Senin, 29 Juni 2015

Mengupayakan Sumber Pangan Alternatif

Mengupayakan Sumber Pangan Alternatif

  Karyudi Sutajah Putra  ;   Pegiat Media, Tinggal di Jakarta
SUARA MERDEKA, 14 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MENJELANG Ramadan, harga bahan-bahan kebutuhan pokok, termasuk beras, naik. Selain karena inflasi, juga terkait hukum supply and demand. Apalagi pada bulan Ramadan, ketika konsumsi masyarakat justru meningkat. Meski stok beras diklaim cukup aman, pemerintah harap-harap cemas antara melakukan impor atau tidak. Sejatinya, Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah mengupayakan sumber pangan alternatif selain beras, termasuk sorgum. Namun apa hendak dikata, kebanyakan rakyat Indonesia lebih memilih beras, dan merasa belum makan bila belum menyantap nasi. Sebuah data menyebut, konsumsi nasi orang Indonesia mencapai 130 kilogram per tahun per kapita atau 900 gram per orang per hari. Angka ini dua kali lipat dari konsumsi nasi dunia yang hanya 60 kg per tahun per kapita. Konsumsi nasi di Indonesia tertinggi di Asia. Jepang menghabiskan nasi 30 kg, Korea 40 kg, Thailand 70 kg, Brunei Darussalam 80 kg, Malaysia dan Tiongkok 90 kg per tahun per kapita. Di pihak lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka produksi padi 2014 hanya 69,87 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlah ini menyusut 1,41 juta ton atau 1,98% dibanding 2013 sebesar 71,28 juta ton GKG. Hingga akhir tahun ini pemerintah menargetkan produksi GKG sebanyak 73,5 juta ton, sedangkan realisasi produksi GKG Januari- April 2015 sebesar 31.503.139 ton atau 42,86% dari target. Namun dari jumlah GKG sebanyak 73,5 juta ton itu, hanya 60% yang bisa dijadikan beras atau sekitar 44 juta ton.

Hal ini disebabkan inefisiensi struktur produksi beras yang menyebabkan penyusutan hingga 40%. Tahan Kekeringan Inspirasi datang dari Pondok Pesantren At-Thoriq di Desa Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat, saat mengikuti pameran pangan di Jakarta, Sabtu (6/6/15). Ponpes ini memilih meninggalkan beras dan beralih ke sorgum (Sorghum bicolor L, atau Japonicum) sebagai makanan pokok sehari-hari. Mereka mengganti menu makan nasi 30 santrinya dengan panganan berbahan dasar sorgum. Ponpes ini pun menanami lahannya seluas 7.500 meter persegi dengan biji sorgum yang diperoleh dari Flores, NTT. Alangkah baiknya bila semua ponpes di Indonesia mengikuti jejak At-Thoriq. Literatur menyebut sorgum adalah keluarga rumput-rumputan, sejenis jagung. Meski ada banyak jenis sorgum, hanya satu spesies yang ditanam untuk dikonsumsi manusia, yakni Sorghum bicolor L (Japonicum), sementara yang lainnya biasa digunakan sebagai pakan ternak. Sorgum adalah tanaman asli Afrika, namun sekarang bisa ditemukan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Di AS, penanaman sorgum sudah dilakukan sejak 1874. Orang Jawa menyebut sorgum dengan nama cantel, sedangkan orang Flores menyebutnya watar. Sebagai bahan pangan, sorgum berada di urutan kelima setelah gandum, padi, jagung, dan jelai. Di Indonesia, sorgum sudah dibudidayakan terutama di Pulau Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB dan NTT. Namun produsen sorgum dunia didominasi AS, India, Nigeria, Tiongkok, Meksiko, Sudan dan Argentina. Salah satu sifat khas sorgum adalah daya tahannya terhadap kekeringan dan toleran terhadap genangan air sehingga sangat cocok ditanam di Indonesia yang memiliki dua musim: kemarau dan hujan. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan, Jawa Timur, sudah menguji coba untuk membandingkan sorgum dengan tebu. Sorgum dapat dipanen dua kali per tahun dengan produksi hingga 5 ton bulir per panen, setara 2,5 ton tepung dengan biaya produksi sekitar Rp10 juta ton per hektare. Beberapa penelitian menyebutkan kandungan protein pada biji sorgum sangat tinggi. Dibanding sumber pangan lain seperti beras, singkong dan jagung, sorgum memiliki kadar protein tertinggi. Sorgum memiliki keunggulan mineral seperti Ca, Fe, P dan kandungan vitamin B1 dibanding beras. Nilai gizi sorgum jauh lebih unggul daripada beras. Kandungan protein 1 gram sorgum ternyata 1,6 kali lipat beras, zat besi 5,5 kali lipat, fosfor 2,05 kali lipat, 3,1 kali lipat vitamin B1, 4,7 kali lipat lemak dan 4,6 kali lipat kalsium. Sorgum juga bisa mencegah penyakit seperti kanker dan diabetes. Bila sudah tahu keunggulan sorgum, masih tetap bertahankah kita dengan beras dan belum merasa makan bila belum menyantap nasi? Sudah saatnya kita beralih ke sorgum sebagai makanan alternatif, dan untuk itu diperlukan political will pemerintah untuk memandu masyarakat. Ini sejalan dengan tekad Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar