Senin, 29 Juni 2015

Tragedi

Tragedi

  Trias Kuncahyono ;   Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 28 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah seorang filsuf yang ditulis Stephen Law dalam bukunya, The Great Philosophers: The Lives and Ideas of History’s Greatest Thinkers, adalah William of Ockham (1288-1358). William adalah salah satu pemikir terpenting abad pertengahan.

Kisah awal hidup William tidak banyak diketahui. Ia hanya dicatat belajar teologi di Oxford (1309-1321), tetapi tidak pernah menyelesaikan masternya. Salah satu pendapat William yang menarik adalah soal pluralitas. ”Pluralitas tidak perlu ditonjol-tonjolkan apabila tidak ada perlunya.” Begitu lebih kurang yang dikatakan William of Ockham.

Benar adanya pernyataan itu. Untuk apa pluralitas ditonjol-tonjolkan kalau memang tidak ada masalah dengan pluralitas itu. Artinya, jika orang yang beragam-ragam suku, agama, etnis, dan ras bisa hidup dengan rukun saling hormat-menghormati dan bisa saling menerima perbedaan serta meyakini perbedaan itu sebagai rahmat dan kekuatan, maka pluralitas itu tak perlu dibicarakan.

Akan tetapi, sebaliknya, apabila pluralitas itu terancam, adalah sangat penting untuk ditonjol-tonjolkan agar semuanya ingat bahwa kita adalah beragam-ragam dalam segala hal. Karena itu, perlu untuk saling menghargai, menghormati, dan bisa menerima perbedaan.

Apa yang terjadi di Suriah, Irak, dan sejumlah negara di Timur Tengah, juga di Myanmar, Afganistan, Pakistan, serta beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia, ketika pluralitas kerap kali dan bahkan berkali-kali diingkari, mendesak perlunya penonjolan pluralitas itu. Apalagi kalau kita berbicara tentang demokrasi; tentang demokrasi pluralistis.

Demokrasi pluralistis bukan berbicara tentang kumpulan aneka perbedaan, tetapi entitas baru yang dijanjikan, yakni keragaman dalam persatuan. Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, kita bisa berbicara persatuan Indonesia sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu.

Dalam demokrasi, keragaman tak hanya berhenti menjadi fakta pluralitas, tetapi ditingkatkan atau barangkali lebih tepatnya dipermuliakan menjadi pluralisme, yakni kesadaran menerima perbedaan, mengakui keragaman secara sadar untuk mencapai tataran kebersamaan lebih baik sesuai dengan idealitas perjuangan bangsa dan negara.

Hal itu sangat penting. Sebab, apabila hal itu tidak tumbuh dan berkembang dan yang muncul adalah fanatisme kelompok, golongan, etnis, ras, dan agama, hasilnya adalah kehancuran. Fanatisme adalah bentuk penolakan terhadap yang berbeda. Dan, hal itu akan menjadi lahan subur bagi para pelaku kekerasan yang tidak merasa bersalah.

Contoh yang paling baru dari fanatisme itu adalah pembunuhan yang dilakukan kelompok bersenjata NIIS di Suriah dan Irak (pembunuhan apa pun alasannya tidak akan dibenarkan oleh rasa kemanusiaan); pengusiran dan penyiksaan terhadap orang-orang Rohingya.

Bukankah prestasi tertinggi peradaban manusia dicapai tidak hanya ketika bangsa-bangsa menghentikan perang (atau sebuah bangsa mampu mencegah terjadi konflik antar-anak bangsa), tetapi ketika bangsa-bangsa itu mencapai prospek zero untuk berperang (atau ketika suatu bangsa mencapai prospek zero untuk berkonflik apa pun alasannya).

Di sini pentingnya etika timbal balik atau ”Golden Rule”: berbuatlah kepada orang lain sebagaimana Anda ingin orang lain perbuat untuk Anda. Jangan berbuat kepada orang lain yang Anda tak ingin orang lain perbuat kepada Anda. ”Golden Rule” ini amat penting bagi negeri yang plural seperti Indonesia demi kelanggengan bangsa-negara.

Banyak negara terjerumus dalam perang saudara, atau kekerasan, atau menjadi ladang tumbuh suburnya fanatisme dan radikalisme karena mengabaikan ”Golden Rule” itu. Maka, muncul tragedi kemanusiaan, seperti di Suriah. Libya, atau Irak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar