Sabtu, 27 Juni 2015

Dana Aspirasi Merusak Tatanan Perencanaan Pembangunan

Dana Aspirasi

Merusak Tatanan Perencanaan Pembangunan

  Deddy S Bratakusumah  ;   Praktisi pemerintahan Widyaiswara Utama di Bappenas; Mantan Deputi Tata Laksana Menteri PAN dan Rebiro Alumnus ATN, ITB, juga University of Miami, dan Cornell University di Amerika Serikat
MEDIA INDONESIA, 25 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ADANYA tuntutan para anggota dewan terkait dengan sistem pendanaan pembangunan daerah pemilihan yang bernama Usulan Program Pengembangan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang belakangan dikenal sebagai `dana aspirasi' telah mendatangkan polemik yang sangat riuh beberapa hari terakhir ini. Andaikata usulan ini disetujui dan diterapkan, akan diperlukan penyesuaian bahkan perubahan dari berbagai peraturan yang terkait dengan perencanaan pembangunan dan penganggaran dalam sistem keuangan negara. Sejauh ini UP2DP tidak dikenal di dalam kaidah peraturan perundangan yang terkait dengan perencanaan pembangunan dan penganggaran yang selama ini diberlakukan.

Berdasarkan ketentuan yang ada, selayaknya berbagai kegiatan yang akan didanai oleh APBN harus tertuang di dalam rencana kerja pemerintah (RKP) tahun yang akan datang. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. Secara rinci di dalam PP itu dikatakan bahwasanya presiden menetapkan rancangan akhir RKP menjadi RKP dengan peraturan presiden paling lambat pertengahan Mei. Selanjutnya RKP yang telah ditetapkan dibahas dengan DPR dan hasilnya digunakan sebagai pedoman penyusunan RUU APBN.

Sementara itu, menurut UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, penyusunan rancangan APBN berpedoman kepada RKP. Adapun RKP, menurut UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional, merupakan penjabaran rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran ekonomi secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKP itu sendiri pada dasarnya merupakan rencana yang akan dilaksanakan oleh tiap-tiap kementerian/lembaga dan ditransfer ke daerah. Semua kegiatan yang dapat dilaksanakan harus memiliki penanggung jawab dan penanggung gugat.

Jadi sangat jelas, tidak ada satu pun kegiatan belanja barang dan belanja modal yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dan akan didanai oleh APBN dapat terwujud tanpa melalui proses penyu sunan RKP. Lebih jauh lag dana dari pusat yang ditranfer ke daerah penyalurannya sudah terstruktur dan terbakukan, sebagaimana diatur dalam UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Penyalurannya dilakukan melalui: (1) dana bagi hasil (DBH), bagi dana yang berasal dari sumber daya alam daerah yang dapat diekspor, (2) dana alokasi umum (DAU), bagi pembiayaan belanja pegawai dan dana block grant yang pengeluarannya didasarkan pada asas otonomi daerah, dan (3) dana alokasi khusus (DAK), dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan program prioritas nasional yang tidak dapa didanai oleh daerah atau sumber dana lainnya.

Dana aspirasi

Menyimak atas berbagai ketentuan peraturan perundangan tersebut, sudah selayaknya apabila `dana aspirasi' ini masuk atau disalurkan ke salah satu kategori dana yang ditransfer dari pusat ke daerah. Kenapa demikian? Karena konon menurut rencananya `dana aspirasi' ini diperuntukkan bagi daerah pemilihan. Dari substansi usulan yang disampaikan oleh DPR, maka wahana penyaluran `dana aspirasi' yang paling tepat ialah melalui dana alokasi khusus.

Dari hakikat berbagai jenis penyaluran dana ke daerah, sebenarnya tidak perlu lagi ada `dana aspirasi', karena berdasarkan ketentuan yang berlaku, sejak awal DPR telah terlibat dalam pembahasan rencana penganggaran yang akan tertuang dalam APBN. Anggota DPR cukup mengawal dan mengamankan bahkan memaksa dianggarkan dalam DAK untuk pelaksanaan program pembangunan yang akan dilakukan di daerah pemilihannya. Toh, yang melaksana kan dan yang mempertanggungjawabkan serta mempertanggunggugatkan program ialah daerah yang bersangkutan sebagai penerima DAK.

Dengan penyaluran melalui DAK, akan lebih jelas daerah penerima dan pelaksananya. Penetapan penerima DAK didasarkan pada wilayah administratif, bukan didasarkan kepada daerah pemilihan (dapil). Karena sebagaimana kita ketahui, sebagian besar dapil (dalam Pemilu 2014 yang lalu) terdiri atas lebih dari satu kabupaten atau kota, bahkan ada yang merupakan sebagian dari suatu kota atau kabupaten.

Dengan demikian, ketentuan konstitusi yang memberikan `hak budget' kepada parlemen sebenarnya telah menyiratkan dan menyuratkan bahwa APBN semestinya sudah merupakan cerminan aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui para anggota DPR sebagai wakil rakyat.

Lebih jauh lagi, ketentuan yang tertuang dalam UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, pada Pasal 80 huruf j sekalipun, bunyinya ialah, `mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan'. Jadi, sebenarnya tidak perlu lagi ada cara penyaluran dana lainnya semacam `dana aspirasi', selain dari wahana-wahana penyaluran dana ke daerah yang telah ada. Para anggota DPR, apabila memang ingin menyalurkan aspirasi para pemilihnya, cukup mengawalnya dalam pembahasan APBN, terutama pembahasan terkait dengan DBH, DAU, dan DAK.

Dana aspirasi, apabila dipaksakan untuk diterapkan, akan merusak tatanan sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan yang sudah berjalan saat ini. Pada gilirannya memerlukan revisi berbagai peraturan perundangan yang terkait, dan ini sangat sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar