Selasa, 30 Juni 2015

Kesetaraan dalam Desentralisasi Pendidikan Kita

Kesetaraan dalam Desentralisasi Pendidikan Kita

  Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEBIJAKAN wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK patut diapresiasi semua pihak. Meskipun angka partisipasi kasar menunjukkan kemajuan yang berarti serta mendukung dilakukannya kebijakan wajib belajar 12 tahun, dalam banyak hal, pemerintah tetap harus dikritisi secara cerdas. Terutama berkaitan dengan aspek desentralisasi pendidikan kita yang masih amburadul di tingkat lokal dan pusat. Belum lagi jika kita lihat tidak seimbangnya jumlah lembaga pendidikan dasar dan menengah serta peran penting sekolah swasta yang selama ini belum diperhatikan secara baik. Itu pasti akan membawa implikasi yang tidak mudah bagi kebijakan baru tersebut.

Lima indikator

Péter Radó dalam Governing Decentralized Education Systems: Systemic Change in South Eastern Europe (2010) setidaknya mengingatkan lima hal yang harus secara terusmenerus dilakukan pemerintah untuk menjaga sebuah kebijakan pendidikan. Pertama ialah membenahi aspek manajemen pendidikan terutama yang berkaitan dengan aspek pembiayaan dan relasi sumber daya pusat dan daerah. Sudah banyak sekali kajian yang menyebutkan bahwa skema pembiayaan pendidikan melalui penyaluran dana BOS rentan sekali untuk dimanupulasi karena tidak didukung kualitas sumber daya pendidikan yang tidak merata, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Kedua ialah masalah kurikulum yang hingga saat ini belum dimatangkan secara operasional. Ambiguitas para guru, kepala sekolah, dan pengawas dalam melakukan evaluasi pendidikan jelas menjadi terganggu karena kebijakan soal kurikulum masih menggantung antara KTSP dan K-13.Jika terus dibiarkan, situasi itu akan berimplikasi secara serius dalam proses belajar mengajar di ruang kelas. Padahal, jika kebijakan kurikulum itu seiring sejalan dengan kebijakan pembiayaan pendidikan, yaitu sekolah diberikan keleluasaan yang besar dalam mendesain dan mengimplementasikan kurikulum sebagaimana tertera dalam kebijakan KTSP, setidaknya itu akan membantu sekolah untuk belajar secara mandiri.

Ketiga, pemerintah harus terus meningkatkan kualitas evaluasi pendidikan secara mikro dan makro. Evaluasi pendidikan bukan hanya menyangkut hal teknis tentang bagaimana evaluasi dilakukan terhadap siswa, seperti ujian nasional, melainkan juga penting untuk membuat lembaga-lembaga independen yang mampu mengevaluasi kinerja guru, kepala sekolah, pengawas, dan komite sekolah secara terus-menerus. Sejak lama saya membayangkan seharusnya lembaga sejenis BNSP bukan hanya ada di tingkat pusat, melainkan juga ada di tingkat provinsi serta kabupaten/kota. Seluruh perguruan tinggi negeri juga harus menjadi pioner dalam menyelenggarakan evaluasi pendidikan secara bermartabat dan bertanggung jawab.

Lembaga-lembaga independen jenis itu merupakan prasyarat keempat dalam proses desentralisasi pendidikan kita yang tidak pernah digarap secara serius. Bahkan, pemisahan pendidikan tinggi dan kementerian akan semakin mengecilkan harapan kita bahwa ada lembaga profesional dan independen yang akan mengawal proses manajemen kependidikan di seluruh level dan jenjang pendidikan.

Indikator kelima yang juga penting dalam menjaga proses desentralisasi pendidikan secara benar ialah kepastian sebuah kebijakan dijalankan secara benar oleh para pelaku pendidikan di tingkat lokal. Misalnya, teramat penting bagi pemerintah untuk membuat platform pendidikan agar da pat dijalankan secara serius selama minimal empat tahun, sebelum diubah berdasarkan hasil evaluasi dan kajian yang serius, seperti perubahan kurikulum dari waktu ke waktu.Kita harus belajar dari Finlandia dalam melakukan hal itu. Mereka mempunyai kesekapatan evaluasi terhadap kebijakan kurikulum dilakukan setiap empat tahun sekali, dari jenjang pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi.

Tidak adanya kajian yang serius terhadap kelima indikator desentralisasi pendidikan itulah yang menyebabkan kita kesulitan menunjukkan bukti kesetaraan dalam pendidikan. Padahal, sejatinya, kesetaraan dalam pendidikan merupakan fitrah yang secara normatif, bahkan telah dimuat secara kasatmata dalam UUD 1945. Sesungguhnya kesetaraan bukan hanya berorientasi kepada akses dan partisipasi semata. Kesetaraan (equality) bukan saja harus dilihat dari tujuan dan proses pendidikan semata, melainkan juga harus mem pertimbangkan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama. Hanya dengan cara pandang seperti itulah kemudian kita dapat merumuskan gagasan tentang kesetaraan kondisi (equality of condition) sebagai pendekatan dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang pro pada kebutuhan publik.

Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action memberi banyak inspirasi dalam menafsirkan makna kesetaraan. Baginya, kesetaraan kondisi (equality of condition) jauh lebih penting daripada kesetaraan dalam konteks akses dan partisipasi. Dalam kesetaraan kondisi (equality of condition), kita berfokus bukan hanya terhadap tujuan dan proses (purposes and process) pendidikan itu sendiri, melainkan juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap sumber daya (equality of resources), kesetaraan dalam pengakuan dan penghargaan (respect and recognition), kesetaraan dalam kekuasaan (equality of power), dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas serta cinta (love, care and solidarity). Semua jenis kesetaraan itu jelas membutuhkan kecerdasan birokrasi pendidikan untuk dapat direalisasikan.

Kesetaraan sumber daya harus dibuktikan dengan penciptaan sistem pendidikan yang lebih terbuka dan nondiskriminatif, sedangkan kesetaraan dalam pengakuan dan respek harus diciptakan bukan hanya dengan membangun budaya sekolah yang menghargai perbedaan, melainkan juga harus diekspresikan secara tertulis dalam skema pedagogis dan kurikulum yang memadai.

Sementara itu, kesetaraan kekuasaan harus dilihat dalam relasi guru dengan 
siswa yang semakin peduli dengan proses belajar mengajar yang demokratis sehingga implikasi dari pandangan itu akan membawa keterbukaan pandangan untuk saling menghargai posisi dan peran masing-masing. Demokratisasi dalam dunia pendidikan merupakan ruang segar yang harus diciptakan sehingga antara siswa dan guru memiliki kebebasan untuk menyatakan perasaan dan pendapat mereka. Dalam konteks itu, kesetaraan kondisi-kondisi tersebut penting untuk dilakukan terlebih dahulu oleh penyelenggara pendidikan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar