Selasa, 30 Juni 2015

Menangkap Pesan dari Tragedi Angeline

Menangkap Pesan dari Tragedi Angeline

  Herie Purwanto  ;   Kandidat Doktor Ilmu Hukum Unissula;
Kasat Reskrim Polres Magelang Kota
SUARA MERDEKA, 16 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEJUMLAH elemen masyarakat menggelar aksi dengan menyalakan 1.000 lilin di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, pada Kamis (11/6) malam, sebagai tanda simpati kepada Angeline yang dibunuh secara keji di Denpasar. Mereka juga menggelar doa bersama, berorasi dan menabur bunga (SM,12/6/15).

Anggeline, bocah cantik berumur 8 tahun itu menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan. Menkumham Yasonna H Laoly mengecam tragedi itu dan meminta hakim memidana seberat-beratnya pelaku. Bocah itu 16 Mei 2015 dilaporkan hilang oleh ibu angkatnya, Margriet Christina Megawe dan baru pada 10 Juni 2015 polisi menemukannya tewas terkubur di dekat kandang ayam.

Kekerasan terhadap anak, baik secara seksual maupun fisik hingga menyebabkan kematian menjadi permasalahan serius. Sebagaimana disebutkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, untuk tahun 2013 dan 2014 kasus tersebut sudah menelan 3.000 korban. Bahkan perkara menyangkut kekerasan anak hingga detik ini sudah menyentuh angka korban jutaan anak.

Tragedi yang menimpa Angeline seharusnya kian membuka lebar mata hati kita. Boleh jadi, kasus serupa sebenarnya ada di sekitar kita. Tanda-tanda nasib tragis Angeline, menurut keterangan dari berbagai sumber sebenarnya sudah terbaca dalam setahun terakhir. Di sekolah, ia murung dan selalu berpakaian lusuh serta berbau pakan ayam karena memang ia dibebani pekerjaan memberi pakan ayam di rumahnya.

Bekas-bekas luka lebam atau bekas penganiayaan juga tampak di sekujur tubuhnya. Bahkan konon beberapa tetangga sering mendengar makian terhadap Angeline. Namun para tetangga tak berbuat banyak mengingat ada rasa ewuh pekewuh. Dalam konteks psikologi sosial, hal ini menjadi permasalahan serius. Ketidakprdulian sosial telah membuka peluang penganiayaan hingga nasib bocah itu berakhir tragis. Bagaimana ke depan agar hal ini tidak terus berulang?

Bagaimana pula peran negara dalam memberikan jaminan bagi tumbuh kembang anak sebagai pemegang estafet kelangsungan bangsa dan negara? Serta bagaimana masyarakat ikut berperan serta mengeliminasi perilaku kekerasan terhadap anak? Tiga jawaban atas pertanyaan ini setidak-tidaknya menjadi residu yang bisa menjadi pesan atas tragedi itu.

Pertama; dalam kajian sosiologis, setelah terbongkar kasus pelecehan seksual di Jakarta International School (JIS), terkuak pula bahwa pelaku adalah pedofil, dan sebelumnya juga menjadi korban. Ia kemudian tumbuh menjadi predator. Sebuah survei menyebutkan bahwa pelaku kejahatan terhadap anak, sejatinya pernah menjadi korban sewaktu ia berusia anak-anak.

Kepedulian Masyarakat

Dengan bahasa lain, bisa dikatakan ada kausalitas kejahatan terhadap anak, bagian dari produk masyarakat itu sendiri. Makin besar jumlah anak sebagai korban, cenderung makin meningkat pula pelaku kejahatan pada anak. Mata rantai siklus inilah yang harus diputus.

Kedua; masyarakat harus lebih peduli (care) terhadap anak-anak di lingkungannya. Dalam kasus Angeline, tanda-tanda ia menjadi korban kekerasan sudah muncul. Karena itu, bila mendapati anak-anak dengan tanda-tanda jadi korban kekerasan, masyarakat harus berani bertindak. Minimal melaporkan kepada pekerja sosial anak ataupun langsung ke polisi. Kepedulian ini terbukti efektif dengan terbongkarnya kasus lima anak yang terlantar di Cibubur Bekasi pada Mei lalu. Kedua orang tuanya menelantarkan mereka akibat pengaruh narkotika. Masyarakat sekitar melapor ke polisi yang segera mengerebek hingga selamatlah tiga anak malang tersebut.

Ketiga; perlu tindakan tegas terhadap pelaku kekekerasan terhadap anak. Penegak hukum idealnya berada dalam perspektif hukum progresif. Satjipto Rahardjo dalam makalah berjudul ‘’Indonesia Inginkan Penegakan Hukum Progresif’’ (15 Juli 2002) mengatakan bahwa penegakan hukum progresif merupakan pekerjaan dengan banyak dimensi. Salah satunya berpijak pada kepentingan dan kebutuhan bangsa untuk lebih diperhatikan, ketimbang sekadar bermain-main dengan pasal, doktrin, dan prosedur.

Artinya, supaya bisa memberi efek jera, penegak hukum harus berani out of the box atau keluar dari kotak normatif yang membelenggu jalan untuk penjatuhan hukuman maksimal. Tragedi Angeline menyiratkan keinginan perlunya hukuman mati terhadap pelaku, sebagaimana juga disuarakan oleh Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan. Terhadap sinyal seperti ini, penegak hukumlah yang bisa segera menindaklanjuti mengingat hukum positif negeri ini belum menghapus pidana mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar