Jumat, 17 Juli 2015

Indonesia Bukan Yunani

Indonesia Bukan Yunani

Arif Havas Oegroseno  ;  Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg, Uni Eropa,
Sept 2010-Januari 2015
                                                           KOMPAS, 16 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam "Menjadi seperti Yunani" (Kompas, 11/7), Anggoro Budi Nugroho berpandangan bahwa Indonesia dapat menjadi Yunani dengan sejumlah skenario, dengan asumsi dasar bahwa krisis Yunani bermula dari krisis subprime mortgage 2008. Asumsi ini tidak lengkap sehingga arah kesimpulannya tidak tepat.

Krisis Yunani disebabkan dua hal fundamental jauh sebelum 2008, yaitu fiscal profligacy dan keanggotaan Yunani di zona euro (Eurozone).  Sebagai bagian dari tradisi politik yang mengakar, pemerintah dan politisi yang berkuasa terus memberikan gula- gula politik kepada semua pekerja, baik buruh, swasta atau pun pegawai negeri sipil, berbagai kenikmatan dan fasilitas yang akhirnya menimbulkan pemborosan luar biasa keuangan negara atau fiscal profligacy.  Semua pekerja Yunani menerima gaji ke-13 dan 14. Mereka juga menerima gaji penuh pada saat liburan akhir tahun, separuh gaji pada saat liburan Paskah dan separuh gaji pada saat liburan musim panas. Gaji mereka naik setiap tahun secara otomatis.

Para pengemudi di sektor publik, selain menerima gaji bulanan juga menerima bonus tambahan pada saat mereka menghidupkan mesin mobil yang dikendarainya.  Seseorang dapat mengajukan pensiun pada usia 45 tahun dengan menerima berbagai jaminan kesehatan dan juga tunjangan penuh.  Pekerja salon yang setiap hari menangani bahan kimia berbahaya, seperti hair spray dan zat pewarna rambut dapat mengajukan pensiun pada usia 50. Pegawai sektor pariwisata setiap tahunnya menerima tunjangan pengangguran selama tiga bulan pada saat sepi turis pada waktu musim dingin.

Jumlah pegawai sektor publik mencapai 1 juta orang dari 11 juta penduduk. Menteri Keuangan George Papaconstantinou bahkan tak mengetahui berapa sebenarnya jumlah pekerja sektor publik di Yunani, dan secara konstitusional, 1 juta pekerja ini sama sekali tidak bisa diberhentikan.

Sementara itu, penghindaran pajak telah dikatakan menjadi suatu national sport dan black market economy mencapai 30 persen. Produktivitas sangat rendah, ekonomi tak kompetitif, dan pemborosan merajalela. Yunani berutang untuk membiayai super social welfare ini. Pada tahun 2000, rasio utang dan produk domestik bruto (PDB) mencapai 103 persen, sementara rata-rata Uni Eropa (UE) 60 persen, dan defisit fiskal 3,7 persen, sementara aturan UE 3 persen.

Dengan karakter seperti ini, Yunani bergabung ke dalam zona euro pada 2001. Dan, pada 2005 terungkap adanya indikasi bahwa data ekonomi Yunani yang diserahkan kepada UE di Brussels adalah data yang menutupi defisit dan kondisi sebenarnya keuangan Yunani. Perlu digarisbawahi bahwa zona euro bukan suatu proyek ekonomi, seperti yang dipahami banyak ekonom di berbagai kawasan dunia.

Perjudian zona euro

Sebagai suatu kebijakan ekonomi, zona euro adalah suatu perjudian luar biasa karena perekonomian setiap anggota yang berbeda secara drastis, misalnya Jerman vs Yunani. Mobilitas penduduk sangat terbatas karena bahasa dan budaya, misalnya pekerja Yunani tak bisa dengan mudah pindah ke Amsterdam. Mereka memiliki sistem tunjangan sosial yang berbeda dan standar hidup yang juga sangat berbeda. Zona euro adalah proyek politik untuk mendorong integrasi yang lebih dalam di UE, terutama dengan menarik negara-negara di pinggiran UE, seperti Yunani, Irlandia, Portugal, Malta, Slovenia, dan Slowakia ke pusaran integrasi dan kekuasaan UE, yakni di Brussels.

Bergabungnya Yunani ke zona euro tahun 2001 memberikannya peluang untuk berutang lebih banyak lagi dengan bunga yang sangat rendah. Biaya utang Yunani yang awalnya berkisar sekitar 25 persen tumbang menjadi sekitar 7 persen, seperti Jerman. Walhasil, ekonomi Yunani berkembang sangat pesat dengan pertumbuhan PDB hampir 4 persen pada 2001-2008, kedua tertinggi setelah Irlandia di zona euro. Pendapatan per kapita dari cara berutang melonjak 70 persen dari 1999-2009. Yunani seolah ingin membalas keruntuhan ekonomi akibat pendudukan Nazi dan Italia pada Perang Dunia II dan perkembangan ekonomi buruk sejak demokrasi 1970-an hingga 1990-an yang diwarnai inflasi 18 persen per tahun.

Kenikmatan ini sebenarnya semu karena Yunani telah kehilangan kedaulatan fiskal dan tidak dapat lagi melakukan kebijakan ekonomi negara berdaulat, seperti mencetak uang, menurunkan suku bunga domestik, meningkatkan investasi dalam negeri, atau menikmati keuntungan inflasi yang agak tinggi karena Jerman mampu memaksakan inflasi yang rendah.

Kenaikan harga diimbangi kenaikan gaji melalui pinjaman dan saat itu tak ada yang peduli karena pertumbuhan sangat tinggi. Sebagaimana kita ketahui, subprime mortgage 2008 akhirnya mendarat ke Eropa dan Yunani sebagai salah satu negara termiskin langsung terbanting ke jurang depresi. Terlebih lagi, pada 2009, terkuak bahwa sebenarnya defisit Yunani tidak 3 persen, tetapi 12,7 persen.  Investor ketakutan, bunga pinjaman mengangkasa, dan peringkat Yunani jeblok. Dana bail out UE dan IMF pada 2010 adalah 110 miliar euro dan 130 miliar euro dengan syarat pengetatan ikat pinggang secara sangat drastis guna mengurangi defisit, mengelola utang, melakukan reformasi perpajakan. Kebijakan ini perlu pemotongan anggaran, pembekuan gaji sektor publik, menaikkan pajak, memotong pensiun, privatisasi, dan reformasi pasar kerja.

Dampak sosialnya sangat berat. Angka Eurostat menunjukkan pengangguran 73,5 persen pada 2014. Sekitar 6,3 juta orang dari 11 juta populasi miskin.

Berbeda

Indonesia bukan Yunani. Indonesia tak pernah memiliki mentalitas fiscal profligacy. PNS Indonesia hanya 4,5 juta dari penduduk 240 juta. Rasionya sangat rendah dibandingkan PNS Yunani. Indonesia masih memiliki kedaulatan dalam kebijakan fiskal, tak seperti Yunani yang harus tunduk kepada Brussels dan Bank Sentral Eropa (ECB).

Rasio utang terhadap PDB Indonesia 24 persen, suatu angka yang sehat dibandingkan Yunani yaitu 180,2 persen, atau rata-rata zona euro, yaitu 92,1 persen. Bahkan dibandingkan Malaysia yang 52 persen. Permasalahan debat utang di Indonesia adalah tak adanya kemauan membahas utang dari rasio PDB. Yang dikehendaki hanya diskusi angka utang agar terlihat dramatis dan sensasional. Rata-rata pertumbuhan Indonesia 4,7 persen sementara UE 0,4 persen.

Peringkat utang Indonesia double BB+ atau triple BBB- dan stabil, sementara Yunani mengalami penurunan pada peringkat CC dan dalam kondisi negatif. Investor tetap hadir di Indonesia dan bahkan meningkat. Kuartal I 2015 jumlah investasi Rp 124,6 triliun dibandingkan Rp 106,6 triliun kuartal I 2014.

Menyimpulkan bahwa Indonesia cukup aman dan merasa lega karena Yunani dan UE bukan mitra dagang utama Indonesia berpotensi misleading.  Indonesia seharusnya mampu menjadi mitra dagang UE nomor satu di ASEAN, dan bukannya nomor lima mengingat negara pesaing ASEAN lainnya, yakni Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam mengekspor produk sama dengan Indonesia atau bahkan justru menjual barang curian dari Indonesia, misalnya seafood hasil illegal fishing.

Indonesia bahkan tak mampu mengirimkan komoditas yang 80 persen dikuasainya di seluruh dunia ke UE, yaitu pala.  Ekspor pala ke UE terhambat kualitas rendah dan bahkan mengandung aflatoksin yang berbahaya dan pernah pula mengandung minyak tanah.

Selain itu, salah satu penyebab menurunnya ekspor Indonesia ke UE adalah hukuman anti dumping terhadap biodiesel sawit karena UE menerapkan kebijakan proteksionis guna melindungi petani minyak nabati bunga matahari dan rapeseed melalui mekanisme EU RED. Lobi European Biodiesel Board untuk menghantam sawit Indonesia sangat kuat sehingga kampanye anti sawit di UE merupakan gerakan gabungan antara kelompok kiri dan hijau dengan industrialis-kapitalis neolib dan petani yang disubsidi masif.

Ekspor Indonesia ke UE yang meningkat adalah produk kayu bersertifikat SVLK, suatu produk yang memiliki tanggung jawab lingkungan tinggi, tetapi kini justru di bawah serangan sekelompok kecil pengusaha yang mengatasnamakan IKM dan bertujuan menghapuskan SVLK, flagship Indonesia di bidang pembangunan berkelanjutan. SVLK telah menjadi musuh segelintir orang dan juga kepentingan asing yang terancam tidak dapat memiliki sistem sertifikasi nasional yang kredibel. Ini menyedihkan.

 Kondisi faktual Republik Indonesia sangat berbeda dan jauh lebih baik dari Republik Hellenic Yunani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar