Sabtu, 27 Juni 2015

Reposisi Strategi Tata Kelola Pangan

Reposisi Strategi Tata Kelola Pangan

  Achmad Maulani  ;   Kandidat Doktor Sosiologi Ekonomi Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 23 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETIAP Ramadan atau menjelang Idul Fitri, kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok seolah menjadi menu wajib. Siklus tahunan itu pun tak pernah tertangani secara tuntas dan mendasar. Terlebih dalam beberapa bulan terakhir ini, lonjakan harga pelbagai bahan pangan seperti tak terbendung. Persoalan itu tak pelak menjadi penyumbang utama inflasi pada Mei 2015 sebesar 0,5%.

Karena itu, hal mendesak utama yang harus segera dilakukan pemerintah saat ini ialah melakukan reposisi strategi dalam tata kelola kebijakan pangan. Tata kelola di sini dimaksudkan untuk memastikan kecukupan pasokan bahan makanan di seluruh daerah Indonesia. Selain itu, pemerintah harus memastikan jalur distribusi yang memadai dan terjangkau sehingga bisa memangkas biaya logistik yang muaranya ialah keterjangkauan daya beli masyarakat.

Persoalan keterjangkauan dan ketercukupan itu penting ditekankan karena salah satu tonggak ketahanan pangan ialah ketersediaan pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh masyarakat. Ketersediaan dan ketercukupan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan. Dalam soal aksesibilitas setiap rakyat terhadap bahan pangan, kehadiran negara merupakan sebuah keniscayaan. Intervensi negara dalam hal distribusi pangan pokok masih relevan untuk melindungi konsumen dari melambungnya harga-harga yang kadang tak terkendali.

Kita masih ingat beberapa waktu lalu persoalan beras bahkan telah mengguncang perekonomian nasional. Sumber bahan pangan utama rakyat Indonesia itu seperti tak henti-hentinya diterpa masalah, dari produksi, pascapanen, hingga gejolak harga. Paling mutakhir ialah kasus beras palsu berbahan baku plastik yang dioplos dengan beras konsumsi.

Masih segar juga dalam ingatan bahwa harga beras naik pada awal 2015 dan pada Mei hingga Juni harga kembali merangkak naik. Satu hukum yang pasti, yakni kenaikan harga beras biasanya selalu disertai kenaikan berbagai bahan pokok lain, terlebih dengan kenaikan bahan bakar minyak yang tak menentu.

Pelonjakan berbagai kebutuhan bahan pokok tidak bisa dilepaskan dari kebijakan strategi stabilisasi harga. Hal itu sangat berkaitan dengan persoalan tata kelola pangan. Persoalan tata kelola pangan yang buruk diduga menjadi sebab utama impor beberapa kebutuhan bahan pangan terus naik sehingga menyebabkan harga pangan melonjak.

Bahkan, jika tidak ditangani dengan baik, impor pangan Indonesia dalam kurun waktu 2020-2030 akan mencapai Rp1.200 triliun-Rp1.500 triliun. Pada 2013, dana yang di alokasikan untuk impor pangan mencapai Rp435 triliun. Langkah yang diambil pemerintah selama ini sering kali hanya bersifat sporadis dan hanya menutupi celah-celah yang bocor, tapi belum mampu menyentuh akar masalah.

Menyimak semua itu, harus ada tindakan cepat dan terobosan yang diambil pemerintah untuk mereformasi tata kelola pangan secara keseluruhan. Langkah nyata yang komprehensif dan mendasar diperlukan untuk mengatasi karut-marut persoalan pangan di Indonesia, khususnya untuk mengatasi lonjakan harga yang selalu menjerat rakyat.

Salah satu yang harus dilakukan, misalnya, ialah membuat sebuah lembaga regulator yang mengatur semua hal tentang pangan sehingga karut-marut tata kelola pangan baik itu persoalan data maupun hal lain dapat diselesaikan. Pemerintah harus segera melakukan listing terhadap seluruh perangkat perundang-undangan yang berkaitan dengan pangan. Lalu, pemerintah harus melihat kerangka eksekusinya guna membuat roadmap yang jelas.

Selain itu, selama ini, salah satu penyebab tidak efektifnya berbagai instrumen kebijakan untuk menjaga fluktuasi harga bahan pangan ialah tata kelola yang buruk kelembagaan pangan. Desain tata kelola kelembagaan itu mutlak diperlukan untuk menunjang kerangka dasar ketahanan pangan Indonesia. Kelembagaan di sini ialah sebuah aturan main yang diikuti dan ditegakkan secara baik.

Mengutip Ronald Coase, penerima Nobel Ekonomi 1991, pengembangan kelembagaan ialah salah satu langkah penting dalam perbaikan distribusi sumber daya dan peningkatan keadilan sosial. Hal itu disebabkan hal yang selalu melekat dalam soal kelembagaan, yakni aturan main.

Dalam tata kelola pangan, aransemen ulang kelembagaan ekonomi pangan masa depan setidaknya harus mampu menjawab tantangan makro kebijakan yang mengintegrasikan agenda tiga kebijakan penting. Pertama, pemulihan ekonomi dan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang mampu berkelanjutan. Kedua, pengentasan kemiskinan dengan basis ekonomi perdesaan. Ketiga, stabilitas sistem pangan nasional yang menjadi tumpuan ketahanan dan kedaulatan pangan.

Ketiga agenda di atas tentu tidak sederhana karena ketiganya berkaitan erat, apalagi dalam konteks ekonomi pasar. Ketahanan dan kedaulatan pangan sendiri memerlukan integrasi kebijakan makroekonomi, kebijakan ekonomi sektoral, dan perubahan aransemen kelembagaan atau keputusan politik yang mampu secara efektif menangani distribusi pangan ke seluruh pelosok Tanah Air.

Satu hal yang harus ditegaskan bahwa struktur pasar yang berkaitan dengan persoalan pangan terkadang jauh dari sempurna. Pada titik itulah peran negara mutlak diperlukan. Kelembagaan pasar akan tegak dan berfungsi dengan baik ketika dibangun di atas negara yang berdaulat. Karena itu, pada skala negara dan tataran politik, desain dan aturan konstitusi yang disepakati harus terus dikawal agar berbagai kebijakan yang ditelurkan mampu memberi makna bagi kualitas kehidupan manusia. Kebijakan yang integratif dan komprehensif mutlak dilakukan, baik pada level hulu maupun hilir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar