Senin, 29 Juni 2015

Badan Pangan Nasional

Badan Pangan Nasional

  Adhi S Lukman ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Indonesia
KOMPAS, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Gonjang-ganjing harga beras, perlu tidaknya impor, sampai dengan penilaian kinerja Bulog dalam penyerapan beras terus terjadi dan seolah tiada akhir.
Begitu juga fluktuasi harga pangan lainnya, seperti daging sapi, cabai, bawang merah, dan kedelai. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai dari operasi pasar, imbauan, hingga pembenahan manajemen pemantauan seperti dilakukan Kementerian Perdagangan melalui monitor harga pangan pokok harian.

Kompleksitas masalah pangan perlu dibenahi secara terpadu. Kata kuncinya adalah "kewenangan dalam mengoordinasikan kebijakan serta implementasinya" agar kompleksitas masalah itu bisa diatasi.

Sebenarnya UU Pangan-UU No 18/2012 Pasal 126-129-telah mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga ini bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan. Dengan tugas dan kewenangannya yang jelas, lembaga ini diharapkan bisa menjadi komandan dalam koordinasi masalah pangan dari hulu ke hilir, pusat-daerah, sehingga gonjang-ganjing pangan tidak terjadi lagi.

Saat ini pemerintah sedang menyelesaikan peraturan presiden (perpres) terkait pembentukan lembaga dimaksud, yakni Badan Pangan Nasional (BPN). Sebagai turunan dari UU Pangan, BPN dirancang punya fungsi koordinasi, pengkajian, perumusan kebijakan, pembinaan, supervisi dan evaluasi di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, distribusi dan pelembagaan pangan, serta konsumsi dan pengawasan keamanan pangan. BPN juga bisa mengusulkan kepada Presiden agar memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Rekomendasi

Di tengah perbincangan hangat tentang BPN, baik mendukung maupun pesimistis, peran dan fungsi BPN perlu dirumuskan dengan baik. Pertama, pemerintah segera mengesahkan Perpres BPN sesuai amanat UU Pangan. Kedua, untuk melengkapi Perpres BPN, dengan segera diterbitkan perpres tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting agar lebih fokus dan menghindari area abu-abu dalam pengawasan di masyarakat dan pasar.

Ketiga, menata kembali hubungan kerja pemerintah pusat-daerah di bidang pangan, disesuaikan dengan UU Pangan, khususnya pangan pokok, seperti penetapan pangan lokal, sentra produksi pangan lokal, cadangan pangan lokal dan nasional, harga tingkat produsen dan konsumen, pasokan pangan, pajak, serta kewenangan ekspor-impor.

Keempat, merampingkan dan menata kembali/melebur lembaga yang selama ini menangani pangan dan segala aspeknya, seperti Dewan Ketahanan Pangan dan Badan Ketahanan Pangan.

Kelima, menata lembaga bidang pengawasan keamanan pangan, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Karantina Pertanian, dinas kesehatan di daerah, dan pengawasan barang beredar. Saat ini pengawasan terkotak-kotak sesuai kewenangannya, seperti pangan segar oleh Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, pangan olahan UMKM dan jasa boga melalui dinas kesehatan daerah, sedangkan pangan olahan industri menengah besar oleh BPOM.

BPN perlu mengkaji dan menetapkan satu lembaga terpadu pengawasan keamanan pangan, mengingat penetapan dan pengawasan keamanan pangan jadi tugas pemerintah serta jaminan keamanan pangan sulit dibedakan apakah pangan segar atau olahan. Apalagi, dengan perkembangan teknologi, akan kian sulit dibedakan mana yang pangan olahan, mana pangan segar.

Keenam, BPN segera mengevaluasi basis data pangan dan merekonsiliasikan agar kebijakan yang dikeluarkan tepat sasaran. Ketujuh, revitalisasi kebijakan/ regulasi pangan dari hulu ke hilir berbasis data rekonsiliasi.

Kedelapan, bagaimana BPN membangun kepercayaan masyarakat, melalui kebijakan dengan memperhatikan kearifan dan budaya lokal sehingga menjadi lembaga yang kredibel dan bermanfaat. Misalnya, tidak memaksakan pangan pokok beras untuk semua daerah, tetapi disesuaikan dengan potensi dan kebiasaan setempat, seperti Papua/Maluku dengan sagunya, Madura dengan beras jagungnya.

Akhirnya, semua gonjang-ganjing pangan akan sirna dengan adanya BPN yang kredibel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar