Senin, 29 Juni 2015

Apakah Reshuffle Kabinet Solusi?

Apakah Reshuffle Kabinet Solusi?

  HS Dillon  ;   Ketua MWA-ITB 2004-2006
KORAN TEMPO, 26 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kekurangpuasan terhadap kabinet yang sudah muncul sedari awal kini memperoleh momentum. Berbagai opini masyarakat dijaring untuk menilai menteri-menteri tanpa kriteria yang jelas.

Akhir pekan lalu, Presiden menghimpun laporan hasil kerja menterinya selama enam bulan terakhir dan kabarnya akan mempergunakan empat kriteria yaitu, struktur kelembagaan yang melancarkan pencairan dana, tepat dan sesuai dengan jadwal penerapan program, efektivitas sosialisasi program, serta kemampuan menjual program, dan kemajuan yang telah dicapai kepada masyarakat.

Bagaimana sebenarnya kriteria yang sahih untuk menilai kinerja seorang menteri? Yang paling pertama adalah transparansi tujuan awal pengangkatan (original intent) oleh formatur kabinet maupun partai pengusungnya. Apakah rekam jejak kompetensi, keberpihakan, dan penerimaan masyarakat sudah ditelusuri secara saksama? Sudahkah pemahaman dan kemampuan berperan sebagai anggota tim pembantu mewujudkan visi dan misi Presiden didalami? Bagaimana penguasaannya tentang perihal batasan jangkauan dan bidang singgung portofolionya dengan pemain-pemain lainnya? Turut dinilaikah penguasaan tentang alat-alat kebijakan yang akan didayagunakan untuk mewujudkan tujuan?

Tentunya dalam menilai kinerja harus bisa dipilah faktor-faktor yang sepantasnya dapat dikelola seorang menteri dari faktor yang memang berada di luar jangkauan dan kemampuan sang menteri, tetapi berdampak terhadap kinerjanya. Kisaran ini terbentang mulai dari pelambanan perekonomian global hingga ke tata pemerintahan nasional, mencakup sifat-sifat yang sudah menjadi kultur bahkan natur orang Indonesia, yang tidak dapat diubah dalam tempo singkat.

Kini, Presiden sudah lebih menguasai kompleksitas dan mengakarnya permasalahan yang menghadang, dan memahami bahwa menerbitkan Perpres tidak serta-merta membawa perbaikan; serta menyadari bahwa tekad kuat (political will) harus bermuara pada kemampuan politis (political capacity) agar seorang Presiden dapat secara efektif mewujudkan visi dan misinya selama masa jabatannya. Karena itu, pembentukan kabinet mendatang haruslah merupakan langkah mendasar memantapkan political capacity Presiden Joko Widodo.

Yang ideal, kabinet presidensial disusun berlandaskan penyerasian program-program dari masing-masing partai pendukung ke dalam satu platform kukuh, dan bukan lagi merupakan "fait a compli" calon menteri yang ditodongkan kepada Presiden. Koalisi perlu diingatkan bahwa mereka mendukung capres Joko Widodo karena diperkirakan calon mereka sendiri kurang mampu meraih dukungan pemilih.

Dalam kaitan dengan struktur, karena demikian banyaknya wewenang dan pendanaan sudah dialihkan kepada daerah selama ini, maka sudah tibalah saatnya menuntut tanggung jawab mereka yang sepadan dalam mensejahterakan rakyatnya. Dengan demikian, mungkin kementerian negara atau jumlah kabinet cukup 25. Manakala dirasa perlu, diangkat wakil-wakil menteri yang bukan anggota kabinet. Misalnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dapat membawahkan Wakil Menteri Kebudayaan, Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga, serta Wakil Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi.

Untuk mengefektifkan koordinasi dan menghilangkan kesimpangsiuran, menteri koordinatornya cukup dua. Penyelarasan program serta struktur yang dimaksud sudah mulai dapat dirancang dari sekarang melalui Diskursus Setara dengan para ideolog/pemikir partai masing-masing, memperhatikan pertimbangan dari sosok berpengalaman, seperti Sofjan Effendi, J.B. Kristiadi, Erry Ryana Hardjapamengkas, Maswadi Rauf, dan sekelasnya.

Pembentukan kabinet 2015-2019 harus merupakan landasan operasionalisasi revolusi mental yang meluruskan pemahaman bahwa pejabat adalah abdi rakyat, bukan tuannya. Ini awal koreksi strategi pembangunan agar pembentukan modal terjadi di rumah tangga petani, nelayan, perajin, serta buruh-bukan lagi memusatkan modal di perbankan negara maupun konglomerat.

Sebagai langkah transisi, mungkin sekali ini partai pendukung masih dapat diminta mengajukan tiga calon, termasuk petahana, untuk setiap portofolio yang dibidiknya. Masing-masing calon ditugasi menyiapkan dua halaman yang menampilkan bagaimana dia akan mengoperasikan misi Presiden dalam bidangnya, bekerja sama dengan instansi terkait. Policy brief ini dapat mengungkapkan pemahaman tentang tugas pokok dan memberikan gambaran keluwesan serta keserasian menjadi pemain tim. Penekanan harus tetap diberikan pada jejak rekam keberpihakan, integritas, kompetensi, dan kepercayaan dari masyarakat.

Kalau perlu, melalui kerja sama dengan LAN, dapat diselenggarakan kegiatan semacam "War Games" yang menghadapkan dua tim. Pertama-tama ditugasi menemu-kenali tantangan yang paling menghadang perjalanan bangsa, seperti perubahan iklim, kemiskinan dan kesenjangan, maupun fragmentasi. Kedua tim dibawa retret ke Bogor pada akhir pekan untuk melihat munculnya terobosan menangani tantangan yang dimaksud. Bagaimana mereka memanfaatkan momen perekonomian global yang melamban justru sebagai peluang untuk membangun momentum mentransformasi kelas menengah konsumtif menjadi kelas menengah produktif yang berlandaskan SDM dan SDA (daratan maupun maritim) bernilai-tambah tinggi.

Presiden dapat mengikuti jalannya War Games dari dekat, baik langsung maupun melalui CCTV, bilamana perlu mengajak serta ke Bogor para sesepuh/pengabdi Republik, seperti A.R. Ramli, Soebroto, Saparinah Sadli, Sjafii Maarif, Daoed Joesoef, dan Bambang Hidayat, sebagai teman konsultasi. Dari perangai dan prestasi yang terungkap selama permainan sepantasnya dapat ditemu-kenali kepeloporan dan kepemimpinan para sosok yang mampu menjadi tokoh panutan di dalam proses Nation and Character Building.

Agar reshuffle menjadi langkah menuju solusi, dari sanalah disusun kabinet, berintikan elemen-elemen mengarah ke kutub yang sama, yaitu mulai dikokohkannya landasan Republik yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar