Jumat, 26 Juni 2015

Urgensi Dialog Barat dan Dunia Muslim

Urgensi Dialog Barat dan Dunia Muslim

Rakhmat Hidayat  ;   Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ); Research Fellow di Universitat Leipzig, Jerman
KORAN SINDO, 25 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya baru saja mengikuti kegiatan International Joint Conference yang diselenggarakan Universitat Leipzig dan Universiti Sains Malaysia (USM) pada 3-5 Juni 2015. Judul seminarnya adalah ”Pupils’ Diversity and Success in Science Education in Germany and Muslim Countries”.

Dalam seminar tersebut disajikan presentasi beberapa hasil riset dosen Jerman dan Malaysia yang terkait pendidikan, Islam, dan sosial dari perspektif Jerman dan Malaysia. Mereka yang hadir adalah profesor, dosen, dan mahasiswa doktoral. Selama tiga hari kami berdiskusi dan bertukar pikiran dalam suasana yang hangat, bersahabat, dan setara. Saya satu-satunya peserta dari Indonesia.

Saya hadir ke acara tersebut secara tidak sengaja. Satu hari sebelum konferensi dimulai secara kebetulan saya melihat sebuah poster yang dipasang di papan pengumuman Kampus Leipzig terkait acara tersebut. Saya kemudian langsung mendaftar ke panitia dan secara resmi diterima sebagai peserta aktif. Banyak hal yang saya dapatkan selama berlangsungnya acara tersebut.

Secara lebih khusus saya banyak memperbaharui berbagai perkembangan pendidikan, teknologi, dan budaya di Malaysia melalui presentasi dan diskusi informal dengan peserta dari Malaysia. Tetapi, yang lebih menarik adalah kegiatan yang melibatkan akademisi dari Malaysia itu juga baru saja kami ikuti dalam waktu dekat. Jadi, kegiatan yang melibatkan akademisi Malaysia itu kerja sama antara Fakultas Ilmu Pendidikan Universitat Leipzig dan Universiti Sains Malaysia (USM).

Sementara delegasi Indonesia diwakili oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Brawijaya dengan partnernya adalah Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial-Filsafat Universitat Leipzig. Kegiatan kami bertajuk Exploring Legal Culture (ELC 2015). Jika dosen dan mahasiswa tinggal di Leipzig selama dua minggu, tetapi saya tinggal di Leipzig selama satu bulan karena menjadi research fellow.

Sponsor dan payung kegiatannya sama yaitu dari German Academic Service Change (DAAD) dalam payung kegiatan Higher Education Dialog with Muslim World. Kegiatan kami hanya berbeda host-nya yaitu fakultas yang berbeda. Tetapi, jenis kegiatan dan peserta kegiatannya adalah sama yaitu dosen yang melibatkan mahasiswa.

Kehadiran saya di konferensi Jerman-Malaysia tersebut tentu sangat bermanfaat buat saya karena selain dari segi substansi konferensi, saya juga banyak berdiskusi dengan kolega-kolega dari Malaysia maupun dari Universitat Leipzig. Pada posisi ini sekaligus saya banyak juga menjelaskan posisi Islam di Indonesia dalam beberapa sesi diskusi atau tanya jawab.

Menurut saya, setelah saya menghadiri konferensi tersebut, Islam di Indonesia lebih menarik dan dinamis dibandingkan dengan Malaysia. Paling tidak secara demografis, jumlah penduduk Indonesia hampir 85% adalah muslim. Sementara Malaysia memiliki 50% muslim yang mayoritasnya adalah warga Melayu.

Alasan demografis ini kemudian didukung dengan konteks sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat muslim Indonesia. Pada akhir konferensi ketika saya berbincang singkat dengan ketua konferensi yaitu Prof Anatoli Rakhochkine bahwa Islam Indonesia memiliki tingkat dinamika dan kompleksitas dibandingkan Malaysia. Tentu saya tidak asal berbicara.

Beberapa data tambahan saya jelaskan singkat ke profesor asal Rusia tersebut seperti berbagai riset tentang Islam, budaya, politik, hukum, ekonomi, hingga kelompok-kelompok garis keras/fundamentalis yang marak di Indonesia. Singkatnya, pesan saya ke profesor muda tersebut adalah Islam Indonesia itu seksi bagi dunia Barat.

Simbiosis Mutualisme

Jika ditelusuri secara lebih jauh, dunia Islam saat ini perlahan- lahan menunjukkan transformasinya dari objek menjadi subjek. Paling tidak saya melihatnya dari perspektif akademik. Keberadaan negara-negara muslim yang diwakili akademisinya menjadi partner yang dibutuhkan oleh dunia Barat sebagai upaya dan jembatan dialog dunia Barat dan dunia muslim.

Sejauh ini saya menangkap kesan ada batas ideologis yang jelas seolah vis a visantara dunia Barat dan dunia muslim. Dunia Barat direpresentasikan sebagai sekularisme dan dunia Islam diperlihatkan sebagai religiusitas. Cara pandang yang dikotomis dan menurut saya menyesatkan karena produksi tipologi tersebut dalam konteks masyarakat yang terus berubah drastis dan sudah semakin cair dengan revolusi teknologi.

Kita tak bisa lagi untuk menegaskan diri bahwa Barat adalah sekularisme. Tesis ini sebenarnya terbantahkan dengan sendirinya melalui hasil riset tentang negara-negara diduniabaikEropamaupun Amerika yang justru sekuler, tetapi menerapkan nilai-nilai islami. Jauh lebih islami praktik hidupnya dibandingkan dengan negara-negara muslim sendiri.

Mari kita lihat hasil riset yang dilakukan dua akademisi di George Washington University USA, Hossen Askari dan Scherherazde S Rehman. Hasil riset ini dipublikasikan tanggal 11 Juni 2014. Hasilnya sangat mengejutkan bagi kita. Irlandia adalah negara yang paling islami di dunia. Berikutnya menyusul Denmark, Swedia, dan Inggris.

Mereka mempraktikkan nilainilai dan perilaku-perilaku islami yang justru tidak dilakukan di negara-negara muslim seperti korupsi, kolusi, disiplin, dan sebagainya. Dengan demikian, akar soalnya adalah bukan semata-mata perspektif teologis yang sering kita pahami secara serampangan. Kita terjebak pada teologi yang simbolik, tetapi defisit dengan teologi sosial budaya yang justru lebih implementatif dalam ruang sosial masyarakat Indonesia.

Itulah yang kita alami dengan defisit teologi sosial. Agama kehilangan visi sosial budayanya. Kita terlalu sibuk dengan urusan fikih yang justru tak pernah habisnya. Dalam konteks itulah, keberadaan dialog-dialog yang menghubungkan dengan akademisi Barat harus ditempatkan sebagai pintu masuk untuk merajut cara pandang yang salah tentang Barat, termasuk juga tentang Islam misalnya, isu-isu tentang terorisme, Islamophobia, fundamentalisme Islam atau dalam konteks Indonesia adalah wacana tentang hukuman mati atau poligami.

Tema-tema ini yang bisa kita perdebatkan dalam suasana dialog yang hangat, setara, dan membumi. Tak ada posisi superior dan inferior. Dialog yang dibangun adalah berdasarkan simbiosis mutualisme. Mereka berkepentingan dengan dunia Islam untuk ”belajar” tentang dunia muslim langsung dari akademisi yang dianggap memiliki pengaruh kepada publik.

Selama ini mereka yang membaca dunia Islam dengan varian isunya dari media terutama media online yang seringkali juga bias kepentingan. Tetapi, dengan berdialog langsung secara formal dan informal (melalui makan siang, makan malam, minum kopi bersama) cara pandang mereka tentang Islam yang terbentuk perlahan-lahan mulai terbangun cara pandang yang baru.

Bagi akademisi negara muslim, dialog ini menjadi penting karena mereka bisa belajar langsung bagaimana masyarakatnya mempraktikkan nilai-nilai dan budaya yang berbeda dengan dunia muslim, tetapi lebih islami. Misalnya terlihat dari ketertiban lalu lintas, ketaatan asas birokrasi, dan sebagainya.

Mereka bisa mencairkan suasana kebekuan tentang Barat yang ditempatkan secara diametral dengan Islam. Ternyata dengan kehadiran langsung ke negaranya, mereka bisa menjumpai suasana yang cair dan bisa menjadi sumber pembelajaran bagi dosen maupun mahasiswanya.

Dalam konteks itulah, saya melihat ini sebagai upaya dialog peradaban yang harus terus dipupuk untuk menghapus berbagai distorsi tentang dunia Barat dan dunia Islam karena keduanya menjadi bagian penting dalam peradaban dunia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar