Jumat, 29 Mei 2015

Penyalahgunaan Kewenangan Pejabat

Penyalahgunaan Kewenangan Pejabat

Widyopramono  ;  Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung
SUARA MERDEKA, 28 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
JUMLAH kasus penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat pemerintahan hingga harus berakhir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terus meningkat, meskipun pemerintah banyak melakukan upaya pencegahan dan penindakan.

Hal ini berbanding lurus dengan tidak tercapainya target Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.

Akhir 2014 IPK Indonesia ditetapkan mencapai skor 5.0, namun hasil survey Transparency International menunjukkan skor 3.4 atau hanya naik 0.2 dibanding tahun 2012 dan 2013. Tidak berlebihan bila korupsi dianggap sebagai extraordinary crime karena dilakukan dengan cara sistematis dan meluas.

Bila tidak cepat diatasi akan berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi, kelangsungan pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu penanganan perkara tindak pidana korupsi memerlukan tindakan hukum luar biasa pula. Data yang dilansir Kemendagri sejak 2005 sampai Agustus 2014, ada 331 kepala daerah/wakil kepala daerah, 3.169 anggota DPRD, dan 1.221 PNS terlibat tindak pidana korupsi.

Data itu belum termasuk jumlah kepala daerah, anggota DPRD dan PNS yang terlibat perkara hukum sejak bergulirnya otonomi daerah yang berlangsung sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999. Kelahiran UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) pada tanggal 17 Oktober 2014 telah menimbulkan kekhawatiran beberapa kalangan.

Regulasi itu akan menjadi momok bagi pemberantasan korupsi, khususnya berkait penerapan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).

Kekhawatiran itu seharusnya tidak perlu terjadi karena penjelasan UU AP menguraikan bahwa regulasi itu menjadi dasar hukum bagi peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Selain itu, sebagai upaya mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Justru kelahiran regulasi itu diharapkan sebagai bagian dari langkah strategis mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi terjadinya korupsi. Dalam perspektif hukum administrasi negara yang menjadi parameter untuk membatasi gerak bebas kewenangan aparatur pemerintahan adalah penyalahgunaan kewenangan dan sewenang-wenang.

Kriteria di areal hukum pidana yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur pemerintahan disebut sebagai melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan. Adapun untuk areal hukum perdata perbuatan melawan hukum disebut wanprestasi.

Orang Tertentu

Pengertian ”penyalahgunaan kewenangan” tidak ditemukan dalam UU PTPK. Namun dalam Pasal 52 KUHP ditemukan uraian ”melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya”.

Dalam perspektif hukum pidana, terutama dalam praktik penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, kewenangan erat hubungannya dengan jabatan atau kedudukan yang dimiliki seseorang. Hal itu berarti subjek hukum hanya berlaku untuk orang tertentu, yaitu yang memiliki jabatan atau kedudukan tertentu.

Indriyanto Seno Adji dalam keterangannya sebagai ahli pada tahap penyidikan perkara tipikor Bibit Slamet Riyanto-Chandra M Hamzah telah menguraikan bahwa menyalahgunakan kewenangan diartikan sedemikian rupa. Pertama; memiliki kewenangan tapi menggunakan kewenangannya lain daripada kewenangan yang ada.

Kedua; tak memiliki kewenangan namun melakukan tindakan seolah-olah memiliki kewenangan. Ketiga; melakukan perbuatan/tindakan dengan menyalahgunakan prosedur untuk mencapai tujuan tertentu. Perbuatan ”menyalahgunakan kewenangan” hanya mungkin terjadi bila memenuhi dua syarat : Pertama; si pembuat yang menyalahgunakan kewenangan berdasarkan kedudukan atau jabatan tertentu memang mempunyai kewenangan dimaksudkan.

Kedua; kedudukan atau jabatan yang mempunyai kewenangan tersebut masih (sedang) dipangku atau dimilikinya. Memperhatikan uraian ”penyalahgunaan kewenangan” dalam perspektif UU AP dan praktik UU PTPK ditemukan ada persamaan di antara keduanya.

Hal sama juga ditemukan dalam putusan MA Nomor 1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Februari 1992. Pertimbangan putusan itu menguraikan pengertian menyalahgunakan kewenangan dengan cara mengambil alih pengertian dalam Pasal 53 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang itu atau detournement de pouvoir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar