Jumat, 26 Juni 2015

Membatasi Kewenangan Wakil Presiden

Membatasi Kewenangan Wakil Presiden

  Feri Amsari,  ;   Dosen Hukum Tata Negara; Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
KORAN TEMPO, 23 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Wakil Presiden Jusuf Kalla diduga berperan dalam kasus korupsi jual-beli kondensat antara SKK Migas dan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Dugaan itu terkait dengan peran Kalla dalam memberi perintah agar proses penjualan kondensat tersebut terjadi.

Jika dugaan itu benar, Wapres telah bertindak sebagai penentu arah kebijakan strategis pemerintah. Melihat kewenangan Wapres yang kuat itu dalam praktek penyelenggaraan negara, ternyata terdapat dua "tongkat komando" pemerintahan. Lalu bagaimana jika dua tongkat komando pemerintahan itu menunjuk ke dua arah yang berbeda?

Dalam praktek sistem presidensial di Amerika, perintah hanya berasal dari komando tunggal, yaitu presiden. Posisi wakil presiden dalam sistem presidensial dirancang seperti fungsi "ban cadangan" jabatan presiden. Apabila konstitusi dan presiden tidak memberi perintah, wapres sama sekali tidak berwenang menentukan kebijakan dan/atau bertindak atas nama pemerintah.

Sebagai tempat lahirnya sistem presidensial, wapres di Amerika hanya bertugas menjalankan fungsi seremonial semata. Setidaknya terdapat tiga tugas seremonial wapres: (a) sebagai Ketua Senat yang memimpin sidang kamar tinggi lembaga legislatif tanpa punya hak suara; (b) mengumumkan pemenang pemilu presiden di hadapan sidang Senat (DPD) dan House of Representative (DPR); (c) mewakili presiden dalam acara kenegaraan atas perintah presiden.

Menurut Roger Sherman, tanpa tugas-tugas seremonial tersebut, wapres tidak memiliki "pekerjaan lain" (Mark O Hatfield, 1997). Berdasarkan penjelasan mengenai tugas dan kewenangan wapres di atas, bisa disimpulkan bahwa perannya dalam kehidupan ketatanegaraan sangat pasif. Wapres hanya menunggu perintah konstitusi dan presiden. Selebihnya, ia harus "diam". Lalu, apakah posisi wapres di Indonesia berbeda dengan yang diterapkan sistem presidensial di Amerika?

Menurut ketentuan Pasal 4 ayat 2 UUD 1945, dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh seorang wapres. Ketentuan ini mempertegas posisi wapres sebagai pembantu presiden. Meski sama-sama pembantu presiden, jabatan wapres tidak dapat disejajarkan dengan menteri dalam kabinet. Sekalipun memiliki kewenangan yang pasif, wapres berkedudukan lebih tinggi daripada menteri karena ia merupakan cadangan presiden.

Meski para menteri kabinet memiliki kewenangan yang terang dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Kementerian Negara, wapres tetap harus dianggap sebagai pemimpin para menteri yang tidak dapat memberi perintah karena jabatannya hanya bersifat seremonial. Artinya, sebagai pembantu presiden, wapres adalah pembantu non-job (tanpa kerja). Itu sebabnya, dalam Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara UUD 1945, tidak terdapat satu pun pasal yang mengatur kewenangan wapres. Semua kewenangan berada di tangan presiden.

Wapres juga bukan pemberi nasihat ataupun masukan kepada presiden. Sebab, berdasarkan Pasal 16 UUD 1945, tugas itu dilaksanakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Ketentuan-ketentuan konstitusi di atas mempertegas bahwa kekuasaan pemerintahan negara berada di tangan presiden semata. Kewenangan pemerintah hanya dapat diberikan kepada wapres apabila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya selama masa jabatannya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 1 UUD 1945.

Posisi wapres yang begitu pasif, yang sekadar pilihan antisipasi terhadap potensi kekosongan kekuasaan, merupakan modifikasi dari sistem kerajaan. Jika seorang raja mangkat, yang menggantikan adalah keturunan sang raja. Dalam sejarah pembentukan sistem presidensial di Amerika, negara itu menentang konsep pengkultusan terhadap keturunan para raja. Itu sebabnya, untuk mengisi kekosongan yang potensial terjadi jika presiden mangkat atau berhalangan tetap, jabatan wapres dianggap perlu dimunculkan.

Para pendiri bangsa Indonesia juga menentang penggunaan sistem kerajaan dan memilih sistem presidensial. Walhasil, sejak awal, jabatan wapres di Indonesia memang hanyalah posisi pasif yang disiapkan untuk mengisi potensi kekosongan jabatan presiden. 

Penyimpangan kewenangan wapres terjadi akibat kondisi politik. Dalam catatan sejarah, misalnya, Wapres Mohammad Hatta pernah mengeluarkan Maklumat Nomor 10 pada 16 Oktober 1945, yang menyerahkan kekuasaan legislatif Presiden Sukarno kepada Komite Nasional Pusat. Tindakan ekstra-konstitusional Wapres Hatta terjadi pada masa revolusioner dan bertujuan menyelamatkan Presiden dari jebakan kekuasaan otoriter karena memegang seluruh kewenangan cabang kekuasaan negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Maklumat itu merupakan ketegangan pertama dalam sejarah hubungan presiden dengan wakil presiden di Indonesia.

Ketegangan antara presiden dan wapres tidak dirasakan pada era otoriter Orde Baru. Namun ketegangan hubungan antara presiden dan wapres kembali mencuat pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Wapres JK kerap memberi perintah seakan-akan ia menjabat presiden. Ketika itu, Wapres JK kerap mendapatkan momentum untuk memberi perintah lebih cepat karena Presiden SBY dikenal kerap lamban dalam bersikap.

Sikap wapres yang tidak memahami (atau sengaja melanggar) batasan kewenangannya itu dapat mengancam posisi presiden dalam sistem presidensial. Bukan tidak mungkin, jabatan Wapres dijadikan alat untuk mengambil alih kekuasaan presiden. Pengambilalihan kekuasaan presiden oleh wapres itu dapat menggunakan cara kasar (baca: kudeta), atau bisa pula presiden dijatuhkan dengan cara menggagalkan pemerintahannya. Jika pemerintah gagal dan presiden diberhentikan di tengah jalan, berdasarkan UUD 1945, wapres berhak mengisi kekosongan tersebut.

Sebagai manusia yang haus akan kekuasaan, posisi wapres memang harus diisi oleh figur yang sejalan dengan presiden. Itu sebabnya, di banyak negara maju penganut sistem presidensial, presiden dan wapres berasal dari partai yang sama. Walhasil, wapres benar-benar bertugas sebagai "ban cadangan" jabatan presiden.

Konsep politik pasangan presiden-wapres yang berasal dari partai berbeda juga tidak tepat. Sebab, jika presiden yang berasal dari partai A mangkat, berhalangan tetap, atau diberhentikan, jabatan presiden yang baru akan dinikmati kader partai B. Tentu kondisi tersebut akan mengancam kursi partai A di kabinet dan dukungan terhadap partai B di legislatif.

Melihat konsep kewenangan wapres yang tidak sehat tersebut, kesadaran konstitusi seorang Wapres saja tidak cukup. Perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang dengan tegas melarang wapres bertindak inkonstitusional. Sayang, rencana undang-undang lembaga kepresidenan masih menjadi mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar