Rabu, 27 Mei 2015

Toleransi dan Penegakan Hukuman

Toleransi dan Penegakan Hukuman

Albert Hasibuan  ;  Anggota Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres) periode 2012-2014
KOMPAS, 27 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Perasaan saya menjadi gembira ketika Inspektur Jenderal Tito Karnavian, dalam dialog Imparsial, berbicara tentang "freedom of speech" atau kebebasan berpendapat yang tak berlaku absolut.

Dengan tema "Penebaran Kebencian, Terorisme, dan Konflik Sosial di Indonesia" Asisten Perencanaan Kepala Polri itu menyatakan bahwa dalam praktiknya ada kelompok yang menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain atau menyebarluaskan diskriminasi (Kompas, 29/4).

"Kebebasan  berpendapat harus menghargai hak orang lain dan tidak membahayakan keamanan nasional atau ketertiban politik," kata Tito.

Di tengah-tengah makin redupnya suara-suara dan keinginan yang mempermasalahkan soal intoleransi, ketidakrukunan, dan diskriminasi dalam kehidupan  masyarakat kita saat ini, pernyataan itu membangkitkan kembali  fokus kita terhadap masalah ini.

Oleh karena itu, menurut saya, sudah waktunya pemerintah untuk menggencarkan lagi praktik-praktik toleransi dan kerukunan serta menindak dengan efektif orang atau kelompok yang menyebarkan kebencian, intoleransi, dan diskriminasi yang melanggar HAM.

Apalagi, salah satu dari sembilan agenda visi dan misi (Nawacita) pemerintahan saat ini adalah "menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara".

Praktik toleransi

Kita ketahui bahwa praktik toleransi dan kerukunan itu mempunyai dasar konstitusional dan HAM, yakni Pasal 28D UUD 1945. Bunyinya  "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Dalam bahasa Inggris disebut "equality before the law and equal protection of law".

Oleh karena prinsip perlakuan dan perlindungan yang sama tertera dalam konstitusi, saya membayangkan kelompok-kelompok tertentu saat ini yang harus meninggalkan tempat kediamannya dan berada di tempat penampungan serta rumah-rumah ibadah yang dirusak, ditutup, dan lain-lain. Semua ini perlu tindakan nyata pemerintah untuk mematuhi konstitusi.

Sudah lama kehidupan kelompok-kelompok tersebut menjadi korban dari rasa kebencian dan diskriminatif dari orang atau kelompok yang tidak menghargai hak orang lain. Mereka ingin kehidupan normal dilengkapi dengan hak dan kewajiban sebagai mana warga lainnya.

Kalau kita berbicara tentang perlindungan HAM khususnya kebebasan berpendapat ini, saya menganggap penting untuk membicarakan lebih dulu pemahaman dasar dari HAM.

Dalam keterikatan

Yang pertama, saya mulai dari pendapat terkenal seorang guru besar hukum Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta, pada zaman kolonial dulu, yakni Prof Dr JHA Logemann. Profesor ini, yang mengajar hukum tata negara dan administrasi negara (staats en administratief recht), menyatakannya sebagai "vrijheid in gebondenheid" (kebebasan dalam keterikatan).

 Pernyataan ini berarti bahwa hak kebebasan itu tidaklah absolut dan tidak dapat berlaku sebebas-bebasnya (istilah populernya "kebablasan"), tetapi selalu terjadi dalam batas-batas keterikatan.

Pemahaman tersebut, menurut pendapat saya, adalah bahwa HAM didasari suatu pengakuan antara (hak dan kewajiban) individu dan kelompoknya di satu pihak dan (hak dan kewajiban) masyarakat atau komunalnya di lain pihak, sehingga terjadi suatu relasi yang erat bahkan mengakibatkan suatu keseimbangan atau "equilibrium".

Oleh karena itu, kita tidak dapat berbicara tentang HAM yang hanya dipunyai seseorang atau kelompok, misalnya, hak untuk menyatakan pendapat, tanpa partisipasi langsung dari masyarakat untuk mengakui dan menghormatinya.

Kalau terjadi penyalahgunaan, misalnya, dengan menyebarkan kebencian dan diskriminasi, seperti dikatakan Tito, maka ada sanksinya. Karena penyalahgunaan hak tersebut adalah pelanggaran hukum dari masyarakat.

Saya menggarisbawahi pernyataannya "harus diingat saat terjadi tindak kekerasan akibat kebencian terhadap perbedaan pandangan dan mengakibatkan kekerasan atau potensi ke arah itu menguat harus ada undang-undang ke arah kepentingan nasional dan publik".

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa HAM dipahami sebagai  satu totalitas dan tidak bisa dipecah-pecah. HAM merupakan kesatuan yang lengkap yang terdiri dari hak dan kewajiban seorang manusia atau kelompok dan masyarakat.

Oleh karena itu, pada akhirnya, hanya ada satu hak, yaitu hak menjadi manusia atau "right to be human" yang lengkap dengan hak dan kewajiban. Dalam konteks pemahaman semua ini saya menggarisbawahi pernyataan dari Tito bahwa "freedom speech" atau kebebasan berpendapat tak berlaku absolut.

Peran pemerintah

Dengan pemikiran ini, saya beralih kepada peranan pemerintah yang merupakan representasi dari penyelenggaraan sehari-hari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mandat utama pemerintah adalah melaksanakan dan melindungi HAM, melayani, menyejahterakan, dan memajukan seluruh kehidupan warga negara Indonesia.

Dasar mandat ini, yang ditegaskan kembali dalam semangat reformasi, adalah pemerintah dengan sendirinya harus melakukan langkah-langkah utama kebijakan dalam melaksanakan dan meningkatkan dan melindungi HAM, dalam hal ini, toleransi dan kerukunan masyarakat, mencegah tindakan intoleransi, ketidakrukunan, serta diskriminasi.

Pemerintah perlu menegaskan komitmennya bahwa keselamatan dan ketenteraman warga negara dari ancaman dan tindakan kekerasan akibat kebebasan pendapat yang tidak bertanggung jawab, menjadi prioritas dalam memberikan perlindungan kepada warga.

Faktor intoleransi

Saya berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab dari keadaan intoleransi dan ketidakrukunan adalah penegakan hukum yang lemah. Kalau kita mengakui bahwa hukum yang adil atau "just law" adalah alat perekayasa sosial dan masyarakat ("law as tool of social engineering"), maka lemahnya penegakan hukum ini akan menganggu hukum merekayasa terjadinya keadilan dan toleransi dalam masyarakat tersebut.

Contohnya, keluhan-keluhan masyarakat bahwa "negara tidak hadir atau absen" dalam kasus- kasus intoleransi dan ketidakrukunan. Serta keluhan tentang terjadi kekerasan dan perusakan tanpa sanksi hukum atau "impunity".

Resonansi dari realisasi langkah-langkah pemerintah tersebut dengan mencegah melalui penegakan hukum yang efektif terhadap kebebasan pendapat yang berisikan penyebaran kebencian dan diskriminasi, akan mampu, secara efektif, memperkuat rasa toleransi dan kerukunan di antara warga masyarakat.

Dengan demikian, hal ini akan menumbuhkan kepercayaan (trust) warga masyarakat kepada pemerintah yang mengayomi sekaligus menyejahterakan dan memajukan rakyatnya tanpa intoleransi, ketidakrukunan dan diskriminasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar