Selasa, 26 Mei 2015

Kaum Muda dan Kekuasaan

Kaum Muda dan Kekuasaan

Mohammad Nasih  ;  Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute
KORAN SINDO, 25 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Kaum muda merupakan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Tentu kaum muda yang bisa menjadi harapan adalah kaum muda yang memiliki kecerdasan tinggi yang dengan kecerdasan itu mereka merencanakan dan melakukan perbaikan.

Mahasiswa sering diidentikkan dengan kaum muda dengan kecerdasan tinggi itu. Pasalnya, mahasiswa merupakan satu entitas di dalam golongan kaum muda yang memiliki kesempatan khusus untuk mengakses ilmu pengetahuan yang lebih luas. Dengan kecerdasan itu, mereka bisa berimajinasi tingkat tinggi tentang masa depan yang lebih gemilang. Kecerdasan pulalah yang bisa menguatkan gerakan untuk merealisasikan imajinasi.

Karena membutuhkan imajinasi, yang diperlukan adalah kaum muda yang memiliki independensi, bukan anak-anak muda yang diri mereka telah tergadai, dan jiwa mereka telah terpasung. Jika independensi mereka telah terjual, walaupun mereka masih mengembuskan napas, sesungguhnya mereka telah mati. Mereka sudah tidak lagi diharapkan bisa memberikan arti sebab telah kehilangan kekuatan terhebat, yakni kekuatan moral untuk bersuara, dan tentu saja kekuatan untuk bertindak.

Moral mereka telah jatuh sedalam-dalamnya dan sangat sulit untuk diangkat kembali. Menurut Ibnu Khaldun, ada empat kategori generasi, yaitu generasi pejuang, generasi penerus, generasi penikmat, dan generasi pemboros. Dalam konteks yang berbeda dengan yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun, generasi pejuang merupakan generasi yang sangat diperhitungkan oleh penguasa.

Jika penguasa melakukan penyelewengan kekuasaan, generasi pejuang akan melakukan perlawanan dengan sepenuh jiwa dan raga. Untuk melakukan itu, mereka rela mengorbankan apa saja. Mereka tidak lagi memiliki rasa sakit dan tidak takut sama sekali terhadap kematian. Mereka rela menjadi ”tumbal”, yang mereka cita-cita tercapai. Terhadap generasi pejuang ini, penguasa akan selalu mencari cara agar mereka bisa ditaklukkan dan dimatikan.

Tentu dengan cara yang berbeda- beda. Kejadian macam ini senantiasa berulang dan bisa dikatakan menjadi satu hukum alam. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa ”sejarah akan selalu berulang”. Tidak sedikit peristiwa sekarang ini sesungguhnya merupakan pengulangan dari peristiwa masa lalu. Nama, penampakan, cara, dan tempatnya saja yang berbeda. Namun, substansinya sesungguhnya tetap sama.

Di antaranya kisah tentang seorang penguasa lalim yang di dalam Alquran disebut dengan nama Firaun yang mendapatkan informasi dari para tukang ramalnya, bahwa akan ada seorang anak lelaki berasal dari garis keturunan Bani Israil akan menghancurkan kekuasaannya. Untuk mengantisipasi ramalan tersebut terjadi, dia membunuh setiap anak lakilaki yang baru saja dilahirkan dari kalangan Bani Israil.

Usaha tersebut dilakukan secara besar-besaran, karena Firaun menganggap bahwa kerajaannya tidak boleh berpindah kepada orang lain. Karakter Firaun ini dalam banyak penguasa bisa ditemukan. Mereka juga tidak ingin kekuasaan yang berada di tangan mereka jatuh ke tangan pihak lain, apalagi pada saat mereka masih dalam keadaan segar bugar.

Jika kekuasaan tersebut sudah tidak lagi dikuasai olehnya lagi, orangorang terdekatnya lah yang harus menjadi pengendali pelanjut. Biasanya orang yang dianggap terdekat itu adalah anak-anak sendiri, karena kurang percaya kepada orang lain. Karena itu, orang-orang lain yang berusaha untuk mengganggu keberlangsungan alih kekuasaan kepada orang-orang yang diinginkan oleh penguasa tersebut harus dimusnahkan terlebih dahulu.

Belajar dari berbagai kasus di masa lalu, kaum muda harus bertindak hati-hati. Jangan sampai mereka masuk ke dalam jebakan yang dibuat oleh penguasa jahat yang ingin membunuh masa depan mereka. Bisa jadi, mereka tidak dibunuh dalam arti dihilangkan nyawa mereka, tetapi bisa dimatikan karakternya, bisa pula dipenjarakan untuk mematikan gerakan dan sekaligus mematikan karakternya, sehingga menjadi orang-orang yang kehilangan integritas.

Dengan demikian, di masa depan, mereka tidak lagi bisa mendapatkan kepercayaan dari banyak orang. Padahal sesungguhnya mereka memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pemimpin masa depan. Untuk membunuh lawan, ada banyak cara bisa dilakukan. Di tempat yang berbeda, di zaman yang berbeda, cara itu bisa berubah-ubah sesuai dengan cara pandang masyarakat.

Di Jawa misalnya, untuk membunuh lawan politik, tidak melulu harus dengan cara keras dengan menggunakan benda-benda yang mematikan, tetapi bisa dengan cara halus, bahkan sangat halus. Bahkan membunuhnya dengan cara yang tidak lazim, yakni dengan cara meletakkannya pada posisi yang paling dekat. Maka ada ungkapan Jawa ”dipangku, mati”.

Karena itu, kaum muda harus memiliki seni dalam menjaga jarak dengan penguasa, terutama para penguasa yang memiliki kecenderungan jahat, apalagi benar-benar jahat, agar selamat dari pembunuhan, terutama dalam bentuk yang halus atau sangat halus, yang karena sulit dideteksi. Ibarat naik kendaraan di jalan tol, jarak dengan kendaraan di depan tidak perlu terlalu jauh, tetapi juga tidak boleh terlalu dekat.

Jika terlalu jauh, tentu akan ada waktu yang terbuang untuk bisa cepat sampai tujuan. Namun, jika terlalu dekat, bisa terjadi kejadian yang membahayakan dan sulit menghindarkan diri. Seni menjaga jarak inilah yang harus dimiliki agar kaum muda bisa selamat dari segala upaya untuk menghentikan idealisme mereka.

Jika gagal menjaga jarak aman, mereka akan dimasukkan ke dalam jebakan yang membuat kaum muda yang sebelumnya memiliki kekuatan hebat, menjadi ibarat sekadar singa ompong. Mereka bisa dijerat dengan umpan berbagai kenikmatan yang bisa menyilaukan mata dan hati mereka. Dengan godaan itu, niat untuk menjadi generasi pejuang, bisa berbelok menjadi generasi penikmat.

Cukup memprihatinkan, gerakan anak-anak muda yang beberapa lalu bersuara lantang hendak mengkritisi pemerintah, tetapi kemudian mereka berbalik arah. Mereka belum pernah melakukan perjuangan sama sekali, tetapi sudah langsung menikmati makan malam yang karenanya mereka kehilangan semangat untuk melakukan perjuangan.

Karena itu, sekali lagi, kaum muda, kalangan aktivis mahasiswa harus bisa memperkirakan ”jarak aman” untuk mempertahankan idealisme mereka tetap terjaga, dan mereka tetap berada pada garis perjuangan untuk membela rakyat dan senanti berusaha untuk memperbaiki negara. Wallahu alam bi al-shawab.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar