Senin, 29 Juni 2015

Sastrawan

Sastrawan

  Goenawan Mohamad  ;   Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sastrawan, terutama di Indonesia, sering yakin mereka warga masyarakat yang penting -- lebih penting ketimbang karya mereka. Ada "sindrom pujangga" yang sering berjangkit.

Di masa lalu, "pujangga" disebut sebagai pemberi fatwa, petunjuk ke pintu kebenaran. Ia diletakkan, atau meletakkan diri, di tataran yang lebih suci dan mulia dalam fi'il dan pengetahuan.

Di abad ke-19, Ronggowarsito menamakan salah satu karyanya Serat Wirid Hidayat Jati. Dalam buku kecil itu ia tampak siap memberikan "hidayah" yang "benar" kepada pembacanya. Di abad ke-20, di tahun 1930-an, ketika sejumlah sastrawan memaklumkan pembaharuan, "sindrom pujangga" tak berubah. Mereka namakan majalah mereka Poedjangga Baroe. Mereka, terutama Takdir, memandang sastrawan sebagai pelopor dalam kerja membangun kembali masyarakat, dalam "reconstructie arbeid".

Tapi kemudian datang Revolusi 1945. Yang dijebol bukan hanya wibawa pemerintah kolonial. Pembrontakan sosial, kehendak menghabisi aristokrasi atau pangreh praja, yang disebut "feodal", meledak di Sumatra Timur dan di pantai utara Jawa Tengah. Tahun 1945: sebuah ledakan anti-hierarki.

Sejak masa itulah, sejak generasi sastrawan di sekitar Chairil Anwar, sastrawan menyebut diri "penulis". Kata "pujangga" jadi olok-olok. Para sastrawan meletakkan diri setara dengan pembaca mereka. Bersama Chairil, Asrul Sani, dan Rivai Apin menerbitkan sebuah buku puisi berjudul Tiga Menguak Takdir: sebuah statemen tersirat yang menunjukkan tak ada yang selamanya berada dalam posisi yang menentukan.

Sikap itu tampaknya datang bersama apa yang mereka baca sebagai kesusastraan: karya para penulis dunia yang -- setelah konflik-konflik besar di Eropa dan Asia menebarkan korban -- melihat kesusastraan gagal menyelamatkan manusia dengan petuah dan pesan. Para penulis mulai memandang diri sendiri dengan ironis. Seseorang pernah bertanya apa pesan yang hendak diungkapkan Hemingway dalam bukunya. "Tak ada pesan dalam novel-novel saya", jawab penulis Farewell to Arms itu. "Kalau saya mau sampaikan pesan, saya kirimkan lewat pos".

Jawaban itu bukan gurau, bukan pula kerendah-hatian yang pura-pura. Para penulis kian sadar, mereka hidup bersama kebisuan yang tak bisa diungkai sepenuhnya dalam hal-ihwal dunia. Hutan yang majemuk, dusun yang berubah, lampu-lampu kota yang bertebaran, percakapan yang tak selesai, kebencian yang terpendam....

Tapi seperti ditunjukkan Rancière, semua itu tak membuat mandul. Buku adalah "anak keheningan", tulisnya dalam La parole muette, "yang tak punya alam semesta lain kecuali ocehan yang tak henti-hentinya dari tulisan yang membisu". Karya baru akan ditulis. Dikelilingi hal-hal yang tak mengungkapkan diri secara penuh, tiap pengarang, sendiri atau dengan berdialog, selalu akan membuka jalan lain penafsiran. Tak lagi ada yang dengan meyakinkan mengatakan, aku-sang-pemberi-hidayah.

Juga kata-kata makin jelas "membisu": tak dapat mengungkapkan makna yang seutuhnya transparan kepada sang penulis dan pembaca. Kata "akanan" dalam sajak Chairil Anwar "Senja di Pelabuhan Kecil" kadang muncul dalam arti "kaki langit", kadang dalam arti "apa-yang-akan-datang".

Makna sepatah kata tak bisa dibuat tunggal oleh konsensus -- sebab makin tampak konsensus sebenarnya menyembunyikan kekuasaan yang mendesakkan dan membentuknya. Di zaman ketika sastrawan dan pembaca (termasuk kritikus) duduk sama rendah, "sindrom pujangga" mirip adegan lakon zaman Dardanella: melambung-lambung.

Tapi sindrom itu tak mudah hilang, rupanya. Ia muncul dalam wujud yang lain: sastrawan sebagai pesohor.

Pada mulanya media massa. Koran, majalah, radio, TV, bisa membuat kesusastraan diketahui publik luas, tapi juga membuatnya menyilaukan. Orang menatap, terpesona, tapi juga tak melihat dengan jelas. Media massa cenderung tergesa-gesa dan bicara kepada orang ramai yang hanya bisa dipertemukan dengan mempercakapkan sesuatu yang bersahaja. Maka, dari arus kesusastraan yang muncul adalah sesuatu yang gampang diingat: tokoh.

Di tahun 1950-an tulisan A. Teeuw tentang kesusastraan Indonesia modern diterjemahkan dengan judul Pokok dan Tokoh, Penelaah itu ingin menampilkan "tokoh" pengarang sebagai bagian dari "pokok" yang diekspresikan sebuah karya sastra. Tapi akhirnya "tokoh" lebih mencuat, "pokok" menciut. Terutama sejak pelajaran kesusastraan di sekolah tak dibawa untuk menikmati karya dan menelaahnya. Memilih jalan yang gampang, para guru hanya membawa murid mengetahui nama, judul karya, mungkin sinposis.

Maka sastrawan tak mati, kesusastraan yang mati. Telaah sastra yang serius kian jarang ditulis. Hampir tak ada lagi media yang bersedia memuat kritik sastra berhalaman-halaman, seperti dalam majalah Budaya Jaya yang terbit antara 1968-1979; kini hanya berkala Kalam yang meneruskan tradisi itu, dalam bentuk majalah on-line. Meskipun tak mudah mendapatkan tulisan yang layak, media seperti itu menyimpan harapan akan bisa memelihara percakapan kesusastraan yang bersungguh-sungguh tentang "pokok," seperti di masa 1930-an sampai dengan 1970-an, ketika gagasan dan bentuk ekspresi adalah topik yang dibahas -- bukan sastrawan dan kehidupan pribadinya, bukan anekdotnya atau pertengakarannya (lewat media sosial) dengan sastrawan lain.

Ada kelanjutan antara "sindrom pujangga" dengan "sindrom pesohor". Keduanya meletakkan sastrawan sebagai pusat. Keduanya tak melihat ada pusat lain: dalam karya. Sastrawan jadi ego yang melambung.

Tapi bila para pujangga diharapkan berfatwa, para pesohor diharapkan heboh. Dan kritik sastra pun jadi gosip.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar