Jumat, 29 Mei 2015

Matahari Energi Dunia

Matahari Energi Dunia

Rinaldy Dalimi  ;  Guru Besar Universitas Indonesia; Anggota Dewan Energi Nasional
KOMPAS, 29 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Pesawat terbang yang diberi nama Solar Impulse, pada 9 Maret 2015 tinggal landas dari Abu Dhabi untuk melakukan penerbangan bersejarah keliling dunia dengan jarak tempuh 35.000 kilometer. Pesawat hanya menggunakan energi matahari, kembali ke Abu Dhabi Juli 2015.

Setelah tim Solar Impulse bekerja selama 12 tahun, dengan 80 insinyur dan teknisi dari berbagai bidang ilmu, pesawat yang berawak satu orang tersebut telah menempuh perjalanan dari Abu Dhabi (UEA) ke Muscat (Oman), Ahmedabad dan Varanasi (India), Mandalay (Myanmar), Chongqing dan Nanjing (Tiongkok).  Pesawat tersebut beristirahat di Nanjing sebelum melintasi Lautan Pasifik menuju ke Hawaii, Phoenix, dan New York (AS), lalu melintasi Lautan Atlantik menuju Afrika Utara dan kembali ke Abu Dhabi.

Pesawat dikendalikan pilot Bertrand Piccard dan Andre Borschberg secara bergantian.  Rute terberat dan terpanjang yang akan dilewati adalah melintasi Lautan Pasifik dengan waktu tempuh selama lima hari dan lima malam tanpa berhenti, dikemudikan pilot Andre Borschberg yang berusia 62 tahun.

Pada sayap pesawat yang rentangnya 72 meter, melebihi sayap Boeing 747, terpasang 17.248 solar cell atau sel surya, sebagai alat penangkap energi matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik, yang menjadi sumber energi selama penerbangan.  Uji coba ini adalah pembuktian kemampuan teknologi energi surya yang akan menjadi sumber energi utama dunia ke depan, yang sumber energi mataharinya tersedia secara gratis dengan jumlah yang tidak terbatas.

Industri sel surya dunia

Dari hulu ke hilir, ada lima rantai pasokan material dalam industri sel surya untuk membangkitkan energi matahari yang disebut industri photovoltaic (PV) ini, Pertama (di hulu) adalah industri polisilikon sebagai bahan dasar untuk membuat silikon ingot.  Kemudian industri ingot sebagai bahan untuk membuat silikon wafer.  Selanjutnya silikon wafer menjadi bahan untuk membuat sel surya.  Setelah itu sel surya dirakit menjadi Solar Modul (PV Modul) pada industri hilirnya.  Karena setiap industri mempunyai permasalahan, karakter, dan nilai investasi yang berbeda jauh, terbatas sekali jumlah perusahaan yang mampu menguasai industri PV dari industri hulu (polisilikon) hingga hilir (modul PV).

Kebutuhan sel surya dunia terus meningkat, terutama setelah permasalahan lingkungan menjadi semakin parah akibat penggunaan energi fosil dan bencana nuklir.

Total produksi sel surya dunia saat ini sekitar 60 GW, sekitar 65 persen diproduksi di Tiongkok.  Efisiensi sel surya tertinggi di dunia saat ini 19,6 persen, artinya dari setiap satu meter persegi sel surya dapat menghasilkan 196 watt (peak) daya listrik.  Saat ini Jepang dan Australia sudah mengumumkan bahwa mereka akan memproduksi sel surya dengan efisiensi 40 persen.

Pemanfaatan sel surya dunia saat ini untuk membangkitkan listrik dengan skala besar, yang membutuhkan lahan terbuka luas.  Untuk membangkitkan listrik dari sel surya 1 MW membutuhkan lahan sekitar 2 hektar.

Di samping pada lahan terbuka, peluang pemanfaatan sel surya lain adalah atap rumah (rooftop) yang potensinya cukup besar.  Apabila di atap rumah dipasang sel surya dengan luas atap 20 meter persegi, dengan efisien 40 persen, dapat menghasilkan daya listrik sekitar 8000 watt (peak).  Daya listrik tersebut sudah mencukupi kebutuhan sebuah rumah mewah.  Permasalahannya sekarang adalah harga listrik dari panel surya masih lebih mahal daripada harga listrik yang berasal dari energi fosil.

Saat ini investasi untuk membangkitkan daya listrik sebesar 1 (satu) watt dari sel surya sekitar 2 dollar AS. Harga energi listrik yang dihasilkan kurang dari 20 sen dollar AS per kWh.  Dunia memprediksi bahwa pada 2030 harga listrik dari sel surya akan lebih murah dari harga listrik dari energi fosil.  Pada saat itulah masyarakat dengan sendirinya akan memasang sel surya di atap rumah masing-masing untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Saat itulah semua teknologi kebutuhan hidup manusia akan menggunakan energi listrik termasuk mobil.

Untuk pemakaian khusus, saat ini listrik dari sel surya sudah bisa lebih ekonomis, misalnya untuk penggunaan di daerah terpencil, sebagai pengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).  Juga ada beberapa negara, yang tujuan menggunakan sel surya adalah untuk mengurangi permasalahan lingkungan dan promosi.  Di antaranya di Taiwan ada stadion olahraga yang listriknya dari sel surya.   Di Jepang, ada perkantoran pemerintah, yang atap dan dindingnya menggunakan sel surya tembus cahaya (seperti kaca). Masih banyak penggunaan lain yang bertujuan memberikan pembelajaran kepada masyarakat dan untuk menciptakan kebutuhan (pasar) domestik agar industri sel surya dapat berkembang di negaranya.

Bagaimana di Indonesia

Penggunaan sel surya di Indonesia sudah dimulai lebih dari 20 tahun lalu, dikenal dengan Program Solar Home System (SHS) yang dilakukan oleh BPPT dan beberapa kementerian. SHS dipasang di puluhan ribu rumah di pedesaan sebesar 50 Wp (watt peak), dengan gratis.  Juga, Program Desa Mandiri Energi dan program PLN 1.000 pulau, telah dibangun beberapa pembangkit listrik tenaga solar cell (PLTS), terutama di daerah atau di pulau terpencil.

Di samping itu, sudah ada beberapa daerah yang menggunakan panel surya untuk penerangan jalan.  Jadi, kebutuhan (pasar) domestik panel surya sudah cukup besar untuk dapat berkembangnya industri PV di Indonesia.  Tetapi,  saat ini sebagian besar kebutuhan domestik tersebut masih dipasok dari impor.

Industri PV di Indonesia saat ini sudah ada, yaitu industri modul dengan kapasitas kecil, walaupun dengan keterbatasan teknologi dan tidak tersedianya pasokan bahan mentah, seperti solar cell dan balance of material (BOM) di Tanah Air.  Dengan begitu, industri modul tersebut belum sepenuhnya mempunyai kemampuan memenuhi standar internasional untuk menciptakan daya saing secara global.

 Untuk membangun kemampuan dalam negeri, sebaiknya Indonesia memperkuat industri hilir terlebih dahulu (sel surya dan modul) karena dari mata rantai industri PV, keuntungan terbesar ada pada kedua industri tersebut dan produksi langsung diserap pasar.  Setelah itu baru dilihat peluang industri lainnya sesuai potensi dan sumber daya alam yang ada. Juga diperlukan kerja sama dengan industri PV (terutama sel surya) dari negara lain yang sudah memenuhi standar internasional. Yang tidak kalah penting adalah dalam kontrak kerja sama tersebut ada perjanjian untuk alih teknologi.

Dalam Kebijakan Energi Nasional yang baru (KEN-2050) dinyatakan bahwa pembangunan dan pemanfaatan energi terbarukan (termasuk energi surya) menjadi prioritas. Pada 2025, target bauran energi nasional minimal 23 persen berasal dari energi terbarukan dan pada 2050 minimal 31 persen.

Jika dilihat dari potensi dan besarnya kebutuhan nasional, besaran target tersebut bukanlah angka yang sulit dicapai, asal saja perencanaan dan penggunaan dana pemerintah dapat dimanfaatkan dengan efektif dan efisien, tidak lagi terjadi kebocoran dana dan inkonsistensi dalam kebijakan.

Sebenarnya sudah banyak yang dilakukan pemerintah untuk pemanfaatan sel surya, yang sudah menghabiskan banyak dana dan upaya selama ini, tetapi belum berhasil seperti yang direncanakan. Ke depan diperlukan komitmen yang lebih kuat dan fokus dari semua pemangku kepentingan.

Komitmen pemerintah terhadap pembangunan dan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya panel surya sudah dimulai kembali.  Ini terlihat pada Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo sebagai Ketua DEN pada 25 Februari 2015,

Presiden menginstruksikan untuk memasang panel surya pada rooftop istana, yang akan diikuti pemasangan pada semua kantor pemerintahan, rumah dinas, dan seluruh penerangan jalan. Tujuannya tentu saja adalah untuk sosialisasi dan sekaligus menimbulkan kebutuhan (pasar) domestik sehingga industri PV bisa berkembang lebih cepat di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar