Rabu, 29 Juli 2015

Benarkah Manusia Indonesia Pendendam?

Benarkah Manusia Indonesia Pendendam?

Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                                MEDIA INDONESIA, 27 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DENGAN membaca situasi sosial, politik, dan keagamaan di Indonesia saat ini, sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa tidak ada mentalitas buruk yang sulit dihapus dari kejiwaan manusia Indonesia, yaitu pendendam. Nurcholish Madjid, salah satu ilmuwan Islam yang banyak mengkaji suasana politik kebangsaan Indonesia, pernah berujar bahwa kondisi psikologis orang Indonesia, terutama para pemimpinnya, ada dalam posisi saling mengunci dan saling mengintai (grid-lock situation) terhadap kesalahan dan aib masing-masing di masa lalu. Akibatnya, suasana gaduh tak pernah berhenti berdetak karena kebencian dan dendam, terutama yang diakibatkan faktor politik masa lalu, selalu memiliki peran terhadap situasi dan kondisi yang berlaku saat ini.

Hiruk-pikuk itu ditandai, misalnya, dengan rivalitas KPK-Kepolisian, rivalitas antarpartai, antarsuku, dan antaragama yang semuanya seolah memiliki nama agama dan seolah memiliki alasan yang paling rasional untuk melakukan tindakan paling benar.

Namun, mereka lupa untuk mengatasnamakan kemanusiaan sejati. Kalau tak karena dendam, pastilah negeri ini akan aman dan damai, baldatun thayyibatun warabbun gafur. Namun, karena aman dan damai (baldah thayyibah) tak kunjung datang, ampunan Tuhan pun (rabbun gafur) pasti tak akan sampai. Jadi, jelas sekali hubungan antara yang material dan inmaterial serta yang wujud dengan yang gaib. Itu selalu menjadi dua prasyarat yang tidak bisa dinisbikan antara satu dan lainnya. Dendam ialah prasyarat yang tak pernah bisa dilepaskan sekaligus dilupakan para pemimpin politik dan keagamaan kita hingga saat ini.

Dendam merupakan penyakit keturunan manusia yang sengaja disisipkan Tuhan melalui setan. Perasaan dendam itu sama dengan cinta, tak pernah ada kata yang bisa mendefinisikannya secara pas. Karena dendam menyangkut kumpulan rasa, terkadang kehadirannya tak bisa kita duga dan sapa secara pasti dan nyata. Dendam pula yang membuat hati jutaan manusia selalu menduga-duga, ada apa di balik setiap peristiwa. Yang nyata dari sebuah dendam hanya tampak pada hasilnya yang sering kali destruktif, tak peduli benar atau salah. Pertanyaannya sekali lagi ialah apakah benar manusia Indonesia ialah manusia pendendam?

Tidak bisa dimungkiri, betapa sulit mengidentifikasi sifat-sifat orang Indonesia. Pasalnya, Indonesia terbangun di atas fondasi perbedaan suku, budaya, agama, dan tempat tinggal yang saling terpisah dan sejarah perjuangan yang berbeda-beda. Artinya, mereka memiliki kepribadian yang berbeda-beda juga.
Mochtar Lubis pernah menulis 12 sifat orang Indonesia. Meskipun penuh dengan kontroversi, beberapa di antara sifat itu sangat dekat dengan perilaku dendam sebagaimana kita saksikan dalam belantara kehidupan sosial-politik dan hukum di Tanah Air.

Misalnya, sifat hipokrit atau munafik, seperti yang ditunjukkan perilaku buruk para penegak hukum kita yang pandai bersilat lidah mengatasnamakan hukum. Namun, di belakang kita, kelakuan mereka sungguh luar biasa tak menunjukkan keteladanan sama sekali. Tak sesuainya kata dengan perbuatan merupakan ciri utama manusia munafik. Jika kesalahan mereka ditunjukkan, mereka bukannya menerima kebenaran, melainkan malah cenderung mencari-cari kesalahan orang lain, lagi-lagi atas nama hukum. Selain sifat munafik yang dikatakan Mochtar Lubis, ada dua sifat lain yang juga dekat dan berkait dengan dendam, yaitu dengki dan sombong. Pendendam biasanya memang sering mengedepankan perilaku sombong dan dengki dengan kebenaran yang dimiliki orang lain.

Perilaku keteladanan

Kondisi psikologis semacam itu sungguh tak mudah untuk dikikis, apalagi jika tak dibenahi dari aspek pendidikan. Dalam pendidikan, semuanya harus dimulai dengan kejujuran. Pasalnya, hanya kejujuran yang mampu melahirkan manusia-manusia dengan perilaku keteladanan yang baik.

Lemahnya keteladanan merupakan ciri lain dari dendam, baik di bidang hukum, politik, sosial, maupun keagamaan. Publik harus diingatkan, misalnya, dengan sikap keteladanan yang pernah dilakukan seorang Jusuf Kalla dalam Pilpres 2009. Dari aspek kompetensi, pribadi Jusuf Kalla juga menyiratkan dua hal sekaligus, yaitu kompeten di bidang ekonomi yang dikuasainya (a hard dimension) dan pada waktu yang bersamaan beliau juga memiliki sikap dan sifat yang elegan sebagai seorang negarawan yang menjunjung tinggi budaya negeri (a soft skill dimension).

Definisi kompetensi menurut Naresh Makhijani competency can essentially be defined as having both job-related technical skills (a hard dimension) as well as attitudinal and behavioral components (a soft dimension) kiranya tak cocok dengan perilaku dan sikap kenegarawanan Jusuf Kalla dalam mengedepankan rasa persatuan kebangsaan. Hal itu sangat terlihat dari dialog Jusuf Kalla dengan SBY pasca-Pemilihan Presiden 2009, yaitu keinginan JK untuk menjalin tali silaturahim lebih kental daripada memelihara rasa permusuhan dan persaingan untuk menjadi presiden.

Pribadi JK yang juga penting dan patut ditiru sivitas akademika di sekolah dan perguruan tinggi ialah sifat respek, mau menghargai, dan mengakui kelebihan orang. Beliau memberi ucapan selamat kepada SBY atas kemenangannya. Orang dengan kecenderungan sikap dan sifat semacam ini tentu saja akan merasa jauh dari kekurangan, jauh dari rasa kalah, dan akan terus menjadi pemenang.

Bukankah seorang pemenang sejati ialah mereka yang lebih banyak memberikan orang lain kesempatan untuk menunjukkan pengabdiannya dengan tulus dan ikhlas? Karena itu, layak jika para guru mau memetik pelajaran berharga itu dan menjadikan sikap respek atau menghargai orang lain sebagai substansi bahan ajar yang harus ditubuhkan dalam budaya sekolah kita.

Negeri ini membutuhkan banyak sekali orang seperti Jusuf Kalla yang mau bekerja dengan pikir sekaligus zikir serta tak memelihara rasa dendam, takut, dan permusuhan. Mahasiswa dan siswa kita perlu diajak lebih banyak membaca sehingga mereka tak tertular virus dendam politik yang membuat mereka lebih banyak bolos masuk kelas karena terlalu sering berdemo atas nama rakyat.

Namun, sesungguhnya mereka diam-diam sedang mengubur masa depan mereka. Jelas sekali bahwa potret pendidikan berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi. Demokrasi akan hancur jika para pemimpinnya terus memelihara rasa dendam yang tak berkesudahan. Semoga Idul Fitri tahun ini akan lebih banyak memberikan kesadaran kepada para pemimpin kita untuk tidak memelihara dendam, tetapi lebih mengutamakan menghargai kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar