pada sektor migas yang sebelumnya meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Sebagai oil net importer, AS semestinya diuntungkan dengan rendahnya harga minyak. Sebab, pengeluaran BBM mereka menjadi lebih rendah, bahkan terendah sejak 2003. Sayangnya, rendahnya harga minyak tersebut tidak dapat dimaksimalkan untuk mendorong konsumsi di AS secara signifikan. Faktanya, data penjualan ritel di AS dalam dua bulan pertama 2015 justru melemah. Masyarakat AS ternyata menggunakan surplus dari rendahnya harga BBM bukan untuk konsumsi melainkan ditabung karena suku bunga tabungan yang mulai meningkat.

Bila proyeksi ekonomi AS diperkirakan lebih rendah maka sebaliknya dengan kawasan Eropa dan Jepang. Kedua perekonomian ini diperkirakan tumbuh lebih baik pada 2015. Kebijakan quantitative easing (QE) yang diambil oleh kedua perekonomian ini menjadi faktor utama di balik perbaikan proyeksi pertumbuhan ekonominya. Kebijakan QE Eropa dan Jepang telah menyebabkan mata uang mereka melemah sehingga mendorong laju ekspor mereka. Kebijakan QE juga menyebabkan tingkat suku bunga menjadi lebih rendah sehingga laju investasi meningkat. Dan, sebagai oil net importer, rendahnya harga minyak juga menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi Eropa dan Jepang.
Dalam konteks Indonesia, hal yang sama juga terjadi.

Faktor harga minyak dan nilai tukar masih akan tetap menentukan perkembangan ekonomi Indonesia ke depan. Dalam outlook-nya, IMF masih memproyeksikan pada 2015 ini ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen tidak berubah dibanding outlook-nya pada Januari lalu. Namun, dalam outlook-nya, IMF menuntut agar Indonesia memperkuat kredibilitas kebijakan makro ekonomi dan makro-prudensialnya agar mampu mengendalikan pergerakan nilai tukar rupiah.

Kinerja harga minyak dan nilai tukar rupiah memang cukup berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Turunnya harga minyak turut membantu neraca perdagangan Indonesia. Kinerja neraca perdagangan Indonesia Januari-Maret 2015 mencatatkan surplus 2,43 miliar dolar AS, meningkat 129 persen dibanding periode yang sama 2014 yang surplus sebesar 1,06 miliar dolar AS.
Peningkatan kinerja neraca perdagangan ini terutama berasal dari menurunnya impor migas dari sebesar 11,0 miliar dolar AS pada periode Januari-Maret 2014 menjadi sebesar 6,1 miliar dolar AS.

Tidak dapat dielakkan bahwa rendahnya harga minyak berada di balik turunnya impor migas tersebut. Sayangnya, pelemahan nilai tukar rupiah tidak cukup membantu memperbaiki kinerja neraca perdagangan Indonesia. Ekspor Indonesia Januari-Maret 2015 mencapai 39,13 miliar dolar AS, turun dibanding periode yang sama 2014 yang mencapai 44,29 miliar dolar AS.

Secara normatif, pelemahan nilai tukar rupiah seharusnya meningkatkan ekspor. Namun yang terjadi, pelemahan rupiah tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal karena permintaan yang berkurang dan harganya jatuh. Akibatnya, pengaruh positif dari pelemahan rupiah ini tidak terlalu kuat dibanding dengan turunnya permintaan dan jatuhnya harga.

Secara mikro dampak pelemahan nilai tukar rupiah dan harga minyak ini juga sudah terlihat. Beberapa perusahaan (terutama BUMN) yang bergerak di sektor energi sangat tertekan kinerjanya. Turunnya harga minyak (termasuk gas dan batu bara) telah menyebabkan kinerja ekspor dan penjualan mereka tertekan. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah telah menyebabkan mereka mengalami kerugian signifikan akibat selisih kurs.

Berbagai kondisi inilah yang menyebabkan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 tidak akan mencapai seperti ekspektasi pemerintah. Terlebih lagi, perekonomian kita masih menghadapi masalah struktural yang belum kunjung terpecahkan.

Joseph E Stiglitz, pemenang No bel ekonomi belum lama ini, mengatakan, "You will have stronger growth if you reduce inequality". Itu artinya, dengan tingkat rasio ketimpangan (Gini ratio) sebesar 0,41 (terburuk sejak Indonesia merdeka), memang sulit kita berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tinggi.
Tampaknya, kita memang masih harus "bersabar" lebih lama lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar