Jumat, 26 Juni 2015

Saemaul Undong, Semua Berawal dari Desa

Saemaul Undong, Semua Berawal dari Desa

Martani Huseini  ;   Guru Besar; Pengajar Mata Kuliah Daya Saing Daerah/Nasional dan Manajemen Perubahan dan Inovasi Organisasi Pascasarjana UI
KORAN SINDO, 25 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belakangan ini semangat membangun desa makin kuat di negeri ini. Bahkan sudah lahir undang-undang khusus yang mengaturnya. Namun, implementasi Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 akan sia-sia tanpa disertai ”clear direction” seperti gerakan membangun desa Saemaul Undong pada era presiden Park Chung-hee di Korsel.

Keputusan politik untuk memilih desa sebagai basis point dalam menggerakkan dinamika masyarakat merupakan pilihan yang harus dilaksanakan. Bisa dibayangkan dari sekitar 74.843 desa yang ”menganggap dirinya siap” mengimplementasikan program tersebut belum dibekali instrumen implementasi yang memadai.

Baru ada bayangan indahnya menerima hibah murni dari pemerintah dengan bimbingan konsultan yang ”ahli dan tersertifikasi” dengan gaji lumayan di bawah koordinasi pemda dan pemerintah pusat. Para calon konsultan belum membayangkan peliknya mengelola desa adat yang berjumlah sekitar 24.000 dan sisanya adalah desa administratif.

Keragaman masalah etnis, batas wilayah, perbedaan tingkat sosial, ekonomi dan budaya (sosekbud) merupakan tantangan para pengelola program tersebut. Kesiapan mental aparat desa serta instrumen juklak dan juknis (SOP) dalam proses implementasi perlu dipetakan kesiapannya. Apalagi dalam proses evaluasi programnya masalah akuntabilitas dan aspek transparansinya karena belum terlatih akan mengakibatkan cita-cita Undang-undang desa yang mulia menjadi sirna.

Pengelolaan program di tingkat pemerintah pusat pun masih gagap. Perebutan kewenangan pengelolaan program ini masih belum tuntas antara Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi dengan Kementerian Dalam Negeri cq Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa (PMD).

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah roh dan jiwa program besar ini masih belum nampak jelas antara pilihan democratic driven (pokoknya proses demokratisasi pembagian kue pembangunan sudah didistribusikan hingga tingkat desa), atau economic driven (berorientasi mencari pengungkit pemberdayaan ekonomi yang berasal dari desa).

Tentunya dana yang akan mulai digulirkan tahap awal sekitar Rp300 juta sebagai stimulan awal dapat mempunyai impak sosial-ekonomi, sehingga pada saat mencapai plafon Rp1,4 miliar rupiah per desa nantinya dalam proses transformasi desa supaya self-help & self reliance seperti di Korsel dapat terwujud.

Relevansi Saemaul Undong bagi Indonesia

Niat baik untuk membuat transformasi sosial yang dimulai dari tingkat desa (setara dengan daerah tingkat 3) mirip dengan gerakan Saemaul Undong (SU) di Korsel. Yang membedakan hanya terletak pada roh dan kejelasan sasaran ekonomis yang sistematis, taktis dan terlembaga.

Kunci sukses yang lain gerakan masif sejenis ini di Korsel dipimpin langsung oleh presidennya, sedangkan di Indonesia hanya dipimpin dua kementrian yang masih ‘bersengketa’. Pemerintah mestinya ingat kegagalan implementasi UU-22/ 1999 dengan revisinya UU- 32/2004, UU-23/2014 tentang transformasi sosial yang diletakkan pada daerah tingkat 2 (kabupaten/ kota) dan kini sedang ditarik ke tingkat propinsi.

Gerakan SU ini diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Presiden Park Chung-hee sendiri di tahun 1970-an. Ada 33.267 desa yang dikelola dan telah mencapai sukses besar. Keberhasilan ini dikarenakan instrumen change management sangat jelas sasarannya. Dalam program yang sepenting ini pemerintah Korsel memilih menyentuh manusianya terlebih dahulu dengan menyiapkan 680.000 training camps.

Materi pembekalannya pun dipilih yang bernuansa revolusi mental/budaya organisasi. seperti semangat gotong royong, kerja rajin dan spirit can do/will do attitude for a better life; my self, my neighbours, my whole village. Gerakan tersebut disosialisasikan pada tahap awal pemerintah Korsel hanya memfokuskan pada 16.600 desa percontohan.

Gerakan serupa juga pernah dilakukan oleh seorang Gubernur wilayah Oita, Jepang, Morihiko Hiramatsu di tahun 1979, dan diimplementasikan pada awal tahun 1980 dengan nama gerakan One Village One Product (OVOP). Gerakan ini mewajibkan setiap prefektur (setara dengan kecamatan) harus membuat satu jenis produk unggulan, seperti menanam jamur shitake, beternak sapi, berkebun agar bisa menghasilkan buah-buahan dan lain sebagainya.

Pada akhirnya lahirlah 300 jenis komoditas unggulan yang berhasil tersebar di seantero Jepang. Bahkan ide ini berhasil dipraktekkan di Thailand, Malaysia dan bahkan di Indonesia di tahun 2000-an. Di Jawa Timur pernah dipraktekkan oleh Gubernur Basofi Sudirman dan mencatat keberhasilan sementara di wilayah Sidoarjo dengan produk kerupuknya.

Di tahun 2004 Kementerian Perindustrian hampir berhasil membuat gerakan sosial sejenis yang dinamai gerakan industrialisasi model Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti (Saka-Sakti), sesuai dengan pemaknaan Undang-Undang 22 dan 32/2004. Kini Undang-Undang Desa mulai diimplementasikan di Indonesia, namun perangkat kelembagaan dan kesungguhan pelaksanaannya masih diragukan.

”Check-List” Pekerjaan Rumah

Persiapan transformasi dari sistem sentralisasi ke desentralisasi membutuhkan direction dan instrumen kelembagaan dalam change process yang perlu dicek secara menyeluruh. Pertama, siapa yang akan memimpin gerakan ini? Kesuksesan gerakan ini di Korsel oleh presiden dan di Thailand gerakan Tombon serupa OVOP dipimpin oleh sang raja sendiri.

Kedua, penyiapan pusat pelatihan yang tersebar dan profesional apakah sudah dipersiapkan? Ketiga, apakah calon penyuluh yang tersertifikasi apakah sudah memadai? Keempat, apakah short term win program di tahap awal ini sudah diprogramkan? Kelima, apakah uji materi pelatihan sudah dilakukan? Keenam, bagaimana sistem evaluasi keberhasilannya? Ketujuh, apakah opsi exit/reentry kegagalan sudah dipikirkan? Semoga pelajaran penting dari Saemaul Undong yang terkenal sukses tersebut bisa dijadikan acuan kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar