Senin, 25 Mei 2015

Pansel KPK dan Pemberantasan Korupsi

Pansel KPK dan Pemberantasan Korupsi

Zainal Arifin Mochtar  ;  Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada Ketua Pukat Korupsi
MEDIA INDONESIA, 25 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
DALAM beberapa bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami begitu banyak guncangan. Guncangan terhebatnya tentu saja ialah ketika pada akhirnya presiden harus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK akibat adanya pemberhentian sementara. Tentu saja ada potret begitu anehnya proses hukum atas para pemimpin KPK sehingga mengakibatkan mereka berhenti sementara. Akan tetapi, prinsip hukum telah memetakan secara sederhana bahwa posisi tersangka ialah berhenti sementara. Pelaksana tugas pimpinan KPK akan memegang jabatan tersebut hingga akhirnya para komisioner baru dipilih seiring dengan berakhirnya masa jabatan.

Pansel KPK

Untuk itulah, beberapa hari yang lalu Presiden Joko Widodo telah membentuk panitia seleksi (pansel) untuk mengerjakan tugas pemerintah mencari orang-orang terbaik yang akan disodorkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk fit and proper test. Uniknya, presiden memutuskan memilih pansel yang terdiri atas orang yang memiliki kapasitas beragam, dengan kemampuan mumpuni, dan keseluruhan adalah perempuan. Tentu saja, tak ada alasan untuk mempersoalkan segregasi gender antara laki-laki atau perempuan dalam pilihan tersebut. Pembedaan pilihan laki-laki atau perempuan banyak terbangun oleh konsep stereotip yang bisa jadi sangat menyesatkan. Akan tetapi, tentu tetap juga menarik untuk mendapatkan alasan sesungguhnya di balik pilihan tersebut.
Pertanyaan dasarnya tentu saja ialah apa yang sedang ingin dituju Presiden Jokowi dengan memilih para perempuan? Walaupun sekali lagi, tidaklah relevan mempersoalkan perempuan atau laki-laki.

Kembali ke soal pansel, ada juga setidaknya dua kendala yang akan menghadang di awal kerja. Pertama, menyusun agenda kerja. Sedikit banyak, ada kemungkinan gangguan atas pansel dari sisi ritme kerja. Salah satu anggota Pansel KPK sebenarnya juga sedang berjibaku dalam tugas Pansel Komisi Yudisial (KY). Padahal, kedua proses seleksi itu membutuhkan tenaga ekstra oleh karena keduanya menjadi pansel bagi lembaga penting yang hingga saat ini sangat memberikan efek signifikan bagi penegakan hukum di Indonesia. KPK dan KY sudah menjadi lembaga yang memberikan konfigurasi warna dan harapan yang cukup menyenangkan bagi republik ini.

Kendala dobel pansel itu tentu tidak akan menjadi persoalan jika Pansel KPK mampu mengatur jadwal dengan baik sehingga tidak bertabrakan dengan agenda kerja Pansel KY. Artinya, kemampuan pengorganisasian pansel dalam bentuk agenda kerja yang detail dan tak saling silang dengan Pansel KY menjadi salah satu kebutuhan. Meskipun hanya seorang, posisinya tetap dibutuhkan dalam kerja pansel apalagi dalam proses pengambilan keputusan.

Kedua, pansel kali ini memiliki kendala di tingkat ketiadaan orang yang paham `bisnis proses' KPK secara mendetail. Tentu saja kepahaman yang tidak berasal dari sekadar pengetahuan bacaan, tetapi juga melakukan. Makanya, biasanya pilihan pansel melibatkan orang yang paham proses bekerjanya KPK. Pemahaman akan `jeroan' KPK menjadi penting oleh karena yang dituju ialah mengisi jabatan bagi kerja yang akan dilakukan KPK.

Kendala itu pun sesungguhnya tidak akan menjadi persoalan yang berarti apabila pansel mampu dan mau membuka diri untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dan utuh akan isi dalam KPK tersebut, serta mau menerima penjelasan menyeluruh dalam kaitan relasi KPK-kejaksaan dan kepolisian. Kerja-kerja penegak hukum yang spesifik yang biasanya hadir dari pengalaman harus diolah dan dikerjakan dengan serius oleh pansel agar kendala yang kedua tersebut dengan mudah teratasi.

Kerja pansel

Terlepas dari pertanyaan dan kendala di awal tersebut, pilihan dan konfigurasi orang-orang pansel kali ini cukup menarik dan memiliki rekam jejak dan kapasitas yang mumpuni. Tak ada alasan untuk meragukan dan sangsi pada keoptimisan hasil baik yang akan mereka buat. Ada beberapa cara berpikir yang harus bersama diingat agar kerja pansel terhindar dari diskursus menjemukan yang dapat melelahkan pansel dalam bekerja.

Pertama, dalam beberapa pengalaman pansel yang sudah terjadi, terlihat perbedaan mencolok antara `pencari kerja' dan yang benar-benar memiliki kapasitas. Makanya, penyusunan tahapan kerja pansel akan sangat menentukan untuk menyaring kandidat. Tahapan yang pas akan menjadi `ayakan' berguna untuk menyisakan kandidat yang memiliki kapasitas. Pansel harus bertungkus lumus dan berpikir serius tahapan apa yang akan dikedepankan. Apakah penilaian cognitive talent akan dikedepankan?

Kapasitas dan integritas merupakan dua hal yang tak tertawar. Keduanya memiliki muara pelacakan yang berbeda. Sering kali akan menjadi perdebatan manakah yang duluan akan menjadi prioritas dalam memotong jumlah kandidat. Makanya, mereka harus memikirkan serius tools apa saja sesungguhnya yang dipakai dan dapat menjadi ukuran yang berarti dan adil serta bermanfaat untuk benar-benar dapat memotong jumlah kandidat.

Kedua, kesinambungan kerja KPK. Mempertahankan orang lama yang masih berguna bagi KPK cukup baik karena akan berguna bagi kesinambungan kerja. Dalam konsepnya, lembaga negara independen di Amerika dan Filipina, misalnya, cenderung menggunakan model staggered dalam keanggotaan komisi negaranya. Model staggered dianggap sebagai salah cara untuk menjaga ritme dan kesinambungan kerja KPK. Akan tetapi, di tengah tekanan dan tarik menarik antarlembaga negara yang sedang terjadi sekarang, mempertahankan orang lama akan sedikit berisiko karena akan menimbulkan kemungkinan lahirnya kembali konflik yang sudah terbuka saat ini. Pansel sedari awal tentu saja dapat memutuskan untuk menjawab kebutuhan tersebut. Akankah mereka memikirkan kesinambungan atau rekonstruksi keanggotaan?

Ketiga, senantiasa mengingat bahwa proses pansel ialah proses perpanjangan tangan presiden. Setelahnya, mereka akan berhadapan dengan kepentingan politik yang biasanya ramai di fit and proper test DPR. Sedari awal, pansel harus meyakinkan diri untuk menyelesaikan seluruh pilihan terbaik di tahapan pansel. Artinya, pilihan pansel ialah orang-orang yang sudah selesai dan terbaik sehingga preferensi politik kepentingan tidak menjadi penentu akhir.

Andai pansel mampu memilih orang-orang yang telah memiliki kapasitas dan integritas kuat, mau tak mau DPR tak dapat bermain-main dengan pilihan mereka. Siapa pun yang mereka pilih tetap saja ialah orang yang sangat memiliki kapasitas dan integritas tinggi. Artinya, jangan sampai pansel berpikiran menyimpan persoalan tertentu dan membiarkan persoalan tersebut diselesaikan di tahapan selanjutnya, yakni di DPR.

Keempat, proses seleksi yang baik tentu saja ialah proses yang melibatkan partisipasi publik yang luas sehingga dengan hal itu prinsip transparansi dan akuntabilitas publiknya terpenuhi. Prinsip transparansi dan akuntabilitas ini penting karena dengan cara inilah semua tahap seleksi bisa dilihat dan dinilai publik. Dengan demikian, itu dapat mengundang respons positif publik dalam memberikan masukan kepada panitia seleksi atau pejabat yang berwenang.

Selebihnya tentu ialah hal hal yang sudah selayaknya dikerjakan pansel dan karenanya harus didukung dengan kuat. Dukungan itu tentu saja diberikan karena melalui perantara mereka, perbaikan pemberantasan korupsi yang diharapkan bisa diagregasi.

Perbaiki pemberantasan korupsi

Akan tetapi, sesungguhnya ini bukan sekadar persoalan pansel. Setelah memilih pansel, sesungguhnya presiden harus jauh dari perasaan puas diri karena telah melakukan sesuatu yang menarik. Pembentukan Pansel KPK sesungguhnya belum menjawab perbaikan KPK, serta relasi kelembagaan dengan kejaksaan dan kepolisian, apalagi problem penegakan hukum antikorupsi itu sendiri.

Kita harus mengingat kembali dengan detail bahwa kesengkarutan yang ada tidaklah dapat dinisbahkan ke KPK semata, tetapi juga karena hingga saat ini masih minim sodoran formula presiden dalam memperbaiki kejaksaan dan kepolisian. Memperbaiki pemberantasan korupsi tidaklah sama dengan memilih pimpinan KPK. Sebaik apa pun kandidat terpilih di KPK, jika kejaksaan dan kepolisian masih dalam pola dan langgam yang sama, kejadian berhadap hadapan KPK-kepolisian tetap akan sangat mung kin terjadi.

Sentuhan perbaikan bagi kejaksaan dan kepolisian juga menjadi mutlak adanya karena yang kita bicarakan tentu saja pemberantasan korupsi yang salah satu syarat mutlaknya ialah terkoordinasinya dengan baik pola kerja kelembagaan di antara tiga lembaga yang dipercaya untuk bekerja bersama dalam hal penegakan hukum antikorupsi.

KPK merupakan subsistem di dalam sistem pemberantasan korupsi. Masih ada banyak subsistem lainnya yang tentu harus dipoles untuk membangun sistem pemberantasan korupsi yang kuat. Pansel telah ditunjuk untuk melakukan langkah di dalam salah satu subsistem tersebut. Kita juga menunggu sekaligus menagih langkah lain di dalam subsistem lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar