Sabtu, 27 Juni 2015

Kegalauan Reshuffle Kabinet

Kegalauan Reshuffle Kabinet

  Suyatno  ;   Dosen FISIP Universitas Terbuka
MEDIA INDONESIA, 26 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KINERJA pemerintah dan sejumlah menterinya dalam beberapa waktu terakhir mendapat sorotan. Sinyalemen perombakan Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam enam bulan pertama timbul dan tenggelam. Perombakan atau reshuffle kabinet dinilai menjadi kegalauan dalam perdebatan guna memperbaiki kinerja pemerintah.

Sejumlah fenomena menyebabkan isu perombakan kabinet itu mengemuka. Hasil survei Poltracking beberapa waktu lalu menunjukkan sebanyak 36% responden menyatakan setuju apabila perombakan kabinet tersebut dilakukan. Sebanyak 5,8% responden lain menyatakan sangat setuju. Hanya 24,1% responden yang kurang setuju dan 3,9% sangat tidak setuju. Sisanya, sebanyak 30,2% responden mengaku tidak tahu atau tidak menjawab.

Dari hasil survei tersebut, 66% responden paling tidak puas dengan kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Demikian juga sebanyak 55% publik juga tidak puas dengan kinerja di bidang hukum dan pemberantasan korupsi. Selain mempertimbangkan aspirasi publik dari hasil survei, mekanisme untuk menilai kinerja menteri-menteri Presiden Jokowi diharapkan mampu memotret dan menjadi dasar perbaikan kinerja kabinet. Selain itu, pertimbangan secara politik tak bisa dihindarkan oleh Presiden. Pasalnya, pemilihan menteri juga dilakukan berdasarkan usulan partai pendukung.

Memang Presiden Joko Widodo pada pertengahan bulan ini melakukan evaluasi kinerja enam bulanan terhadap para menteri Kabinet Kerja. Para menteri diminta menyampaikan laporan realisasi program mulai November 2014 sampai April 2015. Jokowi mengakui ada menteri yang masih memiliki kinerja buruk. 

Pengakuan Jokowi itu ditafsirkan publik bahwa perombakan kabinet tinggal menunggu waktu. Namun, Jokowi buru-buru mengingatkan semua pihak agar tidak mengganggu kinerja kabinet dengan melemparkan isu perombakan (Media Indonesia, 25/06/15). Pasalnya, merombak atau mempertahankan susunan kabinet memang menjadi hak prerogatif Presiden.

Makna evaluasi

Kita dapat menarik sejumlah makna rencana evaluasi presiden terhadap para menterinya. Makna itu bisa berlaku satu, dua, atau seluruhnya. Evaluasi mungkin saja dilakukan karena memang ada kinerja menteri yang belum sesuai dengan keinginan presiden selaku kepala eksekutif. Visi, misi, dan program dari sejumlah menteri kurang terdengar dan dirasakan oleh masyarakat dalam mewujudkan Nawa Cita Presiden Jokowi.

Bisa juga evaluasi muncul akibat tuntutan masyarakat, elite politik, dan publik agar ada peningkatan kerja kabinet yang sampai saat ini dinilai masih belum terasa. Oleh karena itu, muncul wacana pergantian sejumlah menteri yang dinilai tidak memiliki kinerja yang baik. Selain itu, perombakan kabinet berguna untuk lebih memantapkan dukungan politik dari pengusung dan pendukungnya. 
Pertimbangan perubahan susunan kabinet lebih condong pada mengingatkan teman koalisi tentang dukungan para kader yang duduk sebagai menteri agar menopang performa pemerintah.

Itu semua tentu menunjukkan kehati-hatian presiden. Presiden tidak ingin gegabah dalam mengevaluasi para menterinya. Presiden sedang mengumpulkan bahan untuk mengevaluasi kinerja menterinya. Berikutnya, presiden akan memberikan kejelasan apakah menteri tersebut layak dievaluasi atau bahkan lantas diganti.

Potensi reshuffle

Dalam sistem presidensial, presiden sebagai kepala eksekutif memang sangat berhak untuk mengevaluasi atau mengganti para menterinya. Reshuffle kabinet, kendati hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan dan hak prerogatif presiden, merupakan langkah untuk mengevaluasi kinerja kabinet. Presiden juga harus mempertimbangkan hak prerogatifnya dalam memilih menteri yang di-reshuffle. Kalau memang merasa tidak puas dengan kinerja menteri, itu hak prerogatif presiden.

Bila reshuffle harus terjadi, presiden tidak boleh meninggalkan sejumlah perhitungan tentang dampak yang dapat ditimbulkan. Ada tiga elemen yang bermain dalam reshuffle, yaitu politisi, publik, dan pasar (Piliang: 2005). Presiden Jokowi dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu apakah akan mendahulukan satu elemen, dua elemen, atau ketiganya sekaligus.

Jika Presiden Jokowi mendahulukan kepentingan politisi, berarti masalah reshuffle lebih disebabkan pertimbangan politik. Secara implisit, Presiden Jokowi mengakui betapa lemahnya sistem kabinet presidensial dan rentannya proses pemilihan langsung sebagai ukuran tertinggi dalam demokrasi. Legitimasi yang diperoleh dalam pemilu tidak menjadi faktor determinan yang menentukan karena masih menghadapi kurungan politik parpol.

Sementara itu, jika Presiden mengikuti kehendak pasar, evaluasi dan penyusunan kabinet lebih tampak sebagai upaya memadamkan kebakaran ketimbang memperbaiki keadaan. Padahal, pasar tidak bebas nilai. Pelaku pasar di Indonesia masih terlihat amat pragmatis dan oportunis. Dari segi politik, pasar di Indonesia juga berarti makhluk politik dan bukan manusia-manusia yang berumah di atas angin.

Karena itu, pilihan terakhir reshuffle kabinet patut ditolehkan kepada publik. Pertanyaannya, publik yang mana? Jawabannya ialah publik yang benar-benar menderita. Publik yang betul-betul merindukan harapan masa kini dan masa depan karena tidak punya uang untuk makan, menyekolahkan anak, tidak memiliki kesempatan, dan fasilitas untuk bekerja.

Pilihan

Sistem yang dibangun saat ini sebenarnya presidensial yang sudah kuat. Legitimasi presiden sebagai hasil pemilu langsung sangat kuat. Pertanggungjawabannya ialah kepada rakyat. Pemberi suara itulah yang harusnya disuguhi hasil kinerja. Pasalnya, merekalah yang memberi mandat dan menilai. Karena itu, presiden harus membuat tim solid untuk bisa bekerja bagi mereka.

Dengan logika seperti itu, pertimbangan utama presiden dalam menunjuk menterimenterinya ialah timnya harus bekerja untuk rakyat. Persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini harus dapat diatasi menjadi dan menjadi target utama. Eksekutif ialah pelaksana undang-undang yang dibuat rakyat melalui para wakilnya. Kewenangan dan tanggung jawab itu melekat pada presiden dan para pembantunya.

Pertaruhan presiden dalam membentuk kabinet ialah kredibilitasnya di mata rakyat. Itu bisa tergadaikan jika kinerja menteri tidak optimal. Lantas, apakah ada jaminan bahwa seluruh kekuatan politik yang dilibatkan akan senantiasa berada di belakangnya?

Menentukan pilihan mungkin memang sulit bagi presiden. Mengabaikan kekuatan politik yang ada untuk mempertahankan kabinet bisa merecoki kinerja kabinet. Namun, yang paling tidak mungkin ialah mengabaikan kepentingan dan persoalan yang dihadapi rakyat. Karena itu, jalan tengah bisa menjadi pilihan.

Akomodasi bagi ide evaluasi ataupun reshuffle harus diikuti dengan syarat ada jaminan peningkatan kompetensi dan kinerja di bidang kementerian yang akan ditangani. Meski evaluasi atau perombakan kabinet berada penuh di tangan presiden, kesadaran sejumlah elite parpol dan publik sangat penting. Mereka pemegang amanah dari rakyat untuk menempatkan kepentingan rakyat di tempat yang tertinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar