Selasa, 26 Mei 2015

Memberantas Mafia Peredaran Beras Sintetis

Memberantas Mafia Peredaran Beras Sintetis

Agust Riewanto  ;  Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA, 26 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
AKHIR-AKHIR ini, publik dikejutkan dan diresahkan dengan beredarnya beras sintetis berbahan plastik di pasaran. Dari aspek ekonomi, munculnya produk beras berbahan plastik itu sulit diterima akal sehat karena harga bahan plastik jauh lebih mahal daripada harga beras. Karena itu, kemunculan peredaran beras sintetis berbahan plastik merupakan bentuk sabotase. (Media Indonesia, 24/5). Tiga model logika ekonomi-politik praktis berikut ini akan menjelaskan secara lebih mendalam tentang peredaran beras sintetis sebagai bentuk sabotase.

Ekonomi-politik beras palsu

Pertama, itu merupakan upaya sistematis dari pihak-pihak tertentu untuk mendelegitimasi secara politis program Nawa Cita pemerintahan Jokowi yang menempatkan kedaulatan pangan, kedaulatan energi, dan kedaulatan hukum sebagai penopang utama pemerintahan. Hal itu dapat dibaca dari sikap tegas Jokowi di awal pemerintahannya, yang bercita-cita menolak impor beras dan berusaha untuk berswasembada pangan melalui perluasan lahan pertanian, mempermurah pupuk, memperbaiki jaringan irigasi, dan pemberdayaan petani melalui penggunaan alat-alat pertanian modern.

Dalam upaya kedaulatan energi, Presiden Jokowi telah memerintahkan khusus pada tim reformasi energi pimpinan Faisal Basri dkk dan pembubaran Petral. Begitu pula keberanian pemerintahan Jokowi dalam menolak intervensi asing atas hukuman mati terhadap kejahatan narkoba. Selain itu, kritik pedas Jokowi terhadap ketimpangan ekonomi glo bal akibat kebijakan kapitalisme (World Bank dan IMF) dalam acara memperingati Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung ialah cermin dari upaya penegakan kedaulatan hukum dan ekonomi nasional.

Kedua, cita-cita pemerintahan Jokowi yang hendak berdaulat dalam pangan, energi, dan hukum tentu membuat banyak pihak tak nyaman dan merasa terganggu. Ketidaknyamanan banyak pihak itu hanya bisa diwujudkan dalam bentuk intervensi pada pengalihan isu-isu sensitif agar publik tak mudah percaya pada pemerintah.

Pilihan isu pangan pokok yang berupa munculnya beras palsu berbahan plastik itu jelas bukan atas dasar untuk memperoleh keuntungan bisnis, melainkan atas dasar keuntungan politis jangka panjang yang bertujuan melemahkan pemerintahan Jokowi. Sebab, beras selalu menjadi isu sensitif sepanjang sejarah politik di setiap rezim kekuasaan di negeri ini.

Artinya, siapa yang menguasai isu perberasan nasional, merekalah yang akan mampu menguasai isu politik di negeri ini. Itulah sebabnya, banyak pihak gerah atas sikap tegas Jokowi yang hendak membawa isu beras berupa kedaulatan pangan yang antiimpor. Sejumlah pihak menengarai isu kedaulatan pangan yang diusung Jokowi telah memenangkan kompetisi isu-isu politik strategis di negeri. Itulah alasan utama mengapa banyak pihak yang merasa perlu menghentikan atau setidaknya mengerem rencana kedaulatan pangan dan antiimpor beras dengan memunculkan isu beras palsu berbahan plastik.

Ketiga, gagasan mulia pemerintahan Jokowi untuk kedaulatan pangan yang antiimpor beras itu tentu akan banyak merugikan sejumlah pihak yang selama ini menikmati rente ekonomi atas kebijakan pemerintah sebelumnya (era Soeharto hingga era SBY) yang selalu memperoleh keuntungan ekonomi-politik, bukan saja untuk kepentingan konglome rasi pribadi, melainkan juga untuk konglomerasi kelompok elite tertentu untuk menyokong pembiayaan sirkulasi kekuasaan politik. Itulah sebabnya, Bulog sejak Orde Baru hingga Reformasi selalu menjadi organisasi cadangan pembiayaan politik dari kelompok tertentu.

Di sinilah logika ekonomi-politik praktis muncul. Kebijakan kedaulatan pangan ala pemerintahan Jokowi jelas akan memotong laju pertumbuhan pundi-pundi keuntungan dan gurita ekonomi-politik kelompok importir beras. Kebijakan itu juga akan mematikan secara sistematis usaha-usaha kolaboratif importir beras yang selama ini selalu memperoleh tetesan keuntungan, dari proses perizinan, pengepakan, pengangkutan, hingga calo-calo di setiap rentetan jalan proses impor beras. Karena itu, kelompok tersebut akan berusaha menjegal kebijakan antiimpor beras di era Jokowi dengan cara apa pun untuk memuluskan dan melanggengkan rente dan kartel bisnis mereka.

Tantangan pemerintahan Jokowi

Karena itu, beredarnya beras palsu berbahan plastik belakangan ini bagi pemerintahan Jokowi justru menjadi tantangan tersendiri. Agar tak pernah surut, pemerintahan Jokowi kian masif menyosialisasikan dan menyuarakan secara nyaring dan sistematis kepada publik tentang keseriusan untuk terus berani menegakkan kedaulatan pangan, mewujudkan swasembada beras, dan antiimpor beras. Ketika pemerintahan Jokowi melemah atas beredarnya isu beras palsu tersebut, hal itu justru memperkuat soliditas dan semangat kaum rente ekonomi yang proimpor beras dan antikeadulatan pangan.

Lebih dari itu, beredarnya beras palsu berbahan plastik di pasaran harus dipandang serius karena se cara pelan tapi pasti akan berpotensi menggerus sikap apatis publik pada kemampuan pemerintahan Jokowi dalam merealisasikan citacita kedaulatan pangan, swasembada pangan, dan antiimpor beras.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintahan Jokowi. Pertama, segera memerintahkan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian untuk bekerja sama dengan sejumlah pihak, terutama Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, akademisi, aktivis konsumen, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), untuk membuat tim khusus antimafi a beras agar mengusut munculnya beras palsu itu di pasaran, menemukan pelaku spekulan, serta menyelidiki motif dan tujuannya. Kedua, tim khusus antimafi a beras itu segera bekerja keras agar dapat memulihkan kepercayaan publik dan sekaligus menyudahi keresahan publik akibat isu beras palsu. Itulah sebabnya, tim itu perlu bekerja cepat dan melaporkan secara periodik kepada publik sebagai wujud akuntabilitas.
Hal itu sekaligus sebagai wujud dari kepedulian dan upaya menepis hadirnya isu-isu sensitif publik yang dapat membahayakan stabilitas politik dan keamanan nasional.

Ketiga, perlunya penegakan UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang antara lain bertujuan menjaga kepentingan umum dan efi siensi ekonomi nasional. Maksudnya, hal itu bertujuan agar praktik usaha tidak bertentangan dengan UU Nomor 5 tahun 1999, seperti monopoli, oligopoli, kartel, dan persekongkolan tender, yang menimbulkan persaingan tidak sehat, melemahkan ekonomi pasar, dan menguntungkan pihak tertentu. Selain itu, perlu juga upaya penegakan UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

UU tersebut juga menganut prinsip persaingan usaha yang sehat. Sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 10, pelaku usaha melakukan distribusi barang harus sesuai dengan prinsip-prinsip peraturan per undang-undangan dan etika ekonomi-bisnis dalam rangka tertib usaha. Hal tersebut bertujuan agar dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur dan berkeadilan, serta mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi, dan kemampuan bersaing guna terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Langkah-langkah itu perlu dilakukan pemerintahan Jokowi agar program, ide, dan gagasan kedaulatan pangan, swasembada pangan, dan antiimpor beras dapat terlaksana dengan baik sebagai ciri utama pembeda dari pemerintahan sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar