Kamis, 28 Mei 2015

Pilkada Serentak (Tidak) Murah?

Pilkada Serentak (Tidak) Murah?

Ikhsan Darmawan  ;  Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
KORAN TEMPO, 27 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Baru-baru ini, sedang hangat dibicarakan di media massa adanya ancaman mundurnya jadwal tahapan pemilihan kepala daerah serentak di sejumlah daerah. Sebab, sampai 18 Mei 2015, terdapat sekitar 184 daerah yang belum menandatangani Naskah Hibah Perjanjian Daerah (NHPD) sebagai syarat pencairan anggaran pilkada. Yang paling ekstrem adalah adanya 16 daerah yang sama sekali belum membahas anggaran pilkada, atau dengan kata lain belum memperoleh persetujuan dari pemerintah daerah dan DPRD.

Terlepas dari persoalan krusial di atas, ada satu hal lain yang menarik didiskusikan, yaitu ihwal anggaran penyelenggaraan pilkada serentak. Hal itu berawal dari logika umum bahwa jika pilkada dilakukan secara serentak di ratusan daerah, tidak hanya akan efisien dalam hal waktu, tapi juga dalam hal anggaran. Namun Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dalam Rapat Koordinasi Nasional Persiapan Pilkada 2015 serentak di Balai Kartini, menyatakan nilai anggaran pilkada diperkirakan mencapai Rp 6,7 triliun untuk 269 daerah. Artinya, Tjahjo berpandangan pilkada serentak (pada 2015) lebih mahal daripada pilkada tidak serentak yang diadakan sebelumnya, yang hanya menelan biaya sekitar Rp 5 triliun (Kompas, 4/5).

Mengapa demikian? Apakah benar biaya yang digelontorkan lebih mahal karena dilakukan serentak, atau ada hal lain yang menyebabkan hal itu terjadi?

Jika kita memeriksa payung hukum pilkada yang berlaku, yakni UU Nomor 8 Tahun 2015, kita akan mengetahui bahwa semangat UU Pilkada sudah cukup bernapaskan penghematan dalam hal anggaran. Di mana saja, unsur keiginan mengetatkan anggaran terlihat pada UU di atas. Pertama, dalam hal perubahan sistem dan penetapan calon terpilih sehingga pemilihan dapat selesai dalam satu putaran. Kedua, aturan dalam perpu tentang tahapan penyelenggaraan pemilihan, yang meliputi tahapan uji publik, dihapus. Ketiga, pemungutan suara secara serentak.

Sayangnya, regulasi yang sudah relatif baik itu tidak didukung oleh hal-hal penting lainnya. Lantas, apa saja faktor yang menjadi biang keladi membengkaknya total anggaran pilkada serentak yang rencananya akan digelar di sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota itu?

Penulis berpendapat ada empat faktor penyebab membuncahnya budget untuk pilkada yang menurut aturan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Faktor pertama dan paling krusial adalah kesalahan menerjemahkan arti kata "serentak". Serentak di sini hanya bermakna digelar pada tanggal yang sama, yaitu 9 Desember 2015. Padahal, serentak juga bermakna pemilu nasional, yaitu memanfaatkan banyak item yang sama, kecuali surat suara. Sudah seharusnya pilkada serentak ketika dilaksanakan di satu provinsi yang sama. Penyelenggara memanfaatkan hal-hal yang sama untuk menekan biaya, seperti panitia pemilihan (KPPS, PPK, dan panitia lain), tempat pemungutan suara, petugas pemutakhiran data pemilih, dan lain-lain.

Faktor kedua, yang berkaitan erat dengan faktor pertama, adalah pengganggaran ganda untuk satu daerah yang sama untuk hal yang semestinya cukup dianggarkan di salah satu wilayah saja. Kemudian, faktor ketiga, adalah aturan teknis di bawah UU yang justru kurang mendukung aspek penghematan yang sudah diangkat oleh UU. Apabila kita memeriksa Lampiran Permendagri Nomor 44 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Dana Kegiatan Pilkada, akan ditemukan banyak hal yang semestinya tidak perlu dicantumkan atau jumlahnya bisa dikurangi. Hal-hal yang dimaksudkan adalah pencetakan kartu pemilih (dan kartu pemilih tambahan), pemeliharaan kantor, pembentukan kelompok kerja, dan biaya-biaya perjalanan dinas.

Kartu pemilih bukan lagi hal yang wajib karena bisa diganti yang lebih hemat, seperti surat undangan biasa seperti dalam pemilu nasional. Begitu pula dengan  pemeliharaan kantor, yang biasanya sudah dianggarkan dalam APBD setiap daerah oleh masing-masing kepala daerah. Sama halnya dengan dua anggaran lain, pembentukan pokja-pokja bisa saja dipertimbangkan untuk ditiadakan. Adapun dana perjalanan dinas tidak harus sampai dihilangkan sama sekali, tapi jumlahnya harus ditekan.

Faktor terakhir, adanya anggaran baru yang ditanggung oleh APBD, padahal sebelumnya ditanggung oleh partai politik dan calon: dana digunakan untuk debat publik terbuka dan bahan kampanye (selebaran pamflet, poster, alat peraga, umbul-umbul, serta sejumlah iklan komersial lainnya). Penulis menilai faktor terakhir agak istimewa karena walaupun di satu sisi memang meski membutuhkan dana yang tidak sedikit, eksistensinya penting untuk menciptakan kondisi yang adil di antara yang satu dan yang lain.

Karena itu, para pembuat kebijakan perlu segera berpikir dan duduk bersama guna mendiskusikan solusi-solusi yang reliable untuk dapat mengejawantahkan pilkada yang tidak boros biaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar