Selasa, 30 Juni 2015

Dialog Pemerintah dan Dunia Usaha

Dialog Pemerintah dan Dunia Usaha

  Firmanzah ;   Rektor Universitas Paramadina dan Guru Besar FEUI
KORAN SINDO, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tulisan John McBeth, seorang analis Australia, yang berjudul The Indonesia Economy: Dangers Ahead sangat menarik untuk kita cermati. Tulisan yang dirilis (22/6) di situs Australian Strategic Policy Institute itu menggambarkan sejumlah kondisi dan tantangan perekonomian nasional saat ini.

Kondisi perekonomian nasional memang sedang tidak menggembirakan, khususnya pada sejumlah indikator ekonomi yang menunjukkan tren perlambatan, seperti menurunnya konsumsi domestik yang selama ini menjadi motor utama perekonomian nasional.

Hal ini berakumulasi dan menjadi risiko ketidakpastian yang memukul kepercayaan, baik produsen maupun konsumen seperti yang telah saya sampaikan pada pekan lalu (22/06) dalam tulisan ”Meredam Risiko Ketidakpastian” di koran ini.

Risiko ketidakpastian yang tadinya bersumber dari eksternal, setelah The Fed masih mengulur keputusan menaikkan suku bunga acuan, telah berdampak pada tingkat kepercayaan domestik terhadap prospek perekonomian nasional.
Beberapa sinyal penting untuk segera direspons pemerintah tidak hanya pada ekonomi makro, melainkan juga sejumlah indikator sektor riil. Pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,7% pada triwulan 1 2015, dan menurut saya akan sulit untuk mencapai pertumbuhan 5,7% di tahun ini seperti target APBN-P 2015.

Meski tren perlambatan ekonomi Indonesia sejak triwulan III 2012, yang paling tajam terjadi pada triwulan I 2015, di mana ekonomi hanya tumbuh 4,7%.
Beberapa indikasi semakin terpuruknya perekonomian nasional selain perlambatan dapat dilihat dari kinerja ekonomi triwulan 1 2015 lainnya seperti pelemahan sektor industri, menurunnya pertumbuhan penyaluran kredit perbankan, depresiasi nilai tukar rupiah yang berkepanjangan, masih tertekannya ekspor, tidak optimalnya penerimaan pajak, konsumsi masyarakat yang menurun, dan sebagainya.

Tentunya ini merupakan potret ekonomi yang kurang bersahabat bagi pengelola kebijakan. Tantangan pengelolaan ekonomi negara memang tidak semudah yang dibayangkan. Kompleksitas yang terkandung di dalamnya kerap menyulitkan bagi pemerintah untuk dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkualitas dan inovatif. Namun, perlu dicatat, kita memiliki banyak pengalaman menghadapi berbagai tekanan ekonomi baik eksternal maupun internal sepanjang periode 2008-2012.

Tantangan yang kita hadapi selama kurun waktu tersebut bahkan menurut saya tidak kalah berat dibanding saat ini. Namun, Indonesia mampu melewati gejolak tersebut dan mendapat apresiasi yang besar dari dunia internasional sebagai negara yang mampu memainkan orkestrasi kebijakan ekonomi dengan baik sehingga perekonomian nasional tetap tumbuh kuat dan berkelanjutan. Tidak sedikit negara pada saat itu terus melakukan pendekatan ke Indonesia untuk mendapatkan resep-resep pengelolaan ekonomi yang dilakukan pada saat itu.

Kebijakan yang tepat dan terukur saat itu dirumuskan dengan tetap mempertimbangkan makroprudensial tanpa membahayakan keberlangsungan sektor riil adalah kebijakan yang kita butuhkan sekarang. Setidaknya dua momentum pelajaran berharga dari keberhasilan mengelola risiko ketidakpastian ekonomi, yakni pada 2008 dan 2011. Meski risiko pada kedua momen tersebut memang lebih banyak disebabkan oleh tekanan eksternal, sedangkan saat ini banyak disebabkan oleh tekanan internal, seperti perlambatan konsumsi akibat menurunnya daya beli masyarakat, minimnya serapan belanja pemerintah, dan tidak bergairahnya dunia usaha, keduanya membutuhkan respons kebijakan yang tidak hanya cepat, tetapi juga efektif.

Pemerintah saat ini harus berhadapan dengan dua front sekaligus. Pertama, memitigasi dampak ketidakpastian perekonomian global. Kedua , meningkatkan kepercayaan para pelaku ekonomi tentang prospek ekonomi nasional untuk mencegah semakin memburuknya kondisi perekonomian seperti penutupan fasilitas produksi dan meluasnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibatsemakin lesunya perekonomian dalam negeri.

Belajar dari penanganan krisis 2008 dan 2011, saat itu Indonesia memperkuat koordinasi kebijakan lintas sektoral, koordinasi sektor fiskal-moneter-riil, serta memperkuat komunikasi dengan dunia usaha. Menurut saya, ketiga hal ini perlu segera tercermin dari langkah-langkah strategis pemerintah dan otoritas lain.
Ketidaksinkronan kebijakan lintas sektor harus dihindari agar market dan pelaku ekonomi memahami benar dan bisa mengikuti arah kebijakan pemerintah. Stimulus fiskal yang terarah dan terpadu yang menyasar pada dua sector sekaligus yaitu ke konsumen dan produsen membutuhkan sinkronisasi kebijakan lintas kementerian/lembaga, lintas otoritas, dan kerja sama pusat-daerah. Tanpa adanya keterpaduan, kebijakan yang dihasilkanhanyabersifat sporadis, sehingga tidak banyak membantu untuk keluar dari kondisi saat ini.

Salah satu langkah yang menonjol dan secara intensif dilakukan pemerintah pada penanganan krisis 2008 dan 2011 yakni dialog dan koordinasi dengan dunia usaha. Hal ini dimaksudkan tidak hanya untuk mendapatkan masukan- masukan dari dunia usaha, melainkan juga digunakan sebagai media untuk mengajak dunia usaha bersama-sama pemerintah dalam mengatasi krisis pada saat itu.

Lebih spesifik lagi, pemerintah pada saat itu meminta dunia usaha untuk tidak panik dan tidak melakukan aksi-aksi korporasi yang justru semakin menekan ekonomi nasional. Kita tentu ingat dalam banyak kesempatan pemerintah bersama dunia usaha yang diwakili sejumlah organisasi seperti Kadin, Apindo, dan asosiasi lainnya terus berkoordinasi merespons sejumlah perkembangan ekonomi global dari hari ke hari. Ini berbuah positif dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang berhasil mengelola risiko pada saat itu.

Berkaca pada pengalaman tersebut, Presiden Jokowi dan pemerintahan saat ini perlu kembali menggalakkan dialog ini, khususnya di tengah terjadinya pelemahan daya beli masyarakat, penurunan kinerja dunia usaha (perbankan, industri manufaktur, UMKM, dan sebagainya), dan tekanan berkepanjangan pada pasar modal dan pasar uang yang terus terjadi. Dunia usaha merupakan salah satu elemen yang berpotensi besar membantu pemerintah dalam mengakselerasi sejumlah kebijakan strategis yang dapat menjadi solusi pengelolaan ekonomi nasional. Koordinasi dan ruang dialog bersama dunia usaha perlu untuk terus diperkuat dan diperluas agar kebijakan Presiden Jokowi di sektor ekonomi dapat berjalan optimal.

Risiko pada tahun 2015 ini perlu dicermati dan diwaspadai karena telah mengganggu daya beli masyarakat yang selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan perekonomian nasional. Menjaga daya beli masyarakat menurut saya adalah hal urgen yang perlu dilakukan pemerintah saat ini. Salah satu upaya tersebut adalah membangun dialog dan koordinasi bersama dunia usaha dengan tujuan agar dunia usaha dapat berperan aktif seperti menahan diri untuk tidak melalukan PHK dalam waktu dekat, mempertahankan aktivitas usahanya, bahkan mendorong investasi dalam negeri, serta meningkatkan partisipasinya dalam sejumlah proyek pembangunan yang telah dicanangkan. Dengan langkah-langkah ini kita berharap tidak terjadi bencana ekonomi yang lebih dalam akibat lesunya kondisi ekonomi yang tengah kita hadapi saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar