Selasa, 26 Mei 2015

Mengatasi Derita Rohingya

Mengatasi Derita Rohingya

Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 23 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
PERSOALAN kemanusiaan etnis Rohingya Myanmar kembali muncul ke permukaan menyusul diaspora ribuan warga Rohingya ke sejumlah negara tetangga, terutama Indonesia, Malaysia, dan Thailand dalam beberapa pekan terakhir. Badan Pengunggsi PBB, UNHCR, menyebutkan sedikitnya terdapat 8.000 imigran Rohingya yang sudah meninggalkan Teluk Bengal (Benggala) menuju Malaysia dan Indonesia (SM, 18/5/15). Indonesia sudah menampung 1400 imigran (gelap) Rohingya dalam sepekan terakhir (SM, 17/5/15).

Persoalannya menjadi lebih memprihatinkan lantaran Angkatan Laut (AL) tiga negara anggota ASEAN itu dikabarkan menolak kehadiran mereka. PBB pun menegur pemerintah Malaysia, Indonesia, dan Thailand, serta menggelar pertemuan darurat dengan pejabat tinggi pemerintah dari tiga negara ASEAN itu pada 18 Mei 2015.

Menlu AS John Kerry juga meningkatkan tekanannya terhadap tiga anggota ASEAN tersebut supaya membuka pelabuhan dan menampung kehadiran para pencari suaka warga Rohingya itu.

Karena teguran PBB dan tekanan Washington itu, Menlu Indonesia Retno Marsudi, Menlu Malaysia Anifaf Aman, dan Menlu Thailand Tanasak Patimaprogorn segera menggelar pertemuan segi tiga di Kota Kinabalu pada 20 Mei 2015. Pertemuan itu membahas arus besar pengungsi Rohingya itu, sebagai upaya mengatasi derita dan nestapa mereka.

Setidak-tidaknya perlu memprioritaskan dua tindakan besar untuk mengatasi derita mereka. Pertama; tindakan kemanusiaan. Upaya ini sangat dibutuhkan oleh pengungsi baik yang sudah mendarat maupun yang masih terombang- ambing di laut, berjibaku agar tetap survive di tengah lautan luas. Tindakan ini bermakna, tak ada satu pun dalih yang bisa menjustifikasi negaranegara tertuju menolak kedatangan mereka.

Betapa pun Malaysia misalnya, kabarnya sudah menampung tak kurang dari 120.000 imigran itu sejak warga etnis Rohingya berbondong-bondong meninggalkan Myanmar akibat perlakuan diskriminatif dan represif junta militer pimpinan Thien Shien beberapa tahun belakangan, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menolaknya.

Tidak Berat

Juga meski Panglima TNI Jenderal Moeldoko telah menginstruksikan TNI AL khususnya hanya boleh memberi bantuan makanan dan minuman tapi harus mencegahnya memasuki teritorial RI. Kita harus berprinsip, masalah kemanusiaan dari kebangsaan, kesukuan ataupun kenegaraan mana pun mesti diprioritaskan untuk dibantu sepenuh jiwa dalam upaya-upaya mengatasinya.

Seharusnya kita ingat, pada dekade 1980-an pemerintahan Soeharto sukses memberi kontribusi kemanusiaan secara signifikan dengan menerima, menampung, melindungi, dan membina ribuan pengungsi (manusia perahu) asal Vietnam di Pulau Galang, Riau, sebelum akhirnya memulangkannya secara bertahap dan manusiawi.

Sekarang kita dituntut sanggup mengikuti jejak kesuksesan itu, yaitu dengan tulus menerima sekaligus menampung, melindungi, dan membina ribuan pengungsi etnis Rohingya. Secara sosial, ekonomi, bahkan mungkin keamanan, Indonesia terbebani. Namun, bila benar-benar tulus dan ikhlas melakukannya, beban itu tak terasakan berat.

Kedua; tindakan politik. Tindakan ini perlu dilakukan segera terutama oleh ASEAN mengingat sejauh ini organisasi regional berangggotakan 10 negara Asia Tenggara itu sangat hati-hati menyikapi masalah Rohingya yang berintikan pelanggaran HAM secara berat oleh junta militer Myanmar. ASEAN memilih diplomasi diam-diam mengenai pelanggaran HAM tersebut. ASEAN menganggapnya semata-mata masalah dalam negeri Myanmar yang sangat sensitif untuk dibicarakan secara terbuka dan transparan di forum ASEAN.

Ironis, terkait pelanggaran HAM menyangkut pemimpin oposisi prodemokrasi Aung San Suu Kyi ASEAN cukup aktif berbuat, tetapi menyangkut warga Rohingya yang sudah lama menderita, ASEAN tidak berbuat apa pun untuk meringankan penderitaan mereka. Lebih menyakitkan lagi, dalam Bali Process 2009 ASEAN mengategorikan etnis Rohingya sebagai penjahat transnasional dan penyelundup.

Kini saatnya ASEAN mengakhiri pandangan dan sikap buruknya terhadap derita etnis Rohingya Myanmar, yaitu dengan secara kolektif dan kontinu mendorong junta militer segera mengakhiri represinya terhadap etnis Rohingya yang mayoritas beragama Islam itu. Jika ASEAN tidak melakukannya, dikhawatirkan represivitas itu berlanjut dan ujungnya bisa kontraproduktif bagi pengembangan Komunitas ASEAN 2015. Padahal salah satu pilar pengembangan itu adalah mewujudkan masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera dengan perlakuan dan penghormatan atas keragaman sosial dan budaya tiap anggotanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar