Selasa, 26 Mei 2015

Melawan Suap Politik dalam Pilkada

Melawan Suap Politik dalam Pilkada

Abhan Misbah ;  Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 25 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
TAHUN 2015 merupakan tahap pertama pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak. Dikatakan tahap pertama karena ada tahap-tahap berikutnya sampai dengan diadakannya pilkada serentak secara nasional tahun 2027. Namun ada satu hal yang menjadi kekhawatiran beberapa pihak, termasuk pengawas pemilihan, yaitu ketiadaan sanksi hukum bagi praktik suap politik, yang populer disebut politik uang atau money politics, dalam UU Pilkada.

Memang terdapat larangan bagi partai politik menerima imbalan pada proses pencalonan, yang sering disebut “mahar”. Sebaliknya, tiap orang juga dilarang memberi ìmaharî kepada partai politik. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 47 UU Nomor 1 Tahun 2015. Selain itu Pasal 73 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 menyebutkan ”calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih”. Yang jadi persoalan adalah ketiadaan sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 47 dan Pasal 73 Ayat (1) tersebut. Secara sepintas bisa disimpulkan tidak ada hukuman bagi mereka yang melakukan suap politik pada pilkada nanti.

Berkaca pada pengalaman-pengalaman pilkada lalu atau pemilu, tidak satu pun yang bebas dari praktik suap politik. Ini bisa kita mencermati dari sengketa pilkada yang diputuskan Mahkamah Konstitusi, setidak-tidaknya dari beberapa sengketa pilkada di wilayah Jawa Tengah tahun 2010-2012. Dari sejumlah sengketa tersebut, salah satu alasan yang digunakan tiap pemohon adalah praktik suap politik atau politik uang. Terkait dengan kekosongan aturan sanksi bagi praktik politik uang, sebenarnya terdapat asas dalam ilmu hukum lex specialis derogate legi generalis, yaitu hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Bila hukum yang khusus tidak mengatur maka berlakulah hukum yang lebih umum tersebut. Dalam konteks ini, saya menilai UU Pilkada merupakan ketentuan khusus dari KUHP mengingat UU Pilkada di dalamnya juga mengatur tentang ketentuan pidana. Ketika UU Pilkada tidak mengatur tentang sanksi suap politik maka sesuai dengan penerapan asas tersebut, kita bisa merujuk KUHP.

Pasal 149 Ayat (1) KUHP menyebutkan, ”barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.” Adapun Pasal 149 ayat (2) KUHP menyebutkan, ìpidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.î Jika Pasal 149 Ayat (1) menjerat pemberi maka ketentuan Pasal 149 Ayat (2) menjerat penerima.

Padahal ketentuan yang menjerat penerima itu justru tidak pernah ada dalam perundang-undangan pemilu. Jadi meskipun dalam UU Pilkada tidak diatur tentang praktik politik uang, ketentuan dalam KUHP sebenarnya dapat digunakan untuk menjerat siapa saja yang melakukan dalam pilkada saat ini. Dengan demikian masih ada upaya bagi kita untuk menyelamatkan pilkada dari praktik suap politik. Meskipun sejatinya untuk larangan memberi atau menerima ìmaharî tetap terdapat kekosongan sanksi pidana.

Kekosongan Sanksi
Namun konsekuensi dari penggunaan KUHP adalah tiap laporan/temuan terkait dengan praktik suap politik mesti dilaporkan langsung ke polisi dan penanganannya berpedoman pada KUHAP.

Hal ini berbeda dari ketentuan pidana praktik suap politik yang diatur dalam UU Pilkada, yang penanganannya dilakukan terlebih dulu oleh pengawas pemilihan. Permasalahannya, apakah aparat kepolisian mengetahui perihal kekosongan sanksi pidana bagi praktik suap politik dalam UU Pilkada? Jika telah mengetahui, apakah mau menerima dan menerapkan asas lex specialis derogate legi generalis dan menindak pelaku suap politik? Berkait persoalan itu, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan pengawas pemilihan. Pertama; menjelaskan kepada masyarakat perihal kekosongan sanksi pidana bagi praktik suap politik dalam UU Pilkada.

Ini perlu dilakukan agar masyarakat tidak menyalahkan pengawas pemilu ketika tidak bisa menindaklanjuti laporan. Kedua; berkoordinasi dengan polisi sedini mungkin dan secara intensif mendorong penggunaan KUHP untuk enindak praktik suap politik dalam pilkada. Ketiga; mengarahkan pelapor dugaan praktik suap politik untuk melapor ke polisi dan membantu polisi untuk menindaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar