Selasa, 26 Mei 2015

Pansel Pemimpin KPK

Pansel Pemimpin KPK

Saldi Isra  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
KOMPAS, 26 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Setelah menunggu dan melewati perdebatan cukup lama, akhirnya Presiden Joko Widodo menerbitkan keputusan presiden mengenai pembentukan Panitia Seleksi Calon Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Tidak seperti panitia seleksi yang lain, nama-nama mereka yang akan menyeleksi calon pemimpin lembaga anti rasuah ini diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi.

Meski diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi, fokus perhatian sebagian kalangan bukan pada titik ini, melainkan lebih pada pilihan semua nama panitia seleksi (pansel) yang diisi oleh tokoh perempuan. Hampir dapat dipastikan, tidak seorang pun yang menduga bahwa Jokowi akan hadir dengan pilihan yang tentunya dapat dikatakan berada di luar pakem komposisi sebuah panitia seleksi yang biasanya didominasi kaum adam.

Oleh karena itu, dalam batas penalaran yang wajar, tidak terlalu berlebihan seandainya banyak yang terkejut dengan komposisi pilihan ini. Namun, bagi saya, "sembilan srikandi" penentu masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini dapat dikatakan sebagai sebuah pilihan menarik yang disodorkan Presiden Jokowi. Bahkan, merujuk pro-kontra nama-nama yang muncul sebelum pengumuman Jokowi, pilihan ini sekaligus merupakan jalan keluar dari rebutan banyak kepentingan.

Dibandingkan dengan pansel pimpinan KPK yang pernah dibentuk, komposisi saat ini diisi oleh mereka yang memiliki latar belakang dan keilmuan yang sangat beragam. Apabila sebelumnya didominasi oleh mereka yang berasal dari kalangan hukum, baik sebagai praktisi maupun akademisi, Pansel Pimpinan KPK 2015 lebih komprehensif. Komposisi demikian memberikan peluang hadirnya pimpinan KPK dengan latar belakang yang jauh beragam dalam menghadapi tantangan pemberantasan korupsi ke depan.   

Dari berbagai perspektif, Jokowi berupaya memulai proses seleksi calon pimpinan KPK jauh dari pro-kontra. Misalnya, sekiranya memilih nama-nama yang posisi mereka sudah begitu jelas (baik pro maupun kontra) dengan KPK, suasana ini akan terbawa terus sampai pada proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR nantinya. Tentunya akan jauh lebih memicu perdebatan jika semuanya diisi oleh figur yang sikap mereka terkesan sangat memihak KPK atau diisi oleh figur yang semuanya terkesan berseberangan dengan KPK.

Bahkan, dengan alasan untuk menjaga keseimbangan, kalaupun Jokowi berupaya memilih anggota pansel gabungan dari nama-nama yang terkesan sangat memihak KPK dan mereka yang terkesan sangat berseberangan dengan KPK, hampir dapat dipastikan selama bekerja pansel akan dipenuhi sikap pro-kontra. Akibatnya, pansel sulit bekerja secara kondusif dan optimal menemukan figur yang tepat menjadi pemimpin KPK untuk empat tahun ke depan.

Jauh di balik itu semua, Jokowi berupaya menunjukkan kejeliannya dalam mengisi sebuah lembaga yang sejak lama menjadi rebutan banyak kepentingan. Bagaimanapun, bilamana pansel diisi figur yang mengundang pro-kontra, suasana tersebut sangat mungkin memicu pembelahan dukungan kekuatan partai politik DPR. Artinya, dengan diisi nama-nama yang jauh dari sikap pro-kontra, Presiden Jokowi berupaya menghindari kemungkinan adanya pembelahan dukungan terhadap hasil kerja pansel.

Calon terbaik

Melihat komposisi susunan keanggotaannya, salah satu kekuatan pansel sembilan srikandi ini tidak satu pun di antara mereka berasal dari lembaga penegak hukum yang memiliki hubungan dengan KPK. Pengalaman proses seleksi periode tahun 2011, misalnya, anggota pansel disusun dengan mempertimbangkan mereka yang (pernah) berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Karena itu, dalam proses seleksi acap kali terjadi pemeliharaan kepentingan di antara sesama anggota pansel. Meski masih berada dalam rentang kendali sesama anggota pansel, perbedaan institusi tersebut juga menimbulkan pembelahan cara pandang dalam memutuskan calon.

Dengan komposisi saat ini, mereka yang tergabung dalam sembilan srikandi bisa keluar dari jebakan kepentingan institusi asal sebagaimana pengalaman beberapa pansel sebelumnya. Artinya, komposisi Pansel 2015 memberi peluang menghadirkan pemimpin KPK terbaik yang minimal memiliki empat kriteria utama, yaitu integritas (integrity), tak diragukan keberanian memberantas korupsi, kemampuan (capacity), dan mempunyai jiwa kepemimpinan (leadership). Kalau mau ditambahkan, memiliki kemampuan persuasi menghadapi berbagai tekanan kepada KPK.

Paling tidak, dengan komposisi anggota yang berasal dari luar institusi penegak hukum, perdebatan di sekitar keniscayaan adanya representasi calon dari jaksa dan polisi dapat diminimalkan. Merujuk pengalaman menjadi anggota Pansel Pemimpin KPK 2011, pertemuan awal kami hampir saja terjebak dalam pembahasan soal representasi lembaga penegak hukum. Jalan keluar yang disepakati ketika itu, pemilihan calon tidak didasarkan pada asal instansi, tetapi calon terbaik yang memenuhi empat kriteria di atas.

Sekalipun tidak pernah dinyatakan secara eksplisit, kesepakatan pansel tersebut mendapat dukungan dari DPR. Buktinya, walaupun pansel menghasilkan calon yang jika dilacak ke belakang berasal dari kepolisian dan kejaksaan, hasil pemungutan suara di Komisi III DPR, calon yang berasal dari kepolisian tidak terpilih. Dengan melihat proses tersebut, perdebatan ihwal representasi kepolisian dan kejaksaan tidak relevan dibahas dan dibongkar kembali. Sepanjang memenuhi kriteria di atas, asal instansi menjadi tidak penting.

Dalam batas-batas tertentu, isu di sekitar keterwakilan ini perlu menjadi catatan Pansel KPK 2015 karena mulai muncul sejumlah wacana yang dapat berujung pada debat bahwa calon harus ada yang berasal dari polisi dan jaksa. Misalnya, saat merespons Pansel KPK 2015, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti berharap ada bekas polisi yang menjadi pimpinan KPK (Kompas.com, 21/5). Kalau ini tidak disikapi secara benar, pihak kejaksaan sangat mungkin berpandangan yang sama.

Oleh karena itu, sepanjang memenuhi kriteria yang dikemukakan di atas dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, calon pemimpin KPK bisa berasal dari mana saja. Selain itu, pansel jangan terpengaruh dengan psy-war yang berpotensi menghasilkan calon bukan yang terbaik. Misalnya, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso meminta pansel tidak memilih calon yang asal tangkap orang yang dianggap melakukan korupsi (Tempo.com, 24/5). Sekiranya terjebak dengan psy-war seperti ini, sangat mungkin pansel hanya akan menghasilkan calon yang memilih bermain aman (safety player).

Mencari calon

Dalam sebuah proses seleksi, upaya mendapatkan calon terbaik sangat tergantung dari pendaftar (input). Dalam hal mereka yang mengajukan diri untuk mencalon banyak yang memenuhi persyaratan di atas, pansel akan jauh lebih mudah menemukan calon terbaik. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, harapan besar yang ditumpangkan kepada sembilan srikandi untuk menyelamatkan KPK sangat mungkin berujung pada kekecewaan.

Membaca situasi yang menimpa KPK sejak Januari lalu, masalah krusial terbesar di hadapan pansel adalah bagaimana mendorong kalangan yang memiliki komitmen kuat untuk memberantas korupsi ikut mendaftar. Bagaimanapun, kejadian yang menimpa dua unsur pimpinan KPK (Bambang Widjojanto dan Abraham Samad) serta seorang penyidik senior KPK, Novel Baswedan, amat mungkin membuat nyali peminat pimpinan KPK menjadi ciut. Bahkan, berkaca dari pengalaman kriminalisasi KPK, calon yang (pernah) menjadi bagian dari polisi dan jaksa pun sangat mungkin mengurungkan niat mereka.

Apabila dilacak ke belakang, beberapa waktu lalu berbagai pihak berpikir panjang untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin KPK bukan karena proses seleksi di pansel. Beberapa pengalaman yang ada, banyak di antara peminat yang tidak siap menghadapi proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Ketika hantu proses di DPR telah jauh menurun, seleksi pimpinan KPK dihadapkan pada "hantu baru" berupa ancaman kriminalisasi ketika terpilih sebagai komisioner KPK. Bagaimanapun, hantu baru ini pasti lebih menakutkan bagi mereka yang berniat mewakafkan waktunya dalam agenda pemberantasan korupsi.

Mencarikan jalan keluar dari masalah menakutkan ini yang diperlukan lebih dari sekadar pendekatan yang dilakukan pansel. Pengalaman sebagai Pansel Pemimpin KPK 2011, ancaman akan kurangnya pendaftar diatasi dengan pendekatan "jemput bola" bagi calon yang dinilai memenuhi kriteria. Pendekatan ini dilakukan dengan tetap bersandar pada prinsip mereka yang mendaftar dengan cara jemput bola tidak diistimewakan dari calon lain. Bahkan, ketika menjadi Pansel Hakim Konstitusi mencari pengganti Hamdan Zoelva, dibuka kesempatan calon diajukan oleh perseorangan atau organisasi.

Karena hantu baru tersebut lebih serius, secara hukum diperlukan perlindungan bagi pimpinan KPK untuk tidak dikriminalisasi. Artinya, ada semacam jaminan tidak akan diproses hukum karena indikasi tindak pidana yang dilakukan sebelum menjabat sebagai pimpinan KPK. Perlindungan diperlukan agar pengalaman pahit yang menimpa Bambang Widjojanto dan Abraham Samad tidak terulang. Karena hanya ditujukan pada kejadian sebelum menjadi pemimpin, indikasi tindak pidana yang dilakukan selama menjabat tetap tidak kebal proses hukum.

Guna memberikan rasa aman itu, permohonan uji materiil atas Pasal 32 Ayat (1) Huruf dan Pasal 32 Ayat (2) UU No 30/2002 diajukan Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bambang Widjojanto. Dalam permohonannya, Bambang Widjojanto meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 32 Ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945, kecuali frasa "tindak pidana kejahatan" dimaknai terbatas untuk melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, perdagangan  manusia, dan tindak pidana yang terkait dengan kewenangannya yang dilakukan pada masa jabatan.

Seandainya permohonan tersebut diproses lebih cepat dan dikabulkan Mahkamah  Konstitusi, pemegang salah satu kekuasaan kehakiman akan meneruskan dukungannya terhadap KPK dan sekaligus agenda pemberantasan korupsi. Tentunya, ujung dari proses pengujian materiil yang diajukan Bambang Widjojanto ini akan amat membantu sembilan srikandi menemukan pimpinan KPK untuk empat tahun ke depan.

Terlepas dari semua itu, kepercayaan Presiden Jokowi menunjuk pansel dengan komposisi di luar pakem yang pernah ada harus dijawab dengan satu bukti: kemampuan menghasilkan calon pimpinan KPK yang dapat memulihkan harapan kita dalam agenda pemberantasan korupsi. Hal terpenting yang mesti dicatat: masa depan KPK bergantung pada ketepatan pilihan Anda semua. Selamat bekerja sembilan srikandi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar