Jumat, 29 Mei 2015

Haruskah Panen Beras di Pasar?

Haruskah Panen Beras di Pasar?

Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
REPUBLIKA, 19 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Penyerapan gabah atau beras petani domestik oleh Bulog masih kecil. Sampai 13 Mei 2015, pengadaan beras oleh Bulog baru mencapai 750 ribu ton, jauh dari target internal Bulog sebesar 2,7 juta ton.

Porsi pengadaan makin kecil apabila dibandingkan dengan target yang dipatok pemerintah: 4,5 juta ton setara beras. Jika pengadaan tidak membaik, cadangan beras pemerintah yang dikelola Bulog terus terkuras.

Pada satu titik, cadangan benar-benar tandas, pasar mudah sekali memanas. Pedagang yang menguasai stok bakal mendikte harga. Agar hal itu tidak terjadi, kini muncul wacana Indonesia impor beras.

Impor tidak dilarang sepanjang ada alasan kuat. Pada Pasal 36 UU No 18/2012 tentang Pangan disebutkan, impor pangan hanya dapat dilakukan apabila: (1) produksi pangan domestik tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri; dan (2) produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Jadi, impor merupakan opsi terakhir (the last resort).

Lalu, pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan impor pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil (pasal 39). Jadi, impor apa pun tidak boleh merugikan.

Tepatkah impor beras dilakukan saat ini? Produksi padi pada 2014 mencapai 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 41,789 beras (rendemen 59 persen). Dengan angka konsumsi beras per kapita tertinggi, 139 kg per tahun, konsumsi 250 juta warga Indonesia hanya 34,75 juta ton. Jika data ini benar, tentu masih ada surplus yang besar. Surplus semakin besar bila perkiraan produksi padi pada 2015 oleh Kementerian Pertanian tercapai: 73 juta ton padi. Impor kian absurd karena dilakukan bukan karena produksi beras domestik tidak memadai, baik akibat gagal panen maupun penyebab lainnya.

Impor beras memang menggiurkan. Ini karena disparitas harga beras domestik dan di pasar internasional amat tinggi. Harga eceran beras medium di pasar dunia cukup rendah, per 23 April 2015 tercatat 335–365 dolar AS per ton untuk beras Thailand 25 persen broken, dan 330–340 dolar AS per ton untuk Vietnam 25 persen broken. Dengan kurs 1 dolar AS setara Rp 13 ribu, harga beras di pasar dunia hanya berkisar Rp 5.500 – Rp 6.500 per kg.

Betapa menggiurkan untung yang bisa ditangguk? "Memanen beras di pasar" alias impor, dan bukan panen di lahan, selalu jadi jurus pamungkas. Seolah-olah semua jalan sudah buntu.

Tidak pernah diperhitungkan efek berantai impor beras. Mengimpor beras dari luar negeri, walaupun dengan harga yang lebih murah ketimbang harga beras petani domestik, akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Bedanya, kalau mengimpor beras dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yaitu apa yang dalam konsep ekonomi disebut efek pengganda (multiplier effect).

Sebaliknya, jika membeli beras petani domestik meskipun lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri. Efek berantai itu dalam bentuk konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja (Arief, 2001). Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial. Mengapa Jepang begitu protektif pada beras produksi petaninya? Ini tidak lain karena Jepang lebih mengedepankan efisiensi sosial, bukan efisiensi ekonomi, apalagi efisiensi komersial.

Situasi di lapangan tidak mudah bagi Bulog menyerap gabah atau beras. Di satu sisi, ada tuntutan kuat agar Bulog menjaga kualitas beras. Ini terkait keluhan buruknya kualitas beras untuk rakyat miskin (raskin) yang selalu berulang. Di sisi lain, bila berkeras menjaga kualitas besar kemungkinan Bulog tidak mendapatkan gabah atau beras.

Di Inpres Perberasan No 5/2015, harga pembelian pemerintah (HPP) beras kualitas medium di gudang Bulog dipatok Rp 7.300 per kg. Di sisi lain, harga beras serupa di pasaran masih tinggi: Rp 9.954 per kg. Bahkan, di Jakarta Rp 10.720 per kg (www.kemendag.go.id, diakses 14 Mei 2015). Tanpa exit policy, penyerapan gabah atau beras Bulog tidak akan membaik.

Salah satu exit policy yang bisa dipilh adalah membuka peluang Bulog membeli gabah atau beras lewat jalur komersial. Lewat jalur ini Bulog bisa membeli gabah atau beras dengan harga berapa pun, sesuai harga pasaran. Kebijakan semacam ini pernah diterapkan pada 2011.

Jika ini ditempuh, Bulog harus memaksimalkan penyerapan dalam sisa panen raya dan panen gadu. Masalahnya, opsi ini ibarat berjudi: ada peluang untung, tetapi bisa pula merugi. Saat dipimpin Mustafa Abubakar, pada 2009 Bulog membeli beras besar-besaran melalui jalur komersial. Cadangan aman, harga beras dan inflasi terkendali. Impor juga tidak terjadi. Namun, Bulog merugi Rp 200 miliar karena harga beras kemudian jatuh.

Sebagai Perum, salah satu tugas direksi Bulog adalah mencari laba sehingga bisa menyetorkan keuntungan pada negara. Jika merugi akibat melaksanakan tugas sosial, seperti menyerap gabah atau beras domestik, mengelola cadangan beras pemerintah, dan mengelola raskin, dewan direksi bisa dipecat setiap saat karena dianggap tidak perform.

Mestinya, sebagai pelaksana tugas sosial dari pemerintah (baca: negara) konsekuensi apa pun yang muncul, termasuk kerugian, ini sesuatu yang given. Bulog, terutama direksi, tidak bisa serta-merta dinilai tidak perform karena menjalankan tugas-tugas public service obligation itu. Untuk menghindari moral hazard, Bulog harus diawasi superketat. Sepanjang Bulog tidak dibebaskan dari beban menanggung potensi kerugian akibat pengadaan lewat jalur komersial, penyerapan beras tidak akan beranjak membaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar