Kamis, 16 Juli 2015

Ihwal Hak Milik Properti untuk WNA

Ihwal Hak Milik Properti untuk WNA

Jarot Widya Muliawan ;  Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang;
Praktisi Agraria/Pertanahan di Jawa Timur
                                                         JAWA POS, 13 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KONTROVERSI mengiringi keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyetujui pemberian hak milik properti untuk warga negara asing (WNA). Kejadian itu berbanding terbalik dengan kondisi sebagian masyarakat adat yang masih mencari keadilan mengenai status kepemilikan hak atas tanah mereka. Kebijakan pemerintah tersebut justru akan memberikan peluang kepada WNA untuk menguasai properti di Indonesia.

Padahal, para founding father melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sudah meletakkan asas nasionalitas sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 1 ayat (1), ’’Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.’’ Pasal 1 ayat (2), ’’Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.’’

Selanjutnya, pasal 9 UUPA menegaskan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang udara Indonesia. Pada penjelasan pasal tersebut, hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Pasal 26 ayat (2) UUPA menegaskan bahwa hak milik kepada warga negara asing dan badan hukum asing dilarang, dan pelanggaran terhadap pasal tersebut mengandung sanksi batal demi hukum.

Ketentuan dalam UUPA itu juga telah menjadi landasan pemikiran dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, yang menegaskan pemberian properti hanya dengan hak pakai. Tampaknya, pemerintah ingin merevisi ketentuan tersebut dan menggantinya dengan hak milik properti. Tentunya ini merupakan tindakan yang sangat bertolak belakang dengan semangat UUPA yang mengusung asas nasionalitas.

Pemerintah dalam mengambil kebijakan harusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek ekonomi saja, namun juga lebih jauh kepada dampak yang akan timbul setelahnya. Meskipun pada awalnya pemerintah telah melakukan pembatasan properti yang dapat dimiliki orang asing hanya berupa apartemen mewah lantai 2 (dua) ke atas, hal tersebut adalah celah yang sering kali dimanfaatkan pihak tertentu yang sama sekali tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Terlebih lagi, pemerintahan Presiden Jokowi telah mengusung slogan yang berpihak kepada rakyat kecil. Apakah kebijakan pemberian hak milik properti kepada warga negara asing justru tidak mencederai semangat pemerintah tersebut?

Terlepas dari kontroversi kebijakan tersebut, hal ini terjadi karena tidak adanya pengaturan lebih lanjut mengenai hak milik yang seharusnya diwujudkan dalam sebuah undangundang sebagaimana diamanatkan pasal 50 ayat (1) UUPA yang mengatakan bahwa ’’ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang.’’

Sampai sekarang, Undang-Undang Hak Milik belum terwujud. Hal tersebut mengakibatkan pergeseran nilai tanah itu sendiri. Pergeseran nilai tanah tersebut sangat terlihat ketika terjadi pergeseran atau perubahan ideologi ekonomi dari populistik menuju ke paham ideologi ekonomi kapitalistik. Kondisi ini mengakibatkan pengesampingan fungsi sosial yang dimiliki oleh tanah sehingga dalam hal kepemilikan tanah kepentingan individu menjadi segalanya. Unsur kebersamaan dari kepemilikan tanah juga menjadi hilang sehingga tanah hanya dipandang sebagai sebuah komoditas dan bernilai ekonomis serta aset produksi, serta menghilangkan nilai religio magis (filosofis) dan sosial dari tanah itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar